Itu tergantung bagaimana kita dalam diri kita sendiri tidak terjebak dalam tren “membangun tembok” tadi.
Jika kita terus menerus membuat batas dan menolak perbedaan, kita tidak akan bisa merasa saling memiliki sebagai sesama warga bumi atau lebih mengerucut lagi, sebagai sesama warga negara.
Jangan biarkan situasi sosial politik dunia, bahkan situasi negeri kita mempengaruhi cara pandang kita dalam menghadapi perbedaan.
Belajar dari ilustrasi yang terjadi beberapa hari setelah malam inagurasi Trump, ketika tiga orang kulit putih dari Texas singgah di sebuah kafe penuh pengunjung, Busboys and Poets, di Washington DC.
Mereka adalah pendukung Trump yang turut serta dalam inagurasi itu. Pelayan kafe itu, Rosalynd Harris, seorang perempuan kulit hitam yang sebelumnya turut dalam Women’s March, unjuk rasa menentang prinsip-prinsip Trump.
(Baca juga: Sampaikan Kritikan dan Teguran Secara Persaudaraan)
Terlihat jelas, kedua pihak ini memiliki preferensi politik yang berbeda dan berbeda ras pula.
Namun cerita menarik terjadi di hari itu, walau terpisah dalam perbedaan pilihan politik, mereka tetap memiliki interaksi yang hangat. Bahkan Jason white, memberi tip sebanyak 450 dolar AS pada Harris.
Ia menulis note pada Harris, “Kita mungkin berasal dari budaya yang berbeda bahkan memiliki pendapat yang berbeda mengenai berbagai hal. Namun bila semua orang bisa tetap tersenyum ramah dan menunjukkan kebaikan seperti kamu melayani kami, negara kita mungkin akan damai dalam kesatuan”.
Bukan soal uang tip yang ditinggalkan Harris yang menjadi poin utama dari cerita di atas.
Namun Harris yang memilih meruntuhkan tembok perbedaan ketimbang membangun tembok lebih tinggi. Kebaikan dan keramahannya membuat White dan teman-temannya merasa diterima di tempat yang sebetulnya bisa saja menolaknya. Harris bisa saja
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR