Advertorial
Intisari-Online.com – Cerita Shakespeare itu ternyata terjadi juga di Toraja. Itulah yang dapat Anda jumpai di Gua Londa.
Sampai di mana kebenaran cerita itu, sebaiknya Anda buktikan sendiri. Itu hanya salah satu objek wisata menarik yang dapat Anda jumpai di Toraja.
“Kalian beruntung. Besok saya akan mengajak kalian ke pesta kematian keluarga saya," kata pramuwisata yang menjumpai kami ketika tiba di Rantepao, ibu kota Kabupaten Tana Toraja.
"Jalannya tidak jauh, hanya 2,5 km." Tadinya biarpun cuma 2,5 km, saya tidak tertarik, karena dalam praktek 2,5 km itu bisa lebih.
Namun, kesempatan seperti itu toh tidak akan datang begitu saja. Soalnya, kami ke Tana Toraja tanpa mencari informasi ada tidaknya pesta kematian.
Padahal pesta kematian merupakan salah satu titik puncak kepariwisataan di Tana Toraja. Jadi kami pergi juga.
Ternyata medan yang harus kami tempuh di luar perkiraan. Karena malamnya baru hujan, jalannya jadi licin, sampai kami harus merosot, merangkak atau menerobos.
Pesta itu dilaksanakan di Desa Angin-Angin, 7,5 km dari Rantepao. Tidak sulit untuk mencari arahnya. Soalnya, dari jauh sudah terdengar deru generator.
Konon untuk mengambil air. Kami tiba di tempat ltu dengan kaki berlepotan.
Khusus untuk pesta kematian itu didirikan bedeng-bedeng dari bambu di atas tiang, jauh dari daerah perumahan, di daerah agak bertebing.
Ngeri juga kalau melihat lubang menganga di antara sela-sela lantai bedeng yang tidak rapat.
Di salah satu bedeng ditaruh jenazah Markus Bokko (62), yang dimasukkan dalam peti berwarna merah dan ditunggui oleh sanak keluarga dan tamu yang semuanya berpakaian serba hitam. Banyak yang datang untuk menginap.
Pak Markus sebetulnya sudah meninggal tiga bulan sebelumnya. Selama hayatnya Markus adalah pegawai negeri yang terpandang.
Anaknya sembilan orang. Hanya Julius (24), anaknya yang kedelapan, satu-satunya yang menikmati pendidikan tinggi. Dia mahasiswa hukum Universitas Sam Ratulangi di Manado.
Waktu kami tiba, pesta kematian sudah berlangsung dua hari. Rencananya baru keesokan harinya jenazah akan dimasukkan ke dalam sebuah bangunan kecil dengan gambar salib di pintu.
Semua jenazah anggota keluarga dimasukkan dalam bangunan yang luasnya sekitar 4 x 4 m itu. Konon sudah puluhan jenazah berada di dalamnya. Sayang, saya lupa membuat foto bangunan itu, karena sibuk dengan diri sendiri.
Rumah pemakaman seperti tempat Pak Markus itu memang jarang dibicarakan wisatawan yang berkunjung ke Tana Toraja.
Di TV juga paling sering ditayangkan lubang-lubang makam yang dipahat di dinding bukit batu seperti yang kami lihat di Singki.
Di Marante, tempat persinggahan kami kedua, makamnya lebih rendah, sehihgga kami bisa berfoto di depannya. Patung-patungnya di serambi gua juga tampak jelas.
Utang turun-temurun
Rasa kesetiakawanan suku Toraja besar sekali. Bila seseorang meninggal, beritanya langsung tersebar. Sumbangan berupa uang, babi dan kerbau, tuak dll. berdatangan.
Pemberian itu akan dibalas bila suatu hari keluarga pemberi ada yang meninggal. Andaikata belum bisa dibalas semasa hidupnya, tugas anak-cucunya untuk melakukannya. Begitulah berlangsung turun-temurun.
Sebelum pesta diadakan, keluarga membuat kesepakatan tentang jumlah kerbau yang akan dikorbankan. Keluarga Pak Markus sepakat untuk menyembelih sembilan ekor kerbau.
Biaya diperoleh dari sanak keluarga. Konon biaya pesta kematian Pak Markus sekitar Rp 8 juta. Jumlah babi yang disembelih sudah lima puluh ekor saat kami tiba.
Itu pun belum semua, karena dalam perjalanan kembali kami masih berpapasan dengan beberapa rombongan yang menggotong babi yang meronta-rota dan menguik menuju ke tempat pesta.
Daging dan jeroan babi dibagikan pada tamu. Bulu babi dibersihkan dengan cara dibakar di atas bara api.
Kepala kerbau rupanya merupakan bagian yang paling dihormati. Kepala ditambah paha kerbau dibagikan kepada para bangsawan, kerabat dekat dan orang yang dihormati.
Bagian yang paling tidak penting, yakni telapak kaki, boleh diminta siapa saja. Saya melihat seorang anak berusia sekitar delapan tahun dengan bangga menenteng dua telapak kaki kerbau untuk dibawa pulang.
Jangan sampai kelaparan
Menurut kepercayaan orang Toraja, kehidupan di alam baka sama seperti di dunia. Di sana mereka juga membutuhkan sandang, pangan dan papan.
Dengan mengurbankan puluhan hewan, di alam baka mereka tidak bakal kelaparan. Selain itu pemotongan hewan juga merupakan penghargaan anak kepada keluarganya.
Tingkat upacara pemakaman tergatung siapa orang yang meninggal. Anak yang lahir dan langsung meninggal akan ditanam.
Anak yang meninggal sebelum giginya tumbuh akan dimasukkan ke dalam lubang kayu besar (liang pia) tanpa pembalut kain dan tanpa upacara seperti Pak Markus.
Upacara pemakaman terbesar dan paling mahal adalah Mangrapai. Upacara diadakan dua kali sebelum dikubur.
Upacara pertama diadakan segera seseorang meninggal dan upacara kedua kurang lebih satu tahun sesudahnya.
Selama upacara kedua ini jenazah diarah dengan pikulan oleh ratusan orang dari rumah ke tempat upacara kedua.
Jenazah yang dibungkus kain merah dilapisi emas, diiringi oleh keluarga, janda almarhum, dan puluhan kepala kerbau jantan yang dihias siap untuk diadu.
Romeo dan Juliet ala Toraja
Di tempat pesta Pak Markus, kami berjumpa dengan tiga orang bule. Dua wanita Jerman datang tanpa pemandu wisata.
Seorang pria Kanada datang dengan pemandu wisata yang fasih berbahasa Inggris dan Jerman.
Ketika kami datang, saya mendengar pemandu wisata bertanya kepada seorang turis asing, apakah mereka membawa sumbangan.
Rupanya mereka lebih siap dan ia langsung menyodorkan bungkusan kecil. Saya bingung apa yang harus saya berikan. Lalu saya memberi lembaran uang Rp10.000,- dengan perkiraan uang itu akan dikumpulkan.
Ternyata uang itu langsung dibelikan satu slof rokok kretek Gudang Garam yang dibagikan kepada para tamu. Jaringan pemasaran rokok memang hebat.
Kami diberi makanan kecil khas Toraja dan segelas air teh manis atau air putih.
Ketika makan siang mulai disajikan, kami pamit. Sajiannya nasi dalam bakul besar dengan lauk berwarna hitam yang agak kebasah-basahan.
Jenazah keluarga Kristen seperti Pak Markus atau penganut kepercayaan lut todolo (agama asli Toraja), tidak pernah dikubur dalam tanah.
Jenazah diletakkan dalam gua, gunung karang yang dilubangi atau di rumah kubur keluarga seperti Pak Markus.
Misalnya saja seperti yang saya saksikan di Goa Londa. Peti mati berserakan di celah-celah batu. Di luar maupun di dalam gua.
Saya tidak ikut masuk ke gua itu, karena di dalam batu-batunya licin dan naik-turun. Bahkan menurut rekan-rekan yang masuk, pada suatu ketika mereka sampai harus merangkak di bawah celah batu yang sempit.
Mereka diantar anak-anak pembawa lampu strongkeng, yang merangkap sebagai pemandu wisata.
Peti berserakan di pinggir gua. Ada yang terbuka dengan tengkorak di dalamnya. Konon kalau mau melihat isinya Anda juga bisa minta dibukakan.
Rupanya love affair sama kunonya seperti sejarah manusia. Di sana ada dua tengkorak yang diletakkan berjajar.
Konon itu tengkorak sepasang kekasih yang bunuh diri karena cinta yang tidak kesampaian. Rupanya ada juga kisah Romeo dan Juliet ala Toraja.
Dalam kompleks yang sama juga ada makam dalam dinding yang terjal. Dari jauh tampak ada bulatan merah. Temyata itu pantat peti jenazah.
Rupanya peti itu belum lama dimasukkan, karena warna merahnya masih belum pudar. Tapi menurut pemandu wisata kami, itu peti tiruan.
Ceritanya, beberapa waktu yang lalu TV Prancis ingin mengabadikan upacara pemakaman. Karena tidak bisa menunggu sampai peti benar-benaran dimasukkan ke dalam gua, kru TV itu minta supaya dipasang peti tiruan dalam lubang untuk shooting.
Entah sampai di mana kebenaran cerita itu dan kapan persisnya hal itu terjadi, tetapi konon biayanya sekitar Rp 8 juta.
Bagi saya Tana Toraja merupakan objek wisata yang sangat menarik. Baik hasil kerajinan tangannya seperti kain tenun, ukiran kayu, kalung kayu, meja ukir kayu knock-down, maupun pemandangan alamnya yang masih perawan.
Lebih-lebih kalau teringat keindahan alam dalam perjalanan antara Ujungpandang dan Tana Toraja.
Begitu keluar dari Ujungpandang, di sebelah kanan jalan ada bukit-bukit kapur yang konon mirip gunung-gunung di Quelin, RRC, yang sangat terkenal itu.
Mengapa kita harus mencarinya jauh-jauh ke negeri orang, kalau di negara sendiri ada.
(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 1990)