Find Us On Social Media :

Kisah Mohammad Reza Shah Pahlavi, Raja Terakhir Iran, Konsentrasi Hidupkan Tentara, Runtuh Karena Pemberontakan Rakyatnya Sendiri

By K. Tatik Wardayati, Rabu, 2 Juni 2021 | 12:00 WIB

Intisari-Online.com – Inilah kisah Mohammad Reza Shah Pahlavi, raja terakhir Iran, yang konsentrasi hidupkan tentara kembali, tetapi akhirnya runtuh karena pemberontakan rakyatnya sendiri.

Raja terakhir Iran, Mohammad Reza Shah Pahlavi, meninggalkan negaranya setelah 38 tahun memimpin dan berakhir dengan adanya pemberontakan.

Pada 16 September 1941, Mohammad Shah naik takhta.

Ia menggantikan ayahnya Reza Shah, sebelum ulang tahunnya yang ke-22.

Baca Juga: Percuma Saja Ada Gencatan Senjata, Israel dan Hamas Dijamin Tidak Akan Pernah Berdamai, Malahan Amerika dan Iran Akan Ikut Campur

Pada 26 Oktober 1919 di Teheran, Mohammad Reza Shah Pahlavi lahir.

Di Swiss dia menyelesaikan sekolah dasarnya.

Seperti melansir dari Iran Chamber, Mohammad Reza kembali ke Iran pda 1935, lalu mendaftar di sekolah militer Teheran, dan lulus pada 1938.

Ia kemudian menikah dengan saudara perempuan raja Mesir, Faroq I, pada tahun 1939.

Baca Juga: Tersohor Sebagai Pusat Penyebaran Islam, Faktanya Kini Makin Banyak Orang 'Murtad' di Wilayah Arab, Ternyata Ini yang Lebih Mereka Pilih

Sayangnya, pasangan itu kemudian bercerai pada tahun 1949.

Mohammad Reza kemudian menikah dua kali lagi, pada 1950 dengan Soraya Esfandiari, dan 1959 dengan Farah diba.

Kepemimpinan Mohammad Reza  melanjutkan kebijakan reformasi ayahnya.

Namun, persaingan untuk mengontrol pemerintah segera meletus antara raja dan politisi profesional yang lebih tua, Mohammad Mosaddeq yang nasionalis.

Diriwayatkan bahwa Mohammad Reza semakin melibatkan dirinya dalam urusan pemerintahan dan menentang atau menggagalkan perdana menteri, terlepas dari sumpahnya untuk bertindak sebagai raja konstitusional yang akan tunduk pada kekuasaan pemerintah parlementer.

Mohammad Reza, seperti dikutip dari Iran Chamer, disebutkan lebih mengandalkan manipulasi dari pada kepemimpinan, meski rentan terhadap ketidakpercayaan publik.

Mohammad Reza berkonsentrasi untuk menghidupkan kembali tentara dan memastikan akan tetap di bawah kendali kerajaan sebagai basis kekuatan utama kerajaan.

Shah menempatkan dirinya sebagai sekutu penting Barat, dalam konteks kekacauan regional dan Perang Dingin.

Baca Juga: Iran Tuduh Israel Lakukan Sabotase Nuklir, Mantan Bos Mossad Ingin 'Beri Pelajaran Ini'

Raja para raja

Sementara di dalam negeri, raja Iran ini menganjurkan kebijakan reformasi.

Puncaknya pada program tahun 1963 yang dikenal sebagai Revolusi Putih, mencakup reformasi tanah, hak suara bagi perempuan, dan penghapusan buta huruf.

Pada tahun 1967, menurut catatan sejarah, dia menobatkan dirinya sebagai Raja Para Raja (Kaisar Iran) dan istrinya, Farah Diba, sebagai Shahbanoo (Permaisuri).

Apa yang dilakukannya itu membuat ketidakpuasan di antara berbagai lapisan masyarakat.

Langkahnya tersebut dianggap sebagai bentuk meningkatnya kesewenang-wenangan pemerintahan Shah, yang memprovokasi para pemimpin agama yang takut kehilangan otoritas tradisional mereka serta para pelajar dan intelektual yang mencari reformasi demokratis.

Para penentang mengkritik Shah karena melanggar konstitusi yang membatasi kekuasaan kerajaan dan menyediakan pemerintahan perwakilan, yang tunduk pada Amerika Serikat.

Tokoh dunia ini melihat dirinya sebagai pewaris raja-raja Iran kuno, dan pada 1971 ia mengadakan perayaan yang luar biasa atas 2.500 tahun monarki Persia.

Pada 1976, ia mengganti kalender Islam dengan kalender "kekaisaran", yang dimulai dengan berdirinya kekaisaran Persia lebih dari 25 abad sebelumnya.

Baca Juga: Iran, Hamas, dan Hizbullah Diberitakan Telah Bersama-sama Mengoordinasikan Pertempuran

Tindakannya itu dianggap anti-Islam dan menimbulkan pertentangan agama.

Tidak hanya itu, Rezim Shah menekan dan meminggirkan lawan-lawannya dengan bantuan organisasi keamanan dan intelijen Iran, SAVAK.

Pendapatan minyak yang diandalkan yang meningkat tajam pada akhir 1973, membuat Shah mengejar tujuannya mengembangkan Iran sebagai kekuatan regional perkasa yang didedikasikan untuk reformasi sosial dan pembangunan ekonomi.

Raja terakhir Iran ini terus-menerus  menghindari pengaturan demokrasi dan menolak untuk mengizinkan kebebasan sipil dan politik.

Itu berarti, dia tetap tidak responsif terhadap opini publik.

Raja Iran ini memerintah di tengah ketidakpuasan yang meluas yang disebabkan oleh penindasan terus-menerus dari rezimnya pada pertengahan 1970-an.

Perubahan sosial ekonomi hanya menguntungkan beberapa kelas dengan mengorbankan yang lain.

Akhirnya kesenjangan terus meningkat antara elit yang berkuasa dan penduduk yang tidak terpengaruh.

Tokoh ulama Islam yang diasingkan Ayatollah Ali Khamenei, memfokuskan ketidakpuasan ini dengan ideologi populis yang terkait dengan prinsip-prinsip Islam dan seruan untuk menggulingkan raja.

Baca Juga: Benar-Benar Gila: Rencana Tak Terduga Pilot Iran Untuk Menghancurkan Jet Irak Selama Perang

Akhirnya pemerintahan Shah runtuh menyusul pemberontakan yang meluas pada tahun 1978 – 1979, dan sebuah Republik Islam menggantikan rezimnya.

Pada Januari 1979, Shah meninggalkan Iran untuk memulai hidup di pengasingan.

Tinggal berpindah-pindah tempat dari Mesir, Maroko, Bahama, hingga Meksiko, sebelum akhirnya pergi ke Amerika Serikat untuk pengobatan kanker limfatik stadium lanjutnya.

Kedatangannya di New York City menyebabkan Iran mengambil alih Kedutaan Besar Amerika di Teheran oleh "Mahasiswa Garis Imam" dan menyandera lebih dari 50 orang Amerika selama 444 hari.

Demikianlah pada 27 Juli 1980, riwayat hidup raja terakhir Iran ini berakhir di Kairo.  (Shintaloka Pradita Sicca)

Baca Juga: Dukung Palestina, Iran Ajak Umat Muslim Bersatu Lawan Israel, Sampai Siapkan Senjata-senjata Mematikan Ini

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari