isah ibu itu diperkuat salah seorang bibi saya. Yang mengherankan ibu, bibi, serta semua orang yang menyaksikan peristiwa itu: di manakah Pitung bersembunyi sehingga tidak berhasil ditemukan van Hinne dan orang-orang bawahannya?
Padahal penggeledahan dilakukan dengan cermat sekali. Kalau ia bersembunyi di sebelah luar pagar halaman belakang, kiranya tidak mungkin.
Halaman belakang rumah kakek berbatasan dengan Kali Koneng yang banyak buayanya. Di jalur sempit antara pagar halaman dan kali selalu ada satu dua ekor buaya yang berteduh di bawah bayangan pohon waktu siang hari.
Bersembunyi di situ berarti mengambil risiko disambar buaya!
Setelah schout van Hinne dan orang-orangnya meninggalkan rumah kakek, beberapa saat kemudian Pitung muncul lagi dari arah dapur.
"Sudah pergi?" tanyanya kepada para wanita yang masih berkumpul di ruangan dalam. Setelah mendapat kepastian, ia terus ke ruang depan dan tak lama kemudian pamitan kepada kakek.
Sejak itu masih beberapa kali ia mengunjungi kakek.
Pada suatu hari mendung, sehabis hujan lebat dan Kali Koneng sedang banjir, ibu mendengar rakyat ramai-ramai bercerita bahwa Pitung baru saja gugur oleh peluru van Hinne di suatu tempat di daerah Koneng.
Ia melakukan perlawanan ketika terkepung oleh van Hinne dan anak buahnya. Dalam tembak-menembak yang kemudian terjadi, ia tewas.
Sependengaran ibu, Pitung kebal. Yang dapat menewaskannya ialah peluru emas yang ditembakkan van Hinne dari pistolnya.
Tentu saja itu cerita burung yang tidak dapat dipastikan kebenarannya. Tentang cerita-cerita bahwa Pitung berilmu tinggi dan bisa menghilang (buktinya ia tidak ditemukan ketika bersembunyi di rumah kakek), menurut ibu hal itu barangkali benar.
"Yang pasti," kata ibu, "dengan tubuhnya yang kecil, Pitung sangat pandai menyembunyikan diri, dan bisa menyelinap di sudut-sudut yang terlalu sempit bagi orang lain." (Tanu Trh.)
(Seperti pernah dimuat di Buku Ketoprak Betawi – Intisari)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR