Contohnya saja, ketika kita duduk bersampingan dengan orang asing di tempat umum. Jarang sekali kita langsung merasa nyaman dengan kehadiran mereka.
Sebisa mungkin, kita berupaya tidak berkomunikasi dengannya. Banyak faktor, bisa jadi karena takut dan merasa tidak aman.
Namun yang jelas kita tidak sepenuhnya langsung bersikap baik pada orang lain.
Menurut pemantauan Jonathan Haidt, seorang psikolog moral di AS, orang-orang kini menjadi lebih agresif terhadap perbedaan.
Hal ini terbukti melalui suasana di media sosial yang panas. Orang saling menghujat, saling menyalahkan, saling menuduh, bahkan saling memutuskan hubungan pertemanan di media sosial.
Jika kita terlibat dalam hal ini, lalu apa bedanya kita dengan Trump?
Jika Trump membangun tembok dalam skala besar, kita membangun tembok perbedaan dalam diri kita sendiri. Perbedaannya cuma pada skalanya saja.
Semakin kita menganggap kalau orang lain yang berbeda dengan kita adalah musuh, maka semakin tinggi tembok yang kita bangun untuk berhubungan dengannya.
Jika diteruskan, semakin besar pula kemungkinan perselisihan akan terjadi. Sebab tembok itu tidak hanya mengalangi hubungan, tapi juga bisa menyebabkan miskomunikasi dan mispersepsi.
(Baca juga: Tidak Ada Permusuhan yang Tidak Dimaafkan oleh Ketulusan)
Runtuhkan tembokmu!
Lalu bagaimana caranya meningkatkan kepedulian akan persatuan dan rasa kepemilikan di era perpecahan ini?
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR