Di Ambang Kepunahan Karena Rakyatnya Enggan Menikah dan Pilih Akhiri Hidup, Jepang Tunjuk Menteri Kesepian untuk Jadi Solusi Masa Depan Negeri Sakura

Maymunah Nasution

Penulis

Chujo, 24 tahun, telah menjadi hikikomori selama dua tahun. Ia memiliki impian menjadi penyanyi, tapi sebagai anak laki-laki tertua, keluarganya meminta Chujo untuk meneruskan bisnis. Karena kesal, ia menarik diri dari keluarganya dan akhirnya perasaan rendah diri meningkat. Chujo mengunci diri di

Intisari-online.com -Tahun 2020 lalu, kematian aktor multitalenta Jepang, Haruma Miura, gegerkan jagat maya.

Namun kematiannya tidak hanya satu bunuh diri saja.

Dilaporkan ternyata pada 2019 ada 20 ribu warga Jepang melakukan bunuh diri.

Tren suram ini meningkat seiring dengan kondisi pandemi Covid-19 yang telah berlangsung.

Baca Juga: Sebagian Masyarakat Dunia Alami Depresi Akut Selama Pandemi, Jepang Sudah Peringatkan Kasus Bunuh Diri Melonjak Selama Covid-19

Isu kesehatan mental di Jepang tergolong sangat parah.

Membicarakannya pun terasa tidak etis dan dianggap tabu oleh banyak orang.

Bahkan, meski banyak yang memiliki masalah kesehatan mental, mereka tidak mencari psikiater atau bantuan lain karena dianggap memalukan.

Masalah yang mendasari mereka bisa berasal dari tingginya stress akibat pekerjaan atau masalah di hubungan pribadi warga Jepang.

Namun, masalah utama yang mendasari mengapa bunuh diri di Jepang sangat tinggi adalah harapan pandangan orang lain terhadap masing-masing warga Jepang.

Bahkan di Jepang 11 tahun lalu sebuah buku kontroversial berjudul "How to Commit Suicide" atau "Cara-cara Melakukan Bunuh Diri" pernah rilis.

Baca Juga: Memiliki Tingkat Bunuh Diri Tertinggi di Dunia, Inilah Mengapa Kematian Aktor Terkenal Jepang Haruma Miura Justru Sulit Diterima Warga Jepang Sendiri

Perilaku Hikikomori

Keanehan warga Jepang yang tidak ditemukan di masyarakat negara lain adalah penyakit hikikomori atau perilaku mengurung diri di rumah dan menghindari kontak sosial.

Pemerintah Jepang telah menegaskan bahwa hikikomori merujuk pada orang-orang yang tidak mau meninggalkan rumahnya atau berinteraksi dengan orang lain setidaknya selama enam bulan.

Namun, hikikomori hadir dalam berbagai bentuk. Kondisi seseorang bisa sangat parah sehingga dia tidak memiliki energi untuk bangkit dari kursi menuju toilet.

Baca Juga: Hikikomori, saat Jutaan Penduduk Jepang Mengunci Diri di Kamar Berhari-hari untuk Berinternet dan Membaca Manga

Sementara, yang lainnya menderita gangguan obsesif kompulsif sangat serius. Mereka mandi beberapa kali dalam sehari atau menggosok lantai toilet selama berjam-jam. Ada juga yang mengaku bermain video game sepanjang hari dan itu membuatnya tenang.

Jeff Kingston, profesor studi Asia di Temple University mengatakan, hikikomori biasanya memiliki gejala sosial yang ekstrem. Mereka tinggal di rumah bersama orangtua yang bisa merawat mereka setiap hari.

“Hikikomori jarang meninggalkan kamar dan rumahnya. Mereka terkunci di dalam dan membatasi interaksi dengan dunia maya. Ini dianggap sebagai penyakit kelas menengah karena hikikomori dari latar belakang seperti itu yang bisa mengandalkan dukungan keluarga mereka,” terang Jeff.

Hikikomori ini tercipta dari rasa malu yang mendalam karena keburukan yang mereka alami atau tidak mempunyai pekerjaan seperti orang normal, merasa tidak berharga dan tidak layak untuk kebahagiaan dan terkhianati oleh ekspektasi orangtuanya.

Baca Juga: Suaminya Bunuh Diri, Tunangannya Tewas dalam Kecelakaan, Wanita Ini pun Sempat Depresi, Namun Memutuskan untuk Mengubah Hidupnya Jadi Lebih Baik

Tren tidak menikah

Kondisi sangat depresif di masyarakat Jepang menghadirkan masalah baru berupa penurunan jumlah penduduk.

Populasi penduduk Jepang berdasarkan Daftar Penduduk Dasar pada 1 Januari 2019 tercatat 124.763.464 jiwa atau menurun selama 10 tahun berturut-turut.

