Find Us On Social Media :

Rumahnya Diserang Peluru Meriam Propaganda China Sejak 1949, Pria Ini Justru Buat Ratusan Ribu Pisau Dapur Dari Selongsong Pelurunya

By Maymunah Nasution, Sabtu, 31 Oktober 2020 | 06:10 WIB

Ilustrasi Selongsong Peluru

Intisari-online.com - Seorang pandai besi Taiwan, Wu Tseng-dong membuat 400.000 pisau dari bahan peluru meriam propaganda China yang pernah menyerang rumahnya sejak 1949.

Dikenal sebagai "Maestro Wu" oleh warga lokal, Wu Tseng-dong memiliki bengkel besi di rumahnya di pulau Kinmen yang terletak 3,2 kilometer dari pusat daratan China, yang dibayangi ancaman perang terus-menerus.

China memandang Taiwan sebagai wilayah pemerintahannya sendiri dan bersumpah suatu hari akan merebutnya, jika perlu dengan kekerasan.

Seperti banyak generasi tua yang tinggal di Kinmen, Wu tumbuh di bawah bersama dengan banyaknya serangan bom.

Baca Juga: Mentang-mentang Embargonya Sudah Diangkat, Iran Terang-terangan Membangun Fasilitas Nuklir Baru di Wilayah Natanz, Ini Ujar PBB

Bahkan setelah China perang saudara pada 1949, ditinggalkan Komunis Mao Zedong yang bertanggung jawab atas daratan dan Nasionalis Chiang Kai-shek di Taiwan, pulau itu terus ditembaki oleh pasukan komunis.

Wu lahir tak lama sebelum pemboman terburuk terjadi pada 1958, ketika hampir setengah juta peluru ditembakkan ke Kinmen dan pulau-pulau terdekat lainnya selama periode 44 hari, yang menewaskan 618 orang dan melukai lebih dari 2.600 orang.

Melansir AFP pada Jumat (30/10/2020), amunisi masih berjatuhan hingga 1970-an, meskipun pada saat itu amunisi hanya sebagai propaganda dan tidak berisi bahan peledak.

Wu memiliki kenangan masa kecil yang jelas saat bersembunyi di tempat penampungan serangan udara bersama keluarganya di malam hari sambil memungut pecahan logam di siang hari.

Baca Juga: Sok Sangar Waktu Nyelonong di Laut Indonesia Pakai Tembakan Meriam Pula, Kapal Malaysia Ini Langsung Kicep Baru Didekati Anggota Kopaska, Setelah Dibentak Langsung Kocar-kacir

"Saya ingat ketakutan yang kami rasakan di malam hari," katanya kepada AFP.

"Penembakan mungkin terlihat menarik di film, semakin intens semakin menarik, tetapi pada kenyataannya itu sangat berbahaya," ujarnya.

"Kami mencoba mengambil amunisi sebanyak yang kami bisa, bahkan memanjat pohon untuk mendapatkannya, untuk ditukarkan dengan hadiah kecil.

"Itu menyenangkan untuk masa kecil kami meskipun kami takut akan serangan udara," tambahnya.

Baca Juga: Kisah Sengitnya 'Operation Badr', Pertempuran Brutal Aksi Balas Dendam atas Perang Enam Hari, Medan Diwarnai Rongsok Ratusan Tank hingga Mayat Bergelimpangan

Sebagai pandai besi generasi ketiga, Wu belajar cara mencetak logam sejak kecil.

Wu mengikuti ayahnya, yang pertama kali mengubah selongsong paluru artileri menjadi pisau, ketika beberapa tentara Taiwan yang ditempatkan di Kinmen mulai meminta pesanan pisau khusus.

Orang tidak menginginkan perang

Sebagian besar pisau Wu terbuat dari amunisi propaganda, yang tidak meledak saat terkena benturan.

Baca Juga: Niat Hati Mendaki Bukit Untuk Penyegaran Jiwa, Para Pendaki Ini Malah Temukan Merkava dan Senjata Perang Lengkap, Hanya Kurang 'Personilnya' Saja

Dalam 3 dekade terakhir, dia memperkirakan telah menempa sekitar 400.000 pisau dari bahan amunisi.

Amunisi tua ditumpuk tinggi di bengkel Wu, yang menjadi daya tarik bagi wisatawan.

Pengunjung dengan bersemangat mengambil gambar saat Wu secara sistematis memahat sebongkah logam bercahaya menjadi pisau.

Dalam beberapa tahun terakhir, setidaknya sebelum pandemi virus corona menutup perbatasan, Kinmen telah menjadi tujuan populer bagi turis China daratan.

Baca Juga: Jadi 'Rising Star' dengan Ambil Keuntungan dari Covid-19, Kenapa Propaganda yang DIlakukan China Secara Mati-matian Bisa Gagal?

Jaringan transportasi langsung telah ada pada 2008 ketika hubungan kedua negara lebih hangat di bawah pemerintahan Taiwan yang bersahabat dengan Beijing.

Namun, hubungan antara Taiwan dan China sejak itu anjlok ke level terburuk dalam beberapa dekade.

Pada 2016, Taiwan memilih Presiden Tsai Ing-wen, yang memandang pulau itu sebagai negara yang sudah berdaulat dan bukan bagian dari "satu China".

China memutuskan komunikasi resmi dan menumpuk tekanan ekonomi, militer, dan diplomatik sebagai tanggapan.

Baca Juga: Bukan Putra Tertua Keluarga Kim Tapi Kok Bisa Naik Tahta? Ini Alasan Kim Jong-un Bisa 'Singkirkan' Dua Kakak Laki-lakinya dan Jadi Pemimpin Korea Utara

Presiden Xi Jinping telah menjadi pemimpin China yang paling suka berperang sejak era Mao Zedong, menggambarkan serangan ke Taiwan sebagai "tak terhindarkan".

Jet China dalam beberapa bulan terakhir mulai melintasi zona pertahanan Taiwan dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Wu mengatakan dia merasa ketegangan sekarang mencapai titik tertinggi, mungkin bahkan lebih dari pertengahan 1990-an, ketika China menembakkan rudal balistik ke Selat Taiwan, dalam upaya untuk menghalangi Taiwan memilih calon presiden yang tidak disukai Beijing.

Ancaman China adalah sesuatu yang sudah lama dialami oleh 23 juta penduduk Taiwan.

Baca Juga: Rencana China Untuk Menggempur Taiwan Dipastikan Hanya Gertakan Saja, Pasalnya Jika Senggol Taiwan Sedikit Saja, Balasan Lebih Kejam Ini Akan Diterima China, Daerah Ini Bisa Jadi Sasaran Empuk Taiwan

Namun, Wu mengatakan banyak dari mereka di Kinmen tahu secara langsung seperti apa konflik itu dan tidak pernah ingin melihatnya kembali.

"Orang-orang tidak menginginkan perang," katanya.

"Ini sangat brutal dan kami di Kinmen telah mengalaminya selama Pemboman 823 (pada 1958), membuat kerabat dan teman terbunuh atau terluka," ucapnya.

"Saya berharap kedua belah pihak dapat bersepakat satu sama lain secara damai...Terserah kebijaksanaan kedua pemerintah," pungkasnya.

Baca Juga: Satu Pilot Tewas Akibat Jet Tempur Taiwan Jatuh di Tengah Tekanan China, Apa yang Terjadi?

(Shintaloka Pradita Sicca)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Selongsong Peluru Artileri Asal China Diubah Pria Ini jadi 400.000 Pisau Dapur"

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini