la jadi mencurigakan, kalau timbulnya tidak sekali-sekali lagi, melainkan saban hari.
Saya sendiri pernah menanam cabai rawit di halaman belakang rumah. Walaupun saya berusaha tidak percaya dan tidak mau menghubung-hubungkan pertengkaran dengan cabai rawit, namun tak urung rumah tangga saya dilanda pertengkaran juga.
Yang bertengkar silih berganti. Mula-mula antara saya sendiri dengan ibunya anak-anak. ("Itu biasa," komentar tetangga sebelah).
Lalu antara anak-anak. ("Itu lumrah", kata embah kakung putri). Kemudian antara ibunya anak-anak dengan pembantu ("Itu normal," bisik ibu-ibu arisan kompleks), dan akhirnya antara pembantu dengan pembantu.
"Pantas rumahmu ribut, karena kau menanam cabai rawit di dekat "rumah!" komentar paman saya.
Sampai di sinilah saya tidak tahan lagi, lalu membabat semua tanaman cabai rawit yang ada. Believe it or not! Sejak itu, rumah saya tidak dilanda pertengkaran yang silih berganti bertubi-tubi lagi.
Apa hubungan antara cabai rawit yang pedas dan suasana yang panas di rumah?
Dulu nenek moyang kita menghubungkan kedua perkara itu dengan ‘ajaran transmigrasi’ pemindahan daya tanaman (dalam hal ini daya menimbulkan panas dari cabai itu) ke manusia.
Tapi kini, kebanyakan orang sudah tidak percaya lagi pada 'ajaran transmigrasi' ini dan menganggap pertengkaran di rumah tangga cabai rawit tadi hanya sebagai evidensi saja.
Yaitu kejadian yang mendukung, tapi tidak membuktikan.
Barangkali Anda tertarik untuk mencoba bertanam cabai rawit di tempat yang salah? Kalau ini risikonya tidak begitu berat seperti bertanam pisang di depan rumah.
Selamat bereksperimen. (Slamet Soeseno).
(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 1990)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR