Penulis
Intisari-online.com -Hidup di negara berkembang seperti di Indonesia membuat rakyatnya bertanya-tanya seperti apa rasanya hidup di negara maju.
Itulah sebabnya cerita mengenai kehidupan di negara lain contohnya Amerika Serikat, China, Jepang dan Korea Selatan atau negara-negara Eropa membuat rasa penasaran manusia meningkat.
Permasalahan sehari-hari yang dihadapi oleh warga negara-negara itu tentunya akan berbeda dengan permasalahan di Indonesia.
Contohnya adalah Jepang.
Jika saat ini di Indonesia masalah yang dihadapi adalah cuaca tidak menentu dan banjir di mana saja, permasalahan di Jepang justru menuntun kepada kepunahan warganya sendiri.
Dilaporkan dari BBC, Jepang melaporkan kasus bunuh diri lebih cepat dan lebih akurat daripada negara lain di dunia.
Serta tidak seperti sebagian besar negara-negara di dunia, mereka membuat laporan itu setiap bulannya.
Kasus yang dilaporkan selama pandemi Covid-19 tunjukkan angka yang mengerikan.
Tahun 2020 kemarin, pertama kalinya dalam 11 tahun, tingkat bunuh diri di Jepang meningkat pesat.
Paling mengejutkan, kasus ini jauh lebih banyak terjadi pada wanita sedangkan kasus bunuh diri pria menurun.
Hampir 15% kasus bunuh diri wanita meningkat.
Dalam bulan Oktober saja, tingkat bunuh diri wanita di Jepang meningkat lebih dari 70%, dibandingkan pada bulan yang sama tahun sebelumnya.
Rupanya pandemi Covid-19 berpengaruh besar dalam kasus ini.
Cerita ini mungkin akan sedikit mengganggu Anda.
Rupert Wingfield-Hayes, jurnalis BBC News di Tokyo, bertemu langsung dengan seorang wanita muda yang sudah berulang kali mencoba bunuh diri dalam pengalaman-pengalaman yang mengerikan.
Gadis itu baru berusia 19 tahun.
Tanpa emosi dan tanpa gerak, gadis itu menceritakan kisahnya kepada Wingfield-Hayes.
Hal itu dimulai saat ia berusia 15 tahun ketika kakak lelakinya mulai lakukan tindakan kekerasan kepadanya.
Akhirnya ia lari dari rumah, tapi rupanya hal itu tidak mengakhiri rasa sakit dan rasa kesepiannnya.
Satu-satunya cara yang ia lihat hanyalah bunuh diri.
"Sudah setahun aku berulang kali masuk dan keluar dari rumah sakit," ujarnya.
"Aku mencoba berkali-kali untuk membunuh diriku sendiri, tapi aku tidak berhasil, sehingga sekarang aku menyerah mencoba mati."
Yang menghentikannya adalah pertolongan dari Bond Project.
Organisasi nirlaba itu menemukan tempat bagi gadis itu untuk hidup lebih aman, dan nyaman baginya untuk memulai konseling.
Pendiri organisasi itu adalah wanita bernama Jun Tachibana yang berusia di pertengahan 40.
"Saat gadis-gadis menghadapi masalah dan sakit, mereka benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan," ujarnya.
"Untuk itu kami di sini, siap mendengarkan mereka, mengatakan, kami ada untuk mereka.:
Tachibana mengatakan Covid-19 tampaknya mendorong yang sudah rentan untuk mencapai batasnya.
Ia menggambarkan telepon pertolongan mengerikan yang diterima para stafnya beberapa bulan terakhir.
"Kami mendengar banyak 'aku ingin mati' dan 'aku tidak punya tempat tujuan lain'," ujarnya.
"Mereka juga berkata 'Ini sangat menyakitkan. Aku sangat kesepian aku ingin menghilang'."
Bagi para korban kekerasan fisik maupun seksual, Covid-19 telah menjadikan situasi sangat buruk.
"Seorang gadis yang kuajak berbicara kemarin mengatakan ia sudah sering menjadi korban kekerasan seksual ayahnya," ujar Tachibana kepada Wingfield-Hayes.
"Namun karena Covid-19 ayahnya tidak banyak bekerja dan sering di rumah, ia tidak bisa melarikan diri darinya."
Pola yang 'sangat tidak biasa'
Peningkatan mendadak jumlah korban bunuh diri di era pandemi Covid-19 di Jepang ini kebanyakan adalah wanita.
Hal itu sangatlah tidak biasa dan baru saja terjadi di Jepang.
Namun ada beberapa alasan mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Jepang mencatat peningkatan wanita lajang yang hidup sendiri, yang memilih tidak menikah karena tidak ingin terjebak dalam peran wanita dalam pernikahan.
Ketakutan atas patriarki itu yang membuat wanita Jepang memilih melajang saja.
Profesor Michiko Ueda, salah satu pakar masalah bunuh diri Jepang, mengatakan "Banyak wanita tidak menikah lagi.
"Mereka harus menopang hidup mereka sendiri dan tidak punya pekerjaan permanen. Sehingga saat ada sesuatu yang terjadi, mereka akan terpukul. Jumlah karyawan kehilangan pekerjaan sangatlah besar dalam 8 bulan terakhir."
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini