Pak Markus sebetulnya sudah meninggal tiga bulan sebelumnya. Selama hayatnya Markus adalah pegawai negeri yang terpandang.
Anaknya sembilan orang. Hanya Julius (24), anaknya yang kedelapan, satu-satunya yang menikmati pendidikan tinggi. Dia mahasiswa hukum Universitas Sam Ratulangi di Manado.
Waktu kami tiba, pesta kematian sudah berlangsung dua hari. Rencananya baru keesokan harinya jenazah akan dimasukkan ke dalam sebuah bangunan kecil dengan gambar salib di pintu.
Semua jenazah anggota keluarga dimasukkan dalam bangunan yang luasnya sekitar 4 x 4 m itu. Konon sudah puluhan jenazah berada di dalamnya. Sayang, saya lupa membuat foto bangunan itu, karena sibuk dengan diri sendiri.
Rumah pemakaman seperti tempat Pak Markus itu memang jarang dibicarakan wisatawan yang berkunjung ke Tana Toraja.
Di TV juga paling sering ditayangkan lubang-lubang makam yang dipahat di dinding bukit batu seperti yang kami lihat di Singki.
Di Marante, tempat persinggahan kami kedua, makamnya lebih rendah, sehihgga kami bisa berfoto di depannya. Patung-patungnya di serambi gua juga tampak jelas.
Utang turun-temurun
Rasa kesetiakawanan suku Toraja besar sekali. Bila seseorang meninggal, beritanya langsung tersebar. Sumbangan berupa uang, babi dan kerbau, tuak dll. berdatangan.
Pemberian itu akan dibalas bila suatu hari keluarga pemberi ada yang meninggal. Andaikata belum bisa dibalas semasa hidupnya, tugas anak-cucunya untuk melakukannya. Begitulah berlangsung turun-temurun.
Sebelum pesta diadakan, keluarga membuat kesepakatan tentang jumlah kerbau yang akan dikorbankan. Keluarga Pak Markus sepakat untuk menyembelih sembilan ekor kerbau.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR