Find Us On Social Media :

Sesuka Hati Buat Inggris Menganut Agama Berbeda dari Katholik Roma, Raja Kejam Inggris Ini Malah Ternyata Buat Salah Satu Jajahan Terpenting Mereka Lepas dari Genggaman Tangannya

By May N, Sabtu, 4 September 2021 | 15:41 WIB

Ilustrasi konflik bersenjata 30 tahun Inggris dan Irlandia yang diperburuk akibat keputusan Raja Inggris terkejam ini

Intisari-online.com - Benua Eropa adalah salah satu wilayah yang terbilang damai setelah Perang Dunia I dan II.

Tampaknya tidak pernah ada konflik agama di benua itu.

Namun ternyata Eropa juga pernah melihat konflik agama.

Hal ini terjadi antara Inggris dengan salah satu jajahannya.

Baca Juga: Kisah Saudara Sekandung yang Ikut Berjuang Selama Perang Dunia Pertama, Ada yang Harus Lakukan Ini Agar Bisa Ikut Membela Negara, Selamatkah Mereka dari Perang Ini?

Walaupun tidak pernah terjadi konflik bersenjata, tapi konflik yang dialami Inggris itu ternyata terasa dampaknya sampai sekarang.

Akar masalahnya sudah berabad-abad yang lalu, yaitu ketiga intervensi Anglo-Norman ke Irlandia 1167, seperti dikutip dari history.co.uk.

Ketika Inggris pertama kali sampai di wilayah tersebut, Inggris nyatanya tidak pernah menyatukan diri dengan Irlandia.

Padahal populasi Inggris dan Irlandia hampir mirip.

Baca Juga: Temui Halfdan Ragnarsson, Raja Dublin yang Juga Sekaligus Pemimpin Hebat Viking, Jadi Komandan Angkatan Darat dan Lakukan Ini kepada Anglo-Saxon

Hal itu menyebabkan dua populasi yang terpisah dengan kepentingan yang berbeda hidup berdampingan di pulau yang kecil.

Perbedaan ini semakin kontras ketika kekuasaan Raja Henry VIII.

Raja Henry VIII atau Henry Tudors adalah salah satu raja Inggris paling kontroversial.

Ia memisahkan diri dari gereja Roma, menyebabkan hubungannya dengan Katholik Eropa dalam posisi yang sulit.

Baca Juga: Kerajaan Inggris Tidak Memperbolehkan Poligami, Tapi Raja Satu Ini Berhasil Miliki 6 Istri dan Beberapa Gundik, Sayang Nasib Wanita-wanitanya Tidak Seindah Bayangan Kita

Kemudian ia mengenalkan agama baru, Protestan, ke dalam politik Irlandia pertama kalinya.

Perlawanan terhadap Kerajaan Inggris dimulai tahun 1534 ketika pewaris Kildare, Lord Ofaly, memimpin revolusi Katholik melawan Raja Protestan Inggris di Irlandia.

Namun perlawanan berhasil ditangani dan mereka yang terlibat kemudian dieksekusi.

Elizabeth I melanjutkan warisan ayahnya, Henry VIII, di Irlandia.

Baca Juga: Kisah Misteri Kematian Amy Robsart, Adakah Hubungannya dengan ‘Permainan Cinta’ Ratu Elizabeth I yang Dikatakan ‘Tetap Perawan’ Itu?

Sedikit kemerdekaan yang diraih oleh Hugh O'Neill, pangeran Tyrone, mutlak dikalahkan oleh pasukan Ratu, dengan kependudukan pasca perang yang kasar menyebabkan bangkitnya kekuatan Katholik di masa depan.

Sementara itu, perkebunan dibangun di seluruh negara.

Tanah-tanah yang dimiliki oleh pemilik lahan Irlandia direnggut terutama di Munster dan Ulster.

Tanah-tanah itu kemudian disebarkan ke pada para kolonis, yang secara umum dikenal sebagai para petani yang datang berbondong-bondong dari Inggris, Skotlandia dan Wales.

Baca Juga: Berusia 1.600 Tahun, Patung Dewa Pagan Setinggi 2,44 Meter Ditemukan di Irlandia, Kemungkinan Pengganti Manusia untuk Dikorbankan

Perkebunan resmi terakhir muncul di bawah Persemakmuran Inggris Oliver Cromwell tahun 1650, ketika ribuan tentara Parlemen ditempatkan di Irlandia.

Perkebunan itu mengubah penduduk Irlandia, karena komunitas Protestan Inggris yang besar terbentuk, identitas mereka pun sama anehnya dengan para penduduk Irlandia penganut Katholik Roma.

Nama Cromwell tidak sejalan dengan pembentukan perkebunan di Irlandia, tapi dengan kebrutalan yang terjadi di sana.

Perang Drogheda menjadi salah satunya.

Baca Juga: Jadi Satu-satunya di Eropa, Terungkap Alasan Irlandia Dukung Palestina dan Kutuk Israel, Ternyata Rasa Trauma Ini Pemicunya

Pada September 1649, Cromwell mengirimkan pengepungan di Drogheda, kota di pantai Timur Irlandia, yang telah diduduki oleh koalisi Katholik Roma, Sekutu dan Pendukung negara yang ingin mengeluarkan warga Inggris dari Irlandia.

Pasukan Cromwell tidak menunjukkan belas kasihan, dan seluruh 2800 pasukan pertahanan Drogheda dibantai secara massal.

Di akhir abad ke-17, melawan latar belakang sengketa yang kemudian semakin memperumit hubungan kedua populasi, posisi Katholik sangat dikompromasikan.

Memang, Perang Boyne (1690) yang menyebabkan Raja Katholik James II dikalahkan oleh Raja Protestan William III, mengamankan supremasi Protestan.

Baca Juga: Miris Saksikan Bencana di Tanah Kelahirannya, Orang Timor Leste di Irlandia Utara Kirimkan Bantuan Ini

Undang-undang baru terbentuk yang membatasi kepemilikan properti Katholik lebih jauh lagi, bersama dengan membatasi hak mereka pada pendidikan, menjadi tentara dan warga Irlandia dipaksa keluar dari pekerjaan juru tulis.

Bahkan bagi yang tampaknya tidak terdampak oleh hukum, faktanya merasa harga dirinya tercoreng juga karena tanah mereka menjadi milik warga asing.

Akhirnya, pergerakan reformasi 'patriotisme' terbentuk, yang dimulai untuk melobi agar bisa berpidato di Parlemen.

Saat itulah suara nasionalisme Irlandia pertama sudah dibuat.

Baca Juga: Kisah si Lentera Jack, Jack O’Lanterns, yang Berasal dari Mitos Irlandia, Saat Iblis Tak Akan Mengambil Jiwanya Lalu Dikirim ke Malam yang Gelap

Inggris tidak dapat mengabaikan tuntutan kemerdekaan Irlandia lagi, lagipula saat itu dunia juga mulai berubah, dengan AS dan Perancis sudah mengalami evolusi di separuh akhir abad ke-18.

Akhirnya undang-undang pun dilonggarkan.

Kemudian masuklah pada dimulainya abad ke-20, pasca Perang Dunia I, Irlandia terpecah menjadi dua pihak, Persaudaraan Republik Irlandia (IRB) mendukung kemerdekaan Irlandia sedangkan populasi Protestan di Ulster tetap ingin menjadi bagian dari Kerajaan Inggris.

Mulai terjadi banyak pemberontakan antara Irlandia dan Inggris, dan seringnya Inggris memenangkan konflik dengan cara pembantaian massal, walaupun tidak memenangkan perang dingin tersebut.

Baca Juga: Aib Incest di Balik Sejarah Keluarga Kerajaan, Ribuan Tahun yang Lalu 'Tukang Kawin Sedarah' Memerintah Irlandia

Gerakan Sinn Fein yang dibentuk 1905 (Diri Kita Sendiri) menjadi tokoh penting dalam pemberontakan itu, dan tahun 1917 gerakan Sinn Fein dipimpin oleh Eamon de Valera, salah satu pemimpin pemberontakan Irlandia yang berhasil selamat.

Semua kelompok kemudian bekerja menuju Irlandia yang merdeka yang bersatu di bawah kepemimpinan tunggal.