Jumlah penurunan sekitar 430.000 orang, tertinggi sejak survei Kementerian Dalam Negeri Jepang dimulai.

Baca Juga: Kian Hari, Perawan dan Perjaka di Jepang Kian Bertambah Banyak, Negeri Sakura pun Kian Suram Berbicara tentang Masa Depan

Ya, di Jepang jumlah penduduknya bukan hanya tidak mengalami lonjakan, tapi juga mengalami penurunan.

Belakangan, salah satu sumber masalah dari kondisi ini mulai terlihat: jumlah perjaka dan perawan di Jepang meningkat pesat.

Temuan yang didasarkan penelitian terbaru tentang pengalaman seksual pertama warga Jepang dianggap sebagai penjelasan terkait penurunan jumlah populasi masyarakat Jepang.

Hal ini mengakibatkan angka kelahiran bayi menurun yang diperparah dengan populasinya yang menua dengan cepat.

Baca Juga: Fantastis, Biaya Pernikahan di Korea Selatan Capai Angka Rp 3 Milyar, Banyak Penduduknya Mulai 'Malas Menikah' Sampai-Sampai Hampir Menyamai Tingkat Pernikahan Di Jepang, Seperti Apa?

Di Jepang, lebih dari 20% populasinya berusia di atas 65 tahun. Sementara hanya ada 946.060 kelahiran pada tahun 2017.

Catatan tersebut menjadi rekor terendah sejak pencatatan resmi dimulai pada tahun 1899.

Ini bukanlah masalah sampingan. Masyarakat Jepang benar-benar bisa punah jika hal ini terus-terusan terjadi.

Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga telah memberikan solusi untuk permasalahan yang diperburuk selama pandemi Covid-19 ini.

Baca Juga: Pernah Bekerja di Kandang Kuda Demi Sesuap Nasi, Japanese Goddess Ini Kini Terjerat Skandal Perselingkuhan dengan Seorang Pria yang Istrinya Tengah Hamil, 'Penyesalannya' Malah Bikin Jengkel Warganet

Politikus Tetsushi Sakamoto ditunjuknya menjadi Menteri Kesepian.

Sakamoto akan mengurusi kementerian yang mengatasi kesepian dan isolasi yang menjadi semakin umum di Jepang selama pandemi ini.

Penunjukan kabarnya diberlakukan setelah muncul laporan yang menunjukkan bahwa jumlah kasus bunuh diri di Jepang meningkat selama setahun terakhir.

Dia antara kasus bunuh diri tersebut, jumlah mayoritasnya adalah wanita dan kaum muda sebagaimana dilansir dari World of Buzz, Jumat (19/2/2021).

Baca Juga: Jadi Negara Dengan Usia Harapan Hidup Tertinggi di Dunia, Intip 6 Rahasia Warga Jepang Panjang Umur

Peneliti berpendapat, banyaknya wanita yang bunuh diri selama pandemi dikarenakan wanita cenderung lebih banyak bekerja di sektor ritel dan jasa. Sehingga, saat pandemi seperti ini, mereka kehilangan pekerjaan dan menjadi depresi.

Lonjakan tersebut terjadi pada paruh kedua 2020 dengan Oktober mengumpulkan jumlah kematian terbanyak yakni 2.153 kematian dalam satu bulan dalam rentang waktu lima tahun.

Pemerintah Jepang sekarang mengambil langkah aktif untuk membantu mengekang lonjakan kasus bunuh diri.

Jepang melakukannya dengan memperluas layanan konsultasi dan memperkenalkan organisasi pendukung kepada mereka yang membutuhkan.

Baca Juga: Fakta Mencengangkan: Wanita Jepang Banyak yang 'Jomblo' Namun yang Masih Perawan Makin Tipis!

Dilansir dari Japan Times, Suga meminta Sakamoto mengawasi upaya pemerintah untuk mengatasi masalah kesepian dan isolasi.

“Wanita lebih menderita (daripada pria), dan jumlah kasus bunuh diri sedang meningkat. Saya harap Anda akan mengidentifikasi masalah dan mempromosikan langkah-langkah kebijakan secara komprehensif,” kata Suga kepada Sakamoto dalam sebuah pertemuan.

Dalam konferensi pers di kemudian hari, Sakamoto berharap dapat melakukan kegiatan untuk mencegah kesepian dan isolasi sosial serta untuk menjaga hubungan antar-manusia.

Dia mengungkapkan rencananya untuk mengadakan forum darurat pada akhir Februari.

Baca Juga: Merasa Hidup di Penjara Lebih Baik, Para Lansia di Negara Ini Sengaja Lakukan Kejahatan Sepele Agar Masuk Penjara

Forum tersebut akan mendengarkan pendapat dari mereka yang membantu orang-orang yang menghadapi kesepian dan isolasi, serta membahas langkah-langkah yang diperlukan.

Suga berencana menghadiri forum tersebut.

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini

Artikel Terkait