Intisari-online.com - “Terus terang saja, saya lebih tenang anak bersekolah di Yogyakarta daripada di Jakarta,” ujar Wahyu Pramonosidi (31) yang sudah lima tahun bekerja di Jakarta dan tiap minggu kembali ke Jakarta.
Senada dengan Wahyu, Antonius Eko juga merasa lebih nyaman menyekolahkan anak di kampung ketimbang di ibukota dengan banyak pengaruh buruknya.
Selain persoalan pendidikan anak, Anton juga mempertimbangkan sisi ekonomi menjadi anggota PJKA.
Secara jujur ia mengaku bahwa penghasilan per bulannya bakalan tak cukup untuk menghidupi dirinya dan keluarga bila tinggal di Jakarta.
Ahmad Fikri yang asal Solo pun menimpali, “Pulang kampung tiap akhir pekan justru lebih menghemat uang daripada harus membawa istri dan anak di Jakarta.”
Beragam alasan menjadi dasar orang-orang menjalani ritual yang diakui Wahyu membuatnya capai.
Akan tetapi, bagi karyawan perusahaan swasta yang bergerak di bidang kelapa sawit ini, ada kepuasan batin tersendiri saat berkumpul dengan istri dan anaknya.
“Capek di jalan itu hilang setelah bertemu dengan keluarga,” ungkap Wahyu. Perjalanan di kereta berjam-jam dianggap oleh sebagian besar anggota PJKA hanya sebatas ‘memindahkan’ tempat tidur ke dalam kereta.
“Tidur di kereta, bangun-bangun sudah ada di kampung,” kata Wahyu.
(BACA JUGA: Bahaya! Jangan Langsung Nyalakan AC Mobil) WASWAS DICABUT PSO-NYA
Tak ada catatan pasti kapan tepatnya komunitas Pulang Jumat Kembali Ahad (PJKA) berdiri.
Dari seringnya bertemu di stasiun dan bahkan di dalam gerbong, komunitas PJKA mulai terbentuk secara tak sengaja sejak bertahun-tahun lalu.
Para anggota PJKA kemudian menunjukkan kekompakannya bila ada kebijakan dari PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang dinilai merugikan mereka sebagai penglaju.
Salah satunya adalah tentang kebijakan PSO (Public Service Obligation) yakni kontrak kewajiban pelayanan umum berupa subsidi dari pemerintah untuk kelas ekonomi rute-rute tertentu.
Sebagai pengguna rutin jasa kereta api, tentunya para anggota PJKA berharap harga tiket tidak mengalami kenaikan.
Itulah kenapa mereka memerhatikan benar-benar kebijakan PSO dari pemerintah kepada PT KAI.
“Tiap akhir tahun, kita selalu waswas apakah rute kita dicabut PSO-nya atau tidak,” ungkap Wahyu.
Bila rute-rute mereka diotak-atik, kekompakan anggota PJKA akan terlihat dengan melakukan demo di depan stasiun Pasar Senen.
Seperti yang pernah terjadi pada akhir tahun 2014 lalu, saat harga tiket melonjak naik hampir 2 kali lipat.
“Kami akan selalu mengkritisi PSO,” ujar Wahyu singkat.
Wahyu berpendapat, Pemerintah wajib menyediakan transportasi umum termasuk kereta api yang terjangkau untuk masyarakat.
Itu terwujud di tiket kereta api kelas ekonomi. Wahyu mengakui, sekitar 70% anggota PJKA adalah pengguna kereta api kelas ekonomi.
(BACA JUGA: Ajaran Ki Hadjar Dewantara Diadopsi Finlandia)
ADA YANG SAMPAI PENSIUN
Dengan segitu banyak perjuangan yang dilakukan anggota PJKA demi keluarga di kampung, Wahyu dan anggota PJKA lainnya sebenarnya lebih suka disebut sebagai Pejuang PJKA.
“Karena pada akhirnya, kami seperti ini karena memperjuangkan keluarga,” tegas Anton.
Hingga kini, Wahyu mengklaim anggota PJKA sudah lebih dari 1.000 orang yang berasal dari berbagai daerah di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur.
“Paling banyak berasal dari Yogyakarta, Klaten, dan Solo,” ungkap Wahyu. Kereta ekonomi yang biasa mereka gunakan adalah Progo, Bogowonto, Tawang Jaya, Brantas, dan beberapa lainnya.
Untuk memudahkan komunikasi antaranggota, dibentuklah kelompok-kelompok kecil.
Tiap kelompok memiliki jumlah anggota antara 20 dan 50 orang. Biasanya, kelompok ini dibentuk atas dasar kesamaan kampung halaman dan kedekaran antaranggota.
Sampai saat ini tak ada yang namanya ketua PJKA. Yang lebih banyak mengkoordinir anggota, ya koordinator itu tadi.
Para anggota PJKA ini begitu variatif. Dari usia 20 tahunan hingga 70 tahunan. Mereka juga bekerja di berbagai bidang; minyak dan energi, media, hukum, dan lain-lain. Kedekatan mereka membuat hubungan antaranggota layaknya saudara.
Seperti semboyan yang mereka angkat yakni, ‘Paseduluran Saklawase’, yang artinya persaudaraan untuk selamanya. Persaudaraan tersebut terjalin karena naik kereta, atau dalam bahasa Jawanya; ‘Seko nyepur dadi sedulur’.
Entah sampai kapan para anggota PJKA ini terus menjadi penglaju. Beberapa anggota bahkan menjalani rutinitas PJKA sejak pertama kali bekerja hingga pensiun.
“Ada yang melaju selama 20 tahun,” ucap Anton. Bahkan, rutinitas melaju itu diteruskan oleh anaknya. (Ari F. Lukmawan)
(BACA JUGA: Waspadalah Para Penyuka Jengkol)