Find Us On Social Media :

Kisahkan Panembahan Senapati dari Mataram dalam Pertapaannya Bertemu dan Memadu Kasih dengan Kanjeng Ratu Kidul, Inilah Tarian Bedhaya Ketawang yang Dianggap Sakral, Lambang Kebesaran Raja

By K. Tatik Wardayati, Sabtu, 8 Januari 2022 | 12:30 WIB

Tari Bedhaya Ketawang Kasunanan Surakarta yang hanya dipertunjukkan saat penobatan atau peringatan naik takhta Sunan Surakarta.

Intisari-Online.com Tari Bedhaya Ketawang merupakan sebuah tarian kebesaran yang hanya dipertunjukkan ketika penobatan Tingaladalem Jumenengan Sunan Surakarta (upacara peringatan kenaikan taktha raja).

Tari Bedhaya Ketawang ini adalah tarian sakral atau suci yang dimiliki Keraton Kasunanan Surakarta yang penuh makna.

Nama Bedhaya Ketawang sendiri berasal dari kata ‘bedhaya’ yang berarti penari wanita di istana, sedangkan ‘ketawang’ berarti langit, identik dengan sesuatu yang tinggi, keluhuran, dan kemuliaan.

Menurut situs Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, tarian Bedhaya Ketawang ini hanya dipertunjukkan ketika penobatan serta peringatan kenaikan takhta raja di Keraton Kasunanan Surakarta.

Tari Bedhaya Ketawang menjadi tarian sakral yang suci karena menyangkut Ketuhanan, di mana segala sesuatu tidak akan terjadi tanpa kehendak Tuhan Yang Maha Esa.

Menurut sejarahnya, tari Bedhaya Ketawang juga menjadi salah satu pusaka warisan leluhur yang dimiliki raja dan merupakan konsep legitimasi raja.

Gerakan tarian Bedhaya Ketawang mengandung makna falsafah yang tinggi, dan masih berjalan sesuai dengan  pakem hingga saat ini.

Tarian nan suci ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Mataram yang dipimpin Sultan Agung Hanyakrakusuma pada 1623-1645.

Baca Juga: Ternyata Ini Dia Sumber Sejarah Kerajaan Mataram Kuno dari Prasasti Sampai Candi

 Baca Juga: Bagaimana Proses Berdirinya Kerajaan Mataram Islam dan Keruntuhannya

Menurut legenda, pada saat memerintah Sultan Agung melakukan ritual semedi, dan mendengar suara senandung dari arah langit, yang membuatnya terkesima, sehingga Sultan Agung memanggil pengawal dan mengutarakannya kesaksian batinnya pada mereka.

Pengawal Sultan Agung ketika itu adalah Panembahan Purbaya, Kyai Panjang Mas, Pangeran Karang Gayam II, dan Tumenggung Alap-Alap.