Find Us On Social Media :

'Borong Habis' Semua Medali Marathon Olimpiade Tokyo 2020, Inilah Nike Vaporfly, Sepatu yang Dianggap Sebagai Doping Teknologi, Pendahulunya Sampai Jadi 'Sepatu Terlarang'

By Muflika Nur Fuaddah, Minggu, 8 Agustus 2021 | 18:25 WIB

Eliud Kipchoge (tengah), Abdi Nageeye (kiri) dan Bashir Abdi terlihat saat upacara penyerahan medali.

Intisari-Online.com - Olimpiade Tokyo 2020 menyediakan 27 medali emas untuk berbagai jenis lomba lari.

Namun, yang lebih menarik perhatian yakni bahwa para peraih medali dalam lomba lari marathon putra di Olimpiade Tokyo 2020 menggunakan jenis sepatu yang sama.

Lomba marathon putra dimenangi oleh Eliud Kipchoge dengan catatan waktu 2 jam 8 menit 38 detik.

Pelari asal Kenya itu pun berhak atas medali emas.

Baca Juga: Termasuk Berbagi Medali Emas, Aksi Manis Kebaikan Atlet Olimpiade Ini Tunjukkan Olimpiade Tak Hanya Ajang Kompetisi Memperebutkan Medali Semata

Perak menjadi milik Abdi Nageeye (Belanda) dengan catatan waktu 2 jam 9 menit 58 detik disusul Bashir Abdi (Belgia) di tempat ketiga yang finis dua detik setelahnya.

Baik Eliud Kipchoge, Abdi Nageeye, maupun Bashir Abdi sama-sama menggunakan sepatu Nike Vaporfly Next% 2.

Doping Teknologi Sepatu Nike Vaporfly

Peningkatan performa pada sepatu lari tidak lepas dari sejumlah fitur yang ditawarkan.

Baca Juga: Bak Sudah Bersiap Gali Kuburan Massal untuk Warganya Sendiri, Jepang Pilih Menganaktirikan Rakyatnya saat Covid-19 Kian Merajalela, Semata Demi Olimpiade 2020?

Sebut saja, bobot sepatu yang lebih ringan, komposisi material, ketebalan bagian tumit, dan longitudinal bending stiffness atau istilah sederhananya adalah tingkat kelenturan sepatu dari tumit hingga ujung kaki.

Melansir Kompas.com, pelat serat karbon di bagian tumit hingga ujung kaki di dalam sol busa Vaporfly menjadi inovasi yang menarik perhatian.

Pelat tersebut bukan konsep baru, namun bentuk scoop yang spesifik menawarkan peningkatan performa terbaru.

Dengan menggunakan pelat berbentuk scoop itulah, efek "jungkat-jungkit" dirasakan oleh para pelari yang membantu mengembalikan energi setiap kaki menginjak tanah.

Baca Juga: 'Saya Tahu Betapa Frustasinya', Cerita di Balik Keputusan Atlet Qatar dan Italia Berbagi Emas Lompat Tinggi Olimpiade Tokyo, padahal Masih Ada Peluang Membawa Pulang 'Kebanggan' Itu Untuk Sendiri

Vaporfly juga menggunakan busa PEBA, yang menyimpan jauh lebih banyak energi dari cara pelari mendarat dengan kaki setiap kali mereka mengambil langkah (foot strikes).

Selain itu, busa ini mampu mengembalikan lebih banyak energi ke pelari, dibandingkan bahan TPU dan EVA yang biasa dipakai dalam sepatu kets.

Busa PEBA juga lebih ringan. Vaporfly memiliki berat sekitar 50 gram lebih ringan dari busa sepatu lari konvensional.

Ketebalan tumit sepatu yang mencapai 40 mm pun patut diperhitungkan, karena lebih tebal sekitar 10 mm dibandingkan sepatu lari lainnya.

Baca Juga: 'Saya Masih Tidak Percaya Itu Terjadi', Momen Dramatis di Cabor Lompat Tinggi Putra Olimpiade Tokyo, Ketika Atlet Qatar dan Italia Lebih Memilih Berbagi Medali Emas

Pernah Dilarang dan Dianggap Doping Teknologi

Pada Oktober 2019, Doping Teknologi dari Kenya melakukan apa yang belum pernah dilakukan manusia sebelumnya dan berlari maraton dalam waktu kurang dari dua jam. Waktu 1:59:40 dengan kecepatan rata-rata 21,18km/jam.

Beberapa pihak mengatakan bahwa 'kekuatan super' itu datang dari sepatu Nike Alphafly, pendahulu Nike Vaporfly, yang dikenakannya.

Melansir Science Focus, ilmuwan olahrawa Ross Tucker, menyebut Nike Alphafly berisi teknologi yang dirancang untuk menghasilkan pengembalian energi dan kecepatan yang lebih besar.

Berkat trio pelat karbon dan midsole mutakhir (bantalan di atas tapak), studi peer-review – meskipun didanai oleh Nike – mengklaim sepatu ini meningkatkan efisiensi lari 4 persen dan diperkirakan 3,4 persen dalam kecepatan.

Baca Juga: Nyaris Bikin Greysia Polii Pensiun Dini, Inilah Detik-detik Wasit Kehormatan Keluarkan Kartu Hitam saat Olimpiade London 2012, 4 Pasangan Ganda Putri Didiskualifikasi Sekaligus

Pedoman baru yang diluncurkan oleh World Athletics pada Januari 2020 pun melarang penguunaan sepatu jenis ini.

Aturan baru ini menguraikan sepatu harus memiliki tidak lebih dari satu pelat serat karbon, dengan tinggi midsole tidak melebihi 40mm.

(*)