Penulis
Intisari-Online.com -Hukum picis yang berlaku di era Kerajaan Mataram bisa disebut sebagai salah satu bentuk hukuman mati yang paling menyakitkan.
Bagaimana tidak, pihak yang dihukum mati akan ditaruh di lapangan terbuka untuk kemudian ditusuki jarum oleh setiap warga yang melintas.
Tidak berhenti sampai di situ, tiga hari setelah dibiarkan di lapangan terbuka, sebuah hukuman yang tak kalah menyeramkan menanti.
Apakah hukuman yang dimaksud? Simak ulasannya berikut ini.
Anda tentu sudah membaca kisah pertumpahan darah di Tanah Mataram yang dipicu oleh seorang wanita yang dicintai oleh Raja dan Putra Mahkota dalam tautan di atas.
Nah, peristiwa yang terjadi sewaktu masa pemerintahan Sunan Pakubuwono I (1703-1719) lebih mengerikan lagi.
Pada tahun 1709 di daerah Enta Enta timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Ki Mas Dana.
Sunan memerintahkan Bupati Mataram, Ki Jayawinata, untuk memadamkan pemberontakan tadi.
Baca Juga: Perilaku Sadis Raja-raja Mataram Kala Semadi Demi Mendapat Berkah dari Nyai Roro Kidul
Namun balatentara Jayawinata kalah dan ia melarikan diri ke Kartosuro melaporkan peristiwa tersebut pada Sunan.
Sunan kemudian mengutus Bupati Kartosuro, Pangeran Pringgalaya, untuk menyerbu Enta Enta dengan perintah khusus agar Ki Mas Dana ditangkap hidup-hidup.
Setelah terjadi pertempuran seru yang memakan banyak korban, pemberontakan dapat ditindas.
Ki Mas Dana sendiri melarikan diri ke Borobudur. Ia dikejar terus oleh Pringgalaya hingga akhirnya dapat tertangkap dan dibawa ke Kartosuro.
Dan, jatuhlah putusan Sunan yang dahsyat: Ki Mas Dana diikat di dekat pohon beringin di alun-alun depan istana.
Setiap penduduk Kartosuro diperintahkan datang menyaksikan wajah pemimpin pemberontak itu sambil membawa jarum untuk ditusukkan ke tubuhnya.
Jadilah Ki Mas Dana menjalani hukuman picis ditusuk-tusuk dengan jarum oleh penduduk Kartosuro selama tiga hari sampai tewas.
Kemudian lehernya dipenggal dan kepalanya dipancangkan di atas sebuah tonggak bambu.
Kisah tersebut di atas mungkin tidak akan kita percaya kebenarannya bila saja tidak ada laporan tertulis dari Sunan Pakubuwono I pada Kompeni.
Sebagaimana diketahui, Pakubuwono I ini menerima tahta Mataram dari Kompeni.
Sewaktu Amangkurat II wafat tahun 1703, yang menggantikannya ke atas tahta adalah Puteranya, Sunan Mas atau Amangkurat III.
Karena Sunan Mas ini terang-terangan memusuhi Kompeni, maka Kompeni mengangkat adik Sunan yang wafat, Pangeran Puger, menjadi Raja dan bergelar Sunan Pakubuwono I.
Pertentangan antara dua Raja ini baru berakhir setelah Sunan Mas menyerah pada Kompeni dan diasingkan ke Srilanka.
Karena itu dapatlah dimengerti bila Pakubuwono I ini selalu memberikan laporan tertulis atas segala kejadian penting di Kartosuro kepada VOC di Batavia.
Dalam laporannya bertanggal 20 Agustus 1710 yang ditujukan kepada "Hooge Regeering" di Batavia (dan dapat dibaca dalam Koloniaal Archief No. 1690) Sunan Pakubuwono I menyebutkan bahwa Ki Mas Dana " tot spiegel en afschrick van anderen op onse passeban had laaten straffen, en met naaldens door ons Cartasourase volckeren zoo lange hebben laten steecken, totdat hij daarvan is gesturven en zijn hoofd afgehouden en op een staack gestelt"
(Agar menjadi contoh dan membuat jera bagi yang lain, telah dihukum di paseban oleh penduduk Kartosuro dengan jalan menusukkan jarum-jarum sampai akhirnya ia tewas dan kepalanya kemudian dipenggal dan dipancangkan di atas sebatang galah)
Jadi rupanya segala dongeng mengenai cara-cara Raja Mataram menghukum musuh-musuhnya, betapapun ngerinya, memang benar-benar pernah terjadi.
Atau paling sedikit, mengandung kebenaran.
(Ditulis oleh A.S. Wibowo. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 1977)