Intisari-Online.com -Dalam masyarakat banyak beredar mitos tentang pernikahan.
Salah satunya adalah pantangan menikah antara orang dari suku Jawa dan suku Sunda.
Jika larangan itu dilanggar, menurut mitos akan ada malapetaka yang mengancam kehidupan keluarga dari dua suku tersebut.
Meski zaman sudah modern, mitos pernikahan Jawa Sunda masih tetap dipercaya.
Rupanya, larangan ini berawal sudah sejak zaman kerajaan dulu.
Konon, larangan pernikahan Jawa Sunda muncul sejak peristiwa Perang Bubat pada abad ke-14.
Perang ini berawal dari niat Hayam Wuruk yang ingin menikahi putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sundan.
Hayam Wuruk disebut-sebut sebagai raja Majapahit terbesar atau paling utama.
Hayam Wuruk tertarik pada Dyah Pitaloka karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit.
Lukisan itu dilukis secara diam-diam oleh Sungging Prabangkara, seorang seniman pada masa itu.
Atas restu dari keluarga kerajaan Majaphit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan untuk melamar Dyah Pitaloka pada Maharaja Linggabuana.
Menurut rencana, proses pernikahan akan dilangsungkan di Majapahit.
Setelah menerima undangan itu, Maharaja Linggabuana pun berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.
Sayangnya, kedatangan mereka dianggap sebagai bentuk penyerahan diri karena ingin memenuhi Sumpah Palapa oleh Patih Gajah Mada.
Karena kesalahpahaman inilah kemudian terjadi perang besar yakni Perang Bubat.
Perang Bubat menyebabkan tewasnya rombongan Raja Sunda yang mengantar Putri Dyah Pitaloka untuk menikah dengan Hayam Wuruk.
Keluarga putri Dyah Pitaloka semuanya tewas di medan perang.
Menyaksikan peristiwa tragis semacam itu, konon Dyah Pitaloka memutuskan untuk bela pati (bunuh diri) dengan tujuan membela kehormatan bangsa dan negaranya.
Karena peristiwa ini, hubungan kedua kerajaan menjadi rusak.
Dari peristiwa tersebut, kemudian muncul larangan menikah antara laki-laki Jawa dengan perempuan Sunda.
Biasanya, dari pihak keluarga Sunda-lah yang melarang keras pernikahan antar dua suku ini.
Ada banyak versi yang menyertai asal muasal larangan pernikahan Jawa Sunda ini.