Find Us On Social Media :

Terapi Kebal Buat Limfoma, Sinar Terang untuk Penderita Kelenjar Getah Bening

By K. Tatik Wardayati, Rabu, 2 Januari 2019 | 16:30 WIB

Intisari-Online.com – Penderita kanker kelenjar getah bening (limfoma) tak lagi perlu ciut nyali.

Sebuah metode pengobatan baru sanggup meretasnya. Simak tulisan Shinta Teviningrum dan Christantiowati, Terapi Kebal Buat Limfoma, yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 2003.

Joan Wisdish (61) tinggal bersama suaminya, David, di Beeston, dekat Nottingham, Inggris. Ibu dua anak yang sudah beranjak dewasa itu pertama kali tahu dirinya terkena limfoma (kanker kelenjar getah bening) pada 1984.

la mendapat kemoterapi pada penanganan pertama. Yang dia rasakan saat itu, "Seperti ada yang menarik  bagian belakang kepala saya. Rasanya tidak stabil, tidak bertenaga. Sangat tidak nyaman."

Baca Juga : Rifai Pamone Meninggal Setelah Idap TB Kelenjar Getah Bening: Benjolan di Bagian Tubuh Ini Bisa Jadi Gejalanya

Bisa menyeterika enam potong saputangan sudah merupakan prestasi besar baginya saat itu.

Tujuh tahun kemudian, pada 1991, kankernya "kambuh". la menjalani pengobatan yang sama.

Penderitaan serupa terulang lagi pada 1995. Ketika untuk keempat kalinya keganasan sel kanker menyerang tubuh Joan pada 1997, dokter menawarinya pengobatan kombinasi kemoterapi dengan imunoterapi.

Reaksinya, "Sungguh berbeda, saya tidak merasakan hal-hal yang tidak menyenangkan seperti sebelumnya."

Baca Juga : Dikira Kanker Getah Bening, Ternyata Benjolan di Dekat Ketiak Itu Berisi Tinta Tato

Wajar kalau Joan tidak berkeberatan mendapat terapi yang sama manakala kanker limfoma menyerang untuk kelima dan keenam kalinya pada 1999 dan di awal 2003.

Kini, "Saya banyak diundang untuk berbagi pengalaman ketika menjalani terapi itu. Yang terpenting, saya bisa mendampingi anak lelaki saya yang akan menikah."

Sembuhkah dia? Mungkin ya, karena saat ini limfoma merupakan salah satu dari 15 jenis kanker yang sudah dapat disembuhkan.

Non-Hodgkin lebih banyak

Baca Juga : Waspadai Kanker Getah Bening

Kanker kelenjar getah bening timbul akibat sel membagi diri tanpa kendali, sehingga kelenjar itu membengkak. Tak heran, gejala umum pada dua pertiga penderitanya berupa benjolan pada kelenjar getah bening di ketiak, daerah leher di bawah mandibula (tulang rahang bawah), atau selangkangan.

Tapi pada sepertiga sisanya, penyakit itu dimulai pada jaringan getah bening organ tubuh bagian dalam seperti lambung, paru-paru, kelenjar gondok, atau ginjal.

"Namun, tak semua benjolan atau bengkak di daerah leher berarti limfoma. Mungkin hanya radang di tenggorokan atau bengok (parotitis, radang kelenjar liur)," kata dr. Abidin Widjanarko, Sp. PD-KHOM. (Konsultan Hematologi Onkologi Medik) yang bertugas di RS Kanker Dharmais dan RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM).

Menurut Abidin, di RS Kanker Dharmais limfoma menjadi jenis kanker terbanyak kelima yang diderita setelah kanker payudara, kandungan, paru-paru, dan tenggorokan.

Baca Juga : 7 Manfaat Luar Biasa Jus Daun Pepaya, dari Dapat Lawan Kanker hingga Kurangi Efek Kemoterapi

Ada dua jenis limfoma, Hodgkin dan non-Hodgkin. Penderita jenis Hodgkin relatif lebih sedikit. Jumlahnya di Indonesia dalam kisaran 5 - 10% dan di negara-negara Barat di bawah 10% dari jumlah penduduk.

Sedangkan yang non-Hodgkin lebih tinggi lagi  persentasenya di kedua wilayah itu.

Dari jumlah dan sebarannya, pasien non-Hodgkin di RS Kanker Dharmais sekitar 100 pasien baru per tahun, sementara di RSCM tercatat 150 pasien baru per tahun.

Langkah awal pengobatan kanker non-Hodgkin yaitu dengan menentukan derajat keganasannya. Ada yang rendah, menengah, dan tinggi.

Baca Juga : Lebih Mengenal Kemoterapi: Dari Arti, Cara Pengobatan, Hingga Efek Sampingnya

Penentuan itu menjadi acuan bagi prognosis (harapan ke depan) dan strategi pengobatan.

Selanjutnya menentukan kejangkitan, lokasi kanker, yang terbagi dalam stadium I hingga IV.

Disebut stadium I, bila menyerang di satu sisi tubuh (kin atau kanan saja), dan masih di satu wilayah. Misalnya, di leher saja, belum menyebar ke kelenjar ketiak.

Stadium II, bila menyerang di  kedua sisi tubuh atau lebih dari satu wilayah. Misalnya, leher dan ketiak, atau leher kiri dan kanan.

Baca Juga : Seorang Ibu Kehilangan Hak Asuh Anaknya Setelah Menghentikan Kemoterapi Anaknya dan Memilih Pengobatan Alternatif

Stadium III, bila sudah menyebar melewati diafragma. Misalnya leher, paru-paru (rongga dada), dan perut (rongga perut).

Stadium IV, bila sudah menyebar ke organ tubuh misalnya hati, otak, paru-paru, dan yang tersering, usus.

Yang konvensional

Secara konvensional, ada tiga cara prioritas penanganan kanker non-Hodgkin, yaitu kemoterapi, radioterapi atau penyinaran, dan pembedahan.

Baca Juga : 5 Tahun Jalani Kemoterapi, Pria Ini Ternyata Tak Idap Penyakit Kanker, Akibatnya Malah Kembangkan Penyakit Lain

"Pembedahan hanya dilakukan sebagai tindakan gawat darurat," tutur Abidin. Misalnya, tumor terjadi di usus atau rongga perut hingga menghambat penyaluran makanan.

Bila benjolan itu tidak segera disingkirkan, berisiko mengakibatkan kematian segera. Atau benjolan besar di kanan-kiri leher menghambat jalan napas hingga perlu dilakukan tindakan trachiostomy - membuat lubang di leher sebagai jalan pernapasan.

Limfoma dikenal peka terhadap radioterapi dan kemoterapi, sehingga pengobatan dapat diatur sesuai situasinya. Acap kali dokter melakukan kombinasi kedua perawatan itu berdasarkan keganasan serta stadiumnya. Juga atas pertimbangan usia dan kondisi umum penderita.

Radioterapi biasanya dilakukan terhadap pasien pada stadium I atau II dengan derajat keganasan rendah. Tindakan ini tidak memberikan efek sampingan seperti turunnya jumlah sumsum tulang, mual, muntah, dan rambut rontok.

Baca Juga : 5 Tahun Jalani Kemoterapi, Pria Ini Ternyata Tak Idap Penyakit Kanker, Akibatnya Malah Kembangkan Penyakit Lain

Sayangnya, manfaat radioterapi hanya bersifat lokal di tempat yang dikenai penyinaran.

Kemoterapi sering menjadi pengobatan utama limfoma. Karena sifatnya parenteral (infus), ia dapat menjangkau seluruh tubuh mengikuti aliran darah.

Paduan tiga obat atau lebih bertujuan untuk mendapatkan keunggulan masing-masing obat. Kemoterapi mampu menekan jumlah sel kanker dan diharapkan sel kanker itu dapat dibasmi oleh sistem kekebalan tubuh.

Selain sistem infus, ada pula kemoterapi berbentuk tablet atau kapsul (kemoterapi oral). Biasanya diberikan pada penderita kanker jenis non-Hodgkin keganasan rendah.

Baca Juga : Rambut Putrinya Rontok, Denada Tutupi Cermin dengan Koran: Mengapa Kemoterapi Sebabkan Rambut Rontok?

Ada fakta aneh tentang non-Hodgkin keganasan rendah justru karena belum bisa disembuhkan. Yang bisa dilakukan hanya sebatas memperpanjang usia harapan hidup pasien, yang dapat mencapai 10 tahun.

Sel-selnya begitu bandel, tidak bisa hilang sama sekali, sehingga pengobatannya sekadar untuk mengatasi gejala.

Obat yang diberikan pun bukan yang sangat kuat. Selain tak bakal menumpas tuntas sel kankernya, bisa-bisa malah membahayakan pasien.

Jadi, pertama-tama menggunakan kemoterapi oral. Setelah sel menjadi kebal, baru diberi kemoterapi parenteral sampai akhirnya sel menjadi kebal juga.

Baca Juga : Jengkol Disebut Lebih Efektif Lawan Kanker daripada Kemoterapi, Benarkah?

Bila sudah demikian, yang dilakukan kemudian ialah mempersiapkan pasien untuk menghadapi kematian.

Sedangkan non-Hodgkin dengan keganasan menengah justru dapat diatasi dengan kemoterapi yang bisa mematikan sel-sel kanker lebih banyak.

Bagaimana dengan non-Hodgkin keganasan tinggi? Bila tak segera ditangani, pasien bisa meninggal dalam beberapa bulan karena pertumbuhan sel kankernya cepat sekali.

Meski begitu, kemoterapi sangat mempan untuk mengatasinya, bahkan pengobatan agresif bisa menghasilkan remisi lengkap atau sembuh sempurna.

Baca Juga : Studi: Wanita Pengidap Kanker Payudara Tidak Perlu Kemoterapi

Yang penting, penanganannya harus saksama karena efek sampingannya cukup berat.

Pengobatan baru

Untuk mengobati kanker ini, sejak 1996 di RSCM dan RS Kanker Dharmais dilakukan kemoterapi radikal. Sementara pada 2001 mulai dipraktikkan kombinasi kemoterapi - antibodi monoklonal.

Sebelum kemoterapi radikal dilakukan, sumsum tulang pasien diambil, lalu disimpan dalam tangki nitrogen cair pada suhu minus 180°C. Usai pengobatan, sumsum tulang dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Inilah cangkok sumsum tulang sendiri.

Baca Juga : Koper Berisi Keperluan Kemoterapi Tertinggal di Pesawat, ‘Sesuatu’ yang Mengejutkan Menolong Wanita Ini

Kemoterapi radikal dianjurkan bagi pasien yang telah menjalani pengobatan konvensional dan dinyatakan bersih dari sel kanker melalui pemindaian dengan CT-scan.

Itu merupakan upaya pencegahan tumbuhnya kembali sel-sel kanker yang luput dari pemeriksaan CT-scan.

Namun, kemoterapi radikal tak serta merta dapat dilakukan pada setiap pasien. Ada berbagai kendala menghadang. Antara lain biayanya relatif mahal, sekitar Rp 300 - 400 juta untuk cangkok sumsum tulang sendiri, dan Rp 500 juta dengan sumsum tulang donor.

Juga faktor usia dan kondisi tubuh pasien. Pasien berusia lebih dari 50 tahun, bertubuh sangat rentan dan kurus tidak dianjurkan menjalaninya, karena berisiko tinggi.

Baca Juga : Wanita Ini Merenovasi Ruangan Kemoterapi untuk Mencerahkan Hari Para Pasien Kanker

Sementara, pada pengobatan dengan kombinasi kemoterapi - antibodi monoklonal, yang terkadang disebut imunoterapi, antibodi yang membasmi sel limfosit B (sel yang berkembang jadi kanker) dimasukkan ke tubuh penderita.

Limfoma bisa terjadi pada sel limfosit B dan T. "Namun, limfoma non-Hodgkin di Indonesia dan dunia lebih sering menyerang limfosit B," papar Abidin.

Sebagian besar limfosit B tertentu dikenal sebagai antigen CD-20 (Cluster oj Differentiation).

Jadi, antibodi bekerja dengan mula-mula mengenali CD-20, lalu menghancurkannya. Pengobatan biasanya dilakukan empat kali.

Baca Juga : Meski Harus Meningal Dunia, Ibu Ini Lebih Memilih Melahirkan Bayinya dengan Sesar Dibanding Melalukan Kemoterapi

Kombinasi kemoterapi – antibodi monoklonal muncul karena sangat lambatnya penemuan obat baru untuk kemoterapi. Jadi, selama ini yang dilakukan para ahli pengobatan hanya mengutak-atik dosis, cara, dan kombinasi pemberian obat yang sudah ada.

Apalagi selama ini diketahui, belum ada obat tunggal yang dapat memberikan hasil sebagus pengobatan kombinasi.

Menurut pengalaman Abidin, pengobatan kombinasi kemoterapi - antibodi monoklonal memiliki tingkat keberhasilan tinggi. "Tapi pengobatan ini mempunyai masa bahaya pada menit-menit pertama," katanya.

Itu karena antibodinya berasal dari protein mencit, protein yang asing bagi manusia. Bagi yang tidak cocok, dapat timbul reaksi alergi.

Baca Juga : Kata Peneliti, Hati-hati dengan Kemoterapi. Alasannya Begini

"Maka, saat pengobatan di ruang ICU, dokter harus menunggu dan siap memantau lewat monitor. la juga harus bisa bertindak cepat untuk mengatasi bila terjadi ketidakcocokan itu."

Untungnya, orang Indonesia sebagian besar cocok dan tingkat keberhasilannya tinggi.

Pengobatan pendukung

Selain menjalani berbagai bentuk pengobatan itu, pasien limfoma juga perlu menjalani pengobatan paliatif.

Baca Juga : Beauty Blogger Ini 'Makeover Ibunya yang Sedang Menjalani Kemoterapi Hingga Tetap Tampil Cantik

Tujuannya, meningkatkan mutu hidup. Terapi itu berupa pemberian obat pelawan nyeri, pelawan infeksi untuk meningkatkan kekebalan tubuh, dan antimual, vitamin, serta suplemen untuk mengatasi gangguan gizi.

Bisa dimaklumi, karena umumnya obat kemoterapi memberi efek sampingan yang khas. Misalnya, efek sampingan yang hebat pada perut (mual, muntah), jantung, rambut (rontok), sumsum tulang, atau saraf.

Tak kalah penting, menjaga asupan makanan. "Pasien tidak perlu pantang makanan, kecuali kondisi tertentu mensyaratkan demikian," kata Abidin.

Umumnya, penderita kanker sering kehilangan nafsu makan. Bila harus berpantang, bisa dibayangkan bagaimana nanti kondisi tubuhnya.

Baca Juga : Kylie Simonds, Mantan Penderita Kanker yang Membuat Tas Ransel untuk Kemoterapi Anak-anak

Itu sejalan dengan pendapat dr. Paulus W. Halim. Pengobatan kanker, katanya, berhubungan dengan daya tahan tubuh seseorang.

"Daya tahan tubuh punya peran besar atas kesembuhan dari penyakit kanker apa pun," katanya.

Yang perlu dilakukan, pasien memperbaiki gizi yang akan membangun sel-sel daya tahan tubuh.

Tak hanya menyerang fisik, kanker pun mempengaruhi kondisi psikoemosional penderita.

Baca Juga : Harga Boleh Murah, Tapi Tempe Terbukti Mampu Hambat Penuaan, Bahkan Turunkan Risiko Kanker

"Ada yang apatis, karena kecil hati merasa akan sulit sembuh," kata Paulus. Namun, ada juga yang panik sehingga mencari pengobatan di sana-sini tanpa juntrungan. Akibatnya, pengobatan justru tidak memenuhi sasaran.

Paulus mengingatkan, terus berdoa menjadi kunci utama lainnya, karena kesembuhan berasal dari-Nya.