Berjarak 500 Km dari Titik Pertumpahan Darah, Inilah Prasasti Kawali 1, 'Potongan Puzzle' Perang Bubat yang Ungkap Respons Kerajaan Galuh Usai Dikhianati Majapahit

K. Tatik Wardayati

Penulis

Intisari-Online.comKerajaan Sunda atau Negeri Sunda, Pasundan, atau Pakuan Pajajaran, ini merupakan Kerajaan bercorak Hindu di Jawa Barat dengan pusat di Pakuan (Bogor sekarang).

Kerajaan Pajajaran ini didirikan oleh Sri Jayabhupati, pada tahun 923 Masehi.

Kerajaan Pajajaran ini mengalami puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja (1482-1521 M).

Namun, mengalami keruntuhan karena serangan Kesultanan Banten, setelah enam abad lebih berkuasa.

Baca Juga: Cara Pengolahannya yang Unik Merupakan Warisan dari Masa Majapahit, Beginilah Ayam Betutu Masakan Khas Bali yang Pedas dan Berempah Ini Diolah

Menurut buku Peninggalan Bersejarah di Indonesia karya Sri Hastuti, salah satu peninggalan Kerajaan di Tanah Sunda ini adalah Prasasti Kawali.

Prasasti Kawali disebut juga Prasasti Astanagede, ini ditemukan di daerah Ciamis, Jawa Barat.

Isi prasasti Kawali adalah tentang dipindahkannya pusat kerajaan dari Pakuan Pajajaran ke Kawali.

Diperkirakan dibuat pada abad ke-14, prasasti ini dijadikan tugu peringatan untuk mengenang kejayaan Prabu Niskala Wastu Kancana.

Baca Juga: Pantas Bumi Nusantara Mengundang Banyak Kapal Asing untuk Singgah, Ternyata Kerajaan Majapahit Menguasai Industri Ini Pada Zamannya

Prabu Niskala Wastu Kancana (1348-1475), adalah Raja Sunda sekaligus Galuh, yang merupakan putra dari Prabu Linggabuana yang disebut-sebut gugur dalam Peristiwa Perang Bubat (1357).

Perang Bubat terjadi pada tahun 1357, pada abad ke-14, pada masa pemerintahan Raja Majapahit Hayam Wuruk.

Perang Bubat terjadi akibat perselisihan antara Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda.

Perang terjadi di Pesanggrahan Bubat, yang mengakibatkan tewasnya seluruh rombongan Sunda.

Perang Bubat ini bisa diketahui dari Serat Pararaton serta Kidung Sunda dan Kidung Sundayana yang berasal dari Bali.

Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Mayang Sari dari Negeri Sunda.

Konon ketertarikan Hayam Wuruk pada Putri Sunda itu karena melihat kecantikan sang putri dari lukisannya di Majapahit.

Niat pernikahan itu juga dimaksudkna untuk mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahit dan Sunda.

Karena, Raden Wijaya, sang pendiri kerajaan Majapahit, dianggap sebagai keturunan Sunda dari Dyah Lembu Tal dan suaminya Rakeyan Jayadarma, raja Kerajaan Sunda.

Baca Juga: Berkat Mpu Nala, Angkatan Laut Majapahit Tersohor hingga Asia Tenggara, Kapal Perangnya Tangguh di Lautan padahal Hanya Berbekal Bongkar Rahasia Kapal Tentara Mongol

Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk kemudian mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Mayang Sari.

Dan upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit,meski pihak dewan kerajaan Negeri Sunda keberatan.

Namun, Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua kerajaan tersebut.

Linggabuana berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.

Namun, Gajah Mada menyarankan agar Hayam Wuruk tidak melanjutkan rencana pernikahan, yang membuat Kerajaan Sunda merasa dipermalukan, hingga memilih berperang melawan Majapahit demi menjaga kehormatan.

Menurut Kidung Sundayana, timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda, karena ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya sebelum Hayam Wuruk naik takhta.

Karena hanya tinggal Kerajaan Sunda ini yang belum dikuasai, sementara kerajaan lain di Nusantara telah ditaklukkan Majapahit.

Maka Gajah Mada membuat alasan dan menganggap bahwa kedagangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit.

Hayam Wuruk yang masih bimbang dan belum memberikan keputusan, namun Gajah Mada yang memiliki ambisi tinggi segera menerahkan pasukan Bhayangkara ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit.

Baca Juga: Dendam Kesumat Perang Bubat Belum Tuntas, Ayah dari Raja Terbesar Pajajaran Ini Malah Nikahi Perempuan Majapahit, Picu Pertarungan Sedarah

Untuk mempertahankan kehormatannya sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu, dan terjadilah Perang Bubat yang tidak seimbang antara Gajah Mada melawan Linggabuana.

Raja Sunda beserta rombongannya tewas, dan putri Mayang Sari melakukan bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya.

Kembali ke Prasasti Kawali 1, dalam prasasti tersebut tersebut berisi keterangan seperti berikut ini.

Teks di bagian muka dengan bahasa Sunda Kuno:

Nihan tapak walar nu sang hyang mulia tapa(k) i-nya parĕbu raja wastu mangadĕg di kuta kawali nu mahayu na kadatuan surawisesa nu marigi sakuliling dayĕh nu najur sakala desa aya ma nu pa(n)deuri pakĕna gawe rahayu pakĕn hebel ja ya dina buana.

Dalam Bahasa Indonesia :

Inilah jejak di Kawali dari Yang Mulia Prabu Raja Wastu yang bertahta di Kawali, yang telah memperindah Kedaton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan di sekeliling wilayah kerajaan, yang memakmurkan seluruh pemukiman. Kepada yang akan datang, hendaknya menerapkan keselamatan sebagai landasan kemenangan hidup di dunia.

Sementara, teks di bagian tepi tebal dengan bahasa Sunda Kuno:

Hayua diponah-ponah. Hayua dicawuh-cawuh. Ia neker inya angger.Inya nin(n)cak inya re(m)pag

Baca Juga: Enam Abad Berkuasa di Tanah Pasundan, Kalah dalam Perang Bubat Lawan Majapahit, Tersurat dalam Karya Sastra Peninggalan Kerajaan Pajajaran, Termasuk Prasasti yang Dikira Tinggalkan Harta Karun

Dalam teks Bahasa Indonesia:

Jangan dimusnahkan! Jangan semena-mena! Ia dihormati, ia tetap. Ia menginjak, ia roboh.

Beberapa sejarawan berpendapat, bahwa ada indikasi Prabu Niskala Wastu Kencana ini ingin membangun parit pertahanan, khawatir akan ancaman Majapahit pasca Perang Bubat.

Maka, bisa dikatakan bahwa Prasasti Kawali 1 ini disebut sebagai ‘potongan puzzle’ yang memperkuat kebenaran tentang Perang bubat.

Tentunya, masih butuh lebih banyak bukti untuk menemukan kebenaran tentang insiden tersebut.

Baca Juga: Jadi Raja Terbesar dalam Sejarah Majapahit, Hayam Wuruk Pernah Menyulut Perang dengan Kerajaan ini Cuma Gara-gara Perkara Asmara

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari

Artikel Terkait