Find Us On Social Media :

'Borong Habis' Semua Medali Marathon Olimpiade Tokyo 2020, Inilah Nike Vaporfly, Sepatu yang Dianggap Sebagai Doping Teknologi, Pendahulunya Sampai Jadi 'Sepatu Terlarang'

By Muflika Nur Fuaddah, Minggu, 8 Agustus 2021 | 18:25 WIB

Eliud Kipchoge (tengah), Abdi Nageeye (kiri) dan Bashir Abdi terlihat saat upacara penyerahan medali.

Sebut saja, bobot sepatu yang lebih ringan, komposisi material, ketebalan bagian tumit, dan longitudinal bending stiffness atau istilah sederhananya adalah tingkat kelenturan sepatu dari tumit hingga ujung kaki.

Melansir Kompas.com, pelat serat karbon di bagian tumit hingga ujung kaki di dalam sol busa Vaporfly menjadi inovasi yang menarik perhatian.

Pelat tersebut bukan konsep baru, namun bentuk scoop yang spesifik menawarkan peningkatan performa terbaru.

Dengan menggunakan pelat berbentuk scoop itulah, efek "jungkat-jungkit" dirasakan oleh para pelari yang membantu mengembalikan energi setiap kaki menginjak tanah.

Baca Juga: 'Saya Tahu Betapa Frustasinya', Cerita di Balik Keputusan Atlet Qatar dan Italia Berbagi Emas Lompat Tinggi Olimpiade Tokyo, padahal Masih Ada Peluang Membawa Pulang 'Kebanggan' Itu Untuk Sendiri

Vaporfly juga menggunakan busa PEBA, yang menyimpan jauh lebih banyak energi dari cara pelari mendarat dengan kaki setiap kali mereka mengambil langkah (foot strikes).

Selain itu, busa ini mampu mengembalikan lebih banyak energi ke pelari, dibandingkan bahan TPU dan EVA yang biasa dipakai dalam sepatu kets.

Busa PEBA juga lebih ringan. Vaporfly memiliki berat sekitar 50 gram lebih ringan dari busa sepatu lari konvensional.

Ketebalan tumit sepatu yang mencapai 40 mm pun patut diperhitungkan, karena lebih tebal sekitar 10 mm dibandingkan sepatu lari lainnya.

Baca Juga: 'Saya Masih Tidak Percaya Itu Terjadi', Momen Dramatis di Cabor Lompat Tinggi Putra Olimpiade Tokyo, Ketika Atlet Qatar dan Italia Lebih Memilih Berbagi Medali Emas