Advertorial

Mulai dari Picu Pertengkaran Hingga Perpendek Umur, Inilah Dampak Menanam Tanaman di Tempat yang Salah

Ade Sulaeman

Penulis

Tanaman pisang bisa membuat orang pindah rumah dan cabai rawit membuat orang bertengkar bergilir. Sejauh mana 'kepercayaan' ini bisa dipercaya?
Tanaman pisang bisa membuat orang pindah rumah dan cabai rawit membuat orang bertengkar bergilir. Sejauh mana 'kepercayaan' ini bisa dipercaya?

Intisari-Online.com – Tanaman pisang bisa membuat orang pindah rumah dan cabai rawit membuat orang bertengkar bergilir. Sejauh mana "kepercayaan" ini bisa dipercaya?

Di kalangan orang Jawa Tengah ada gugon tuhon (semacam takhayul) tentang akibat bertanam jenis tumbuhan, yang tabu kalau ditanam di pekarangan rumah.

Barangkali Anda mau iseng, bertanam salah satu atau "salah dua" dari tanaman di bawah ini?

Sesudah bertanam lalu mencatat dalam buku harian, apakah akibat yang Anda alami itu cocok dengan beberapa pengalaman di bawah ini.

Bisa angkat kaki

Pisang yang ditanam di pekarangan depan rumah kami pernah menimbulkan teka-teki.

Ketika pada zaman revolusi rumah kami di Madiun kedatangan beberapa pengungsi dari daerah pertempuran Mojokerto, salah seorang pengungsi ada yang baik hati menanam bibit pisang Musa paradisiaca.

Kakek kami, Mbah Prawirobandem, mengingatkan bahwa tindakan itu akan membuat pelakunya tidak akan lama tinggal di rumah.

Pak pengungsi agak menyesal, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. "Sesal kemudian tiada berguna," katanya. Masak bibit sudah ditanam mau dicabuti lagi?

Beberapa bulan kemudian ternyata ia terpaksa meninggalkan rumah kami. Soalnya? Kota Madiun diserbu tentara Belanda.

Pak pengungsi mengungsi lebih lanjut ke Perkebunan Teh Batujamus di lereng Gunung Lawu.

Paman saya yang sudah banyak makan garam kontan memberi komentar, "Tentu saja ia tidak lama tinggal di rumah kalian. 'Kan ia pengungsi!"

Akan tetapi paman saya yang lain, yang makan garamnya lebih banyak, menarik hikmah dari peristiwa itu. "Tanpa kita sadari, kita mendapat 'contoh soal' dari pak pengungsi tadi!" tuturnya.

Kalau bertanam pisang di tempat yang salah, akibatnya juga salah. Bertanam pisang seharusnya di kebun di luar pagar pekarangan (halaman) rumah. Tidak di halaman depan rumah.

Apakah kepergian pengungsi itu karena ia menanam pisang di depan rumah, ataukah karena kebetulan waktu itu zaman perang dan pengungsi? Ya itulah yang menarik, untuk dikaji secara serius.

Karena sampai sekarang belum ada Sub Balai Penelitian Tanaman Tabu, bagaimana kalau kita sendiri melakukan eksperimen bertanam pisang itu di tempat tabu yang menimbulkan penasaran ini? Saat-saat menanti akibat itu mendebarkan, tapi risikonya harap ditanggung sendiri.

Hanya seumur jagung

Yang lebih ngeri ialah kalau orang bertanam jagung, Zea mays, di pekarangan rumah.

Mengira bahwa menanam jenis itu bisa cepat pindah rumah, seorang kenalan saya di Glenmore pernah menanamnya di halaman samping rumah.

La memang sudah bosan tinggal di Perkebunan Kopi Glenmore, dekat Banyuwangi, yang sunyi sepi.

la ingin dipindahkan ke kota sebagai kepala ranting perkebunan, yang lebih banyak kemudahan hidupnya.

Entah siapa yang membenkan informasi yang salah. Seharusnya menanam pisang, ia menanam jagung.

Beberapa bulan kemudian ia ditemukan meninggal di kamar mandi, karena terserang stroke.

Ketika para tetangga dan handai taulan melayat ke rumah duka, seorang kerabat jauh menggeleng-gelengkan kepala, melihat ada tanaman jagung di pekarangan samping rumah.

"Inilah penyebabnya!" serunya bernada menyalahkan, tapi juga sedih.

Namun, seorang kenalan lain menyanggah, "Ah, omong kosong! Meninggalnya karena stroke, kok!"

Perdebatan makin seru, karena beberapa pelayat membentuk blok.

Blok "yang tidak percaya" berpendapat, bahwa siapa yang "was, tewas" (yang khawatir akan celaka), sedang yang tidak, ya tidak.

Karena itu, sebaiknya tidak usah percaya. Jadi tidak bikin perkara!

Blok "yang percaya" menyanggah, bahwa almarhum juga tidak percaya, tapi toh tewas juga.

"Tapi ia percaya bahwa ia akan dipindahkan, kalau bertanam jagung," debat blok yang berkampanye agar tidak percaya tadi.

Salah seorang anggota blok lawannya mengakhiri perdebatan dengan tawaran yang disopan-sopankan, "Kalau tidak percaya, bagaimana kalau sampeyan sendiri menanam jagung di tempat yang salah seperti ini?"

(Wah! Ia bukannya membantu mencegah kecelakaan, tapi malah menantang untuk coba-coba bercanda dengan maut).

Tak seorang pun berani menjamin bahwa menanam jagung di pekarangan rumah tidak akan berusia seumur jagung (lagi).

Karena gatal

Sebaliknya, menanam sente, Alocasia macrorrhiza, (sejenis talas besar) di depan pintu, justru akan melindungi rumah berikut isinya terhadap malapetaka.

'Pintu' ini tidak harus ditafsirkan sebagai pintu pendopo ruang tamu rumah, tapi bisa juga pintu regol (samping rumah) antara rumah induk dan pavilyun. Pintu pagar belakang atau pintu jenis lain.

Paman saya yang sudah banyak makan garam tadi menganggap sente hanya sebagai tanaman yang mempunyai daya tolak terhadap ular saja.

Pada zaman nenek moyang kita masih berumah panggung dulu, rumah yang pekarangannya ditanami sente kabarnya tidak akan didatangi ular.

Getah sente membuat kulit gatal. Kaum ular tampaknya tidak mau merasa gatal. Tak bisa dibayangkan bagaimana tingkahnya, kalau ular lagi gatal! Padahal tak mungkin ia garuk-garuk!

Apakah hama maling dan gangguan keamanan zaman sekarang ini bisa ditolak seperti ular, ya itulah yang menarik untuk dikaji dengan uji coba. Terutama di daerah yang rawan residivis kambuhan.

Hanya sayang, sente itu sejenis tanaman murahan yang tidak menaikkan gengsi pemiliknya. Sosoknya seperti talas, tapi daunnya tegak ke atas dan besar-besar. Rupanya jelek sekali.

Hawanya panas

Menanam cabai rawit, Capsicum frutescens, di pekarangan rumah menimbulkan pertengkaran, karena 'hawanya yang panas'.

Pertengkaran antaranggota keluarga memang lumrah, kalau terjadi hanya sekali tempo saja. Itu bumbu penyedap kehidupan bersama. Atau sambal sehidup semati.

la jadi mencurigakan, kalau timbulnya tidak sekali-sekali lagi, melainkan saban hari.

Saya sendiri pernah menanam cabai rawit di halaman belakang rumah. Walaupun saya berusaha tidak percaya dan tidak mau menghubung-hubungkan pertengkaran dengan cabai rawit, namun tak urung rumah tangga saya dilanda pertengkaran juga.

Yang bertengkar silih berganti. Mula-mula antara saya sendiri dengan ibunya anak-anak. ("Itu biasa," komentar tetangga sebelah).

Lalu antara anak-anak. ("Itu lumrah", kata embah kakung putri). Kemudian antara ibunya anak-anak dengan pembantu ("Itu normal," bisik ibu-ibu arisan kompleks), dan akhirnya antara pembantu dengan pembantu.

"Pantas rumahmu ribut, karena kau menanam cabai rawit di dekat "rumah!" komentar paman saya.

Sampai di sinilah saya tidak tahan lagi, lalu membabat semua tanaman cabai rawit yang ada. Believe it or not! Sejak itu, rumah saya tidak dilanda pertengkaran yang silih berganti bertubi-tubi lagi.

Apa hubungan antara cabai rawit yang pedas dan suasana yang panas di rumah?

Dulu nenek moyang kita menghubungkan kedua perkara itu dengan ‘ajaran transmigrasi’ pemindahan daya tanaman (dalam hal ini daya menimbulkan panas dari cabai itu) ke manusia.

Tapi kini, kebanyakan orang sudah tidak percaya lagi pada 'ajaran transmigrasi' ini dan menganggap pertengkaran di rumah tangga cabai rawit tadi hanya sebagai evidensi saja.

Yaitu kejadian yang mendukung, tapi tidak membuktikan.

Barangkali Anda tertarik untuk mencoba bertanam cabai rawit di tempat yang salah? Kalau ini risikonya tidak begitu berat seperti bertanam pisang di depan rumah.

Selamat bereksperimen. (Slamet Soeseno).

(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 1990)

Artikel Terkait