Find Us On Social Media :

'Saya Tertawa Terbahak-bahak', Kala Sikap Heroik Jokowi untuk Myanmar Malah Disebut Lelucon karena Justru Dianggap 'Lupa dengan Masalah di Halaman Belakang'

By Tatik Ariyani, Sabtu, 27 Maret 2021 | 19:07 WIB

Demo kudeta myanmar - Presiden Joko Widodo - Rakyat Papua

Intisari-Online.com - Aksi demonstrasi menentang kudeta militer Myanmar terus tumbuh dan berlangsung hampir setiap hari.

Pasukan keamanan Myanmar pun tak segan menggunakan kekerasan dan bahkan membunuh demonstran untuk membubarkan aksi mereka.

Hingga kini, pasukan keamanan Myanmar dilaporkan telah membunuh lebih dari 300 orang dalam aksi demonstrasi anti-kudeta tersebut.

Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo mengecam kekerasan yang dilakukan oleh junta militer terhadap pengunjuk rasa anti-kudeta di Myanmar.

Baca Juga: Sebut Tsunami Aceh Dipicu 'Project Seal' Buatan AS, Inilah Jerry D Gray, Mantan Tentara AS yang Pernah Sebut Pemerintahan Jokowi Disusupi Komunis

Kemudian, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) menanggapi komentar Presiden Jokowi tersebut sebagaimana dimuat dalam artikel yang terbit di Asia Pasific Report berjudul Jokowi is a ‘hero’ for Myanmar, what about justice for the Papuans? oleh Kristianto Galuwo di Jayapura.

Melansir Asia Pasific Report, Jumat (26/3/2021), Direktur Eksekutif ULMWP Papua, Markus Haluk mengatakan, masyarakat Papua juga mengecam keras tindakan junta militer Myanmar yang merebut kekuasaan dengan melanggar prinsip demokrasi dan HAM rakyat Myanmar.

“Kami mengutuk aksi militer anti demokrasi Myanmar yang merupakan prinsip rakyat Papua Barat,” ujarnya.

"Orang Papua Barat menolak pemerintah Indonesia dan Amerika yang telah anti dekolonisasi oleh pemerintah Belanda terhadap orang Papua Barat sejak tahun 1963. Orang Papua menentang kekerasan terhadap siapa pun."

Baca Juga: Dipastikan Membuat Seluruh Petani Indonesia Menangis, Menjelang Panen Raya, Dua Menteri Jokowi Ini Sepakat Perintahkan Impor Beras Sampai 1 Juta Ton, 'Harga di Petani Sudah Drop'

Haluk mengatakan, saat menyaksikan seruan Presiden Jokowi atas situasi di Myanmar, ia merasa kesal dan marah karena pemerintah Indonesia telah membuat publik mempertanyakan prinsip-prinsip demokrasinya.

Pemerintah Indonesia mengutuk militer Myanmar tetapi pada saat yang sama tindakan pemerintah terhadap Papua adalah anti-kemanusiaan dan anti-demokrasi.

“Jujur saja, saya marah, emosional, kesal, tapi juga saya tertawa terbahak-bahak.

"Anda selalu berbicara tentang demokrasi, hak asasi manusia, menjadi pahlawan bagi mereka yang ada di sana, tapi bagaimana dengan yang ada di depan mata Anda - masalah di halaman belakang Anda adalah masalah Papua," kata Haluk.

"Apa yang dilakukan Presiden Jokowi (untuk menyelesaikan konflik Papua)? Apakah dia sudah menyelesaikan (konflik Papua) dengan 11 kunjungan? Apakah dia sudah menyelesaikan (konflik Papua) dengan membangun Jembatan Merah Port Numbay?

“Apakah dengan mengadakan PON XX (Pekan Olahraga Nasional Oktober 2021 di Papua) dan membangun fasilitas bernilai triliunan rupiah? Apakah dengan mengirimkan pasukan TNI / POLRI (TNI dan Polri) dari luar Papua?” lanjutnya.

Haluk mengatakan, semua yang dilakukan Jakarta tidak akan pernah menyelesaikan konflik politik antara Papua Barat dan pemerintah Indonesia selama 58 tahun (1963-2021).

Baca Juga: Mahakarya Muridnya Dipuja-puji Jenderal Kenamaan di Berbagai Negara, Jenderal Sudirman Ungkap 3 Jimat 'Magis' yang Bikin Taktik Gerilyanya Ampuh Permalukan Belanda

Pemerintah Indonesia harus memikirkan langkah-langkah konkrit untuk mengatasi krisis tersebut.

“Saya sampaikan kepada Presiden Jokowi bahwa sekarang saatnya dia berbicara tentang Myanmar dan memang sudah saatnya menyelesaikan konflik politik dan pelanggaran HAM, kejahatan terhadap kemanusiaan yang terus meningkat di Papua Barat,” ujarnya.

Haluk mengatakan, ada beberapa langkah konkrit yang bisa dilakukan Presiden Jokowi.

Presiden harus memenuhi janjinya kepada ketua Dewan HAM PBB untuk datang ke Papua Barat.

“Itu sesuai dengan janji Presiden Jokowi kepada ketua Dewan HAM PBB pada Februari 2018 di Jakarta.”

Dia mengatakan Presiden juga harus memenuhi janjinya pada 2015 bahwa jurnalis asing akan diizinkan masuk ke Papua dengan bebas.

Tidak hanya jurnalis, tapi juga untuk seluruh komunitas internasional berkunjung ke Papua.

"Izinkan akses bagi jurnalis internasional, diplomat asing, akademisi, anggota senat dan kongres serta masyarakat internasional untuk mengunjungi Papua Barat," ujarnya.

Baca Juga: Tak Cukup Berbuat Zalim di Negerinya Sendiri, China Gunakan Jasa Penjahat Digital untuk Hantam Warga Uighur di Luar Negeri, Facebook Sampai Harus Repot-repot Turun Tangan Mengadangnya dengan Ini

Sementara itu, Selpius Bobi, aktivis korban 16 Maret 2006, pekan lalu mengatakan, pemerintah Indonesia tak henti-hentinya menekan kebebasan masyarakat adat Papua.

Peristiwa yang menjebloskannya ke penjara 15 tahun lalu masih terus berlangsung.

Dia mengatakan lebih baik negara mengakui kesalahannya di Papua Barat.

“Negara Indonesia harus berani, jujur ​​dan terbuka mengakui kepada publik skenario maut di balik tragedi 16 Maret 2006 yang menjadi tanggung jawab dan permintaan maaf kepada para korban,” ujarnya.

Saat tragedi itu, tiga polisi dan seorang awak pesawat tewas dan 24 orang lainnya cedera dalam bentrokan dengan mahasiswa Papua yang menuntut penutupan tambang Grasberg milik PT Freeport.

Indonesia melakukan kekerasan terhadap orang Papua untuk merampas kekayaan alamnya.

"Kami nyatakan PT Freeport Indonesia harus ditutup dan mari kita negosiasikan antara Amerika Serikat, Indonesia dan Papua Barat sebagai pertanggungjawaban dan kompensasi bagi masyarakat Papua Barat yang dikorbankan karena perjanjian kerjasama sepihak terkait eksploitasi pertambangan," ujarnya.

Dia pun mendesak Presiden Jokowi segera menghentikan kejahatan yang merajalela di Papua Barat.

"Hentikan kekerasan, hentikan operasi militer, hentikan pengiriman TNI-POLRI, hentikan penculikan dan pembunuhan, hentikan stigmatisasi dan diskriminasi, hentikan penangkapan dan pemenjaraan sewenang-wenang bagi aktivis HAM Papua Barat, dan segera tarik pasukan non-organik dari Tanah Papua, cabut UU Otonomi Khusus Papua dan menghentikan pemekaran provinsi di Tanah Papua."