Ketika tiba di kamp kami digeledah. Semua uang, perhiasan, dan benda-benda berharga lainnya disita. Tiga setengah tahun lamanya 3.000 wanita ditahan bercampur baur dalam ruangan bau, kotor, banyak tikus, serta comberan air limbah. Hidup serba kekurangan dan penuh hinaan. Kami tak berhak atas privasi, harus kerja keras, selalu kurang makan, sering dipukuli, dan menderita penyakit.
Setiap hari kami wajib apel dan berjam-jam dijemur di terik matahari. Kepala harus tunduk setiap kali dihitung. Untuk orang tua, hal ini tentu sangat melelahkan. Selama dalam tahanan, kami selalu mendambakan pangan. Semakin lama perang, semakin kurang makanan. Kami makan apa saja yang kami anggap tidak mematikan: tanaman belukar, bekicot, tikus, sampah, dan bahkan kucing sang komandan kamp Jepang! Amat jamak apabila bak sampah Jepang sering kami jarah, mencari sisa makanan.
Semua tahanan wanita dipaksa kerja berat, mencakup membersihkan kakus dan mengosongkan sumur septik yang luber, memotong kayu bakar, mengangkut beban berat, menggali lubang, dan sebagainya. Berkali-kali ada inspeksi. Barak kami kerap digeledah selama apel, untuk mencari uang ataupun benda-benda berharga lainnya. Obat-obatan sangat kurang. Pil kina kami tukar dengan apa saja. Beberapa benda sehari-hari yang sangat biasa, tiba-tiba menjadi sangat bernilai. Misalnya sepotong sabun, pensil, kertas, jarum, kapuk, korek api, dan lilin.
Anak laki-laki bila berusia 13 tahun harus berpisah dengan ibunya. Lalu dikirim ke kamp tahanan pria di suatu tempat yang tak diketahui.
Diseleksi dan dipisahkan
Februari 1944, genap 2 tahun kami menghuni kamp Jepang. Siang itu terjadi kegaduhan. Truk militer Jepang datang. Penjaga pun ribut-ribut seperti biasanya kalau kedatangan pembesar militer Jepang yang mau inspeksi, atau untuk mengeluarkan perintah dan peraturan baru.
Namun tampaknya kali ini lain. Kami tidak diharuskan apel seperti biasanya. Namun semua gadis yang belum menikah dan berumur 17 tahun diperintahkan berbaris. Kami tidak menyukai perintah itu, dan mulai curiga.
"Kamu termasuk di dalamnya, Jantje," kata ibuku. Terdengar suaranya bergetar, terlihat kecemasan di matanya. Aku mencoba membuat diriku seburuk mungkin dengan membiarkan rambut menggerai di depan wajah. Seluruh kamp diliputi suasana cemas. Kami diperintahkan berbaris memanjang. Betapa gemetar dan ketakutannya kami ketika beberapa opsir Jepang datang. Pandangan tentara Jepang seakan mau menelan kami dari kepala ke ujung jari kaki. Mereka saling tertawa dan menunjuk kepada kami. Tentara Jepang itu berjalan kian kemari di sepanjang barisan. Kadang dagu kami diangkat naik dengan sebuah tongkat, supaya mereka dapat memandang wajah kami.
"Oh, Tuhan," doaku, "jangan biarkan mereka membawaku." Setelah berbincang-bincang beberapa lama, tentara itu menyuruh setengah barisan pergi. Aku masih tetap berdiri dalam barisan panjang. Mulailah mereka meraba-raba dan menuding. Oh, betapa aku ingin berwajah buruk atau sama sekali tidak menarik.
Ada beberapa gadis dihardik dan disuruh pergi tapi aku tidak. Kami yang tetap dalam barisan, otomatis saling berpegangan tangan. Seluruh tubuhku kaku karena cemas dan takut. Jelas, ini bukanlah inspeksi biasa, atau seleksi untuk sebuah regu kerja. Kami berdiri di sana tak bergerak. Rasanya lama dan berjamjam. Proses seleksi ini diulangi lagi untuk terakhir kali. Salah seorang opsir memerintahkan 10 gadis maju. Sisanya boleh kembali menemui ibu mereka. Aku termasuk dalam kelompok 10 itu.
Melalui seorang juru bahasa, kami mendapat perintah untuk membawa barang-barang dalam tas kecil. Setelah itu langsung melapor ke kantor kamp. Di situ telah menunggu sebuah mobil tentara untuk mengangkut kami.
Seluruh penghuni kamp mengajukan protes sekuat tenaga. Hiruk pikuk penuh teriakan, tangis, dan protes. Tapi sia-sia. Hak asasi kami direnggut. Kebebasan kami hilang. Kami bagaikan domba-domba yang hendak disembelih. Remuk dan tak berdaya. Penjaga kamp hanya melongo saja ketika kami mengemasi barang-barang. Aku memasukkan pula kitab suci, salib, serta rosario. Tampaknya pada saat itu benda-benda inilah yang paling penting. Seakan-akan merupakan senjata yang memberiku rasa aman dan kekuatan.
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR