Intisari-Online.com - Bulan Agustus 1995 di Tokyo diadakan Forum Internasional Ganti Rugi Perang untuk wilayah Asia Pasifik, membahas dosa tentara Dai Nippon terhadap rakyat Indonesia dan ganti rugi kepada pribadi-pribadi yang dirugikan pada masa pendudukan Jepang (1942 - 1945) termasuk para mantan jugun ianfu (wanita penghibur). Berikut ini pengakuan Jeanne Ruff O'Herne, mantan ianfu yang kemudian jadi guru di Australia, dalam tulisannya"Vijftig jaar zwijgen" (Lima Puluh Tahun Bungkam) di buku Oorlogs documentatie '40 - '45.
Minggu, 8 Maret 1992, tepat di hari peringatan tahun ke- 50 penyerbuan pasukan Jepang ke wilayah Indonesia, aku meletakkan karangan bunga di Monumen Perang Adelaide, Australia. Aku merupakan satu dari ribuan warga negara Belanda yang diinternir di kamp tahanan Jepang selama PD II.
Kini setelah bungkam selama 50 tahun, barulah aku berani mengungkapkannya. Selama itu aku ingin berteriak tapi tak mampu. Sepanjang setengah abad hidupku didera mimpi buruk. Aku menderita penyakit yang tak kunjung sembuh. Malam-malam tak dapat tidur. Kenangan mengerikan itu terlalu dalam tertanam di lubuk jiwaku. Tapi aku tak pernah membicarakan kisah hitam hidupku. Bahkan dengan keluargaku sendiri pun aku tak bisa.
Kini aku akan mengisahkan cerita buruk ini. Karena aku telah memaafkan orang-orang Jepang atas perlakuannya terhadap diriku. Hanya dengan pengampunan, seseorang dapat disembuhkan. Sebagai tanda damai dan pengampunan aku mengundang wakil bangsa Jepang, menemaniku meletakkan bunga. Aku telah mengampuni tindakan jahat mereka, meski tidak akan pernah dapat melupakannya.
Bahagia 19 tahun
Lahir di Semarang, Jawa Tengah, pada tanggal 18 Januari 1923, aku tumbuh dan bekembang di daerah Cipiring, sebuah perkebunan tebu yang masih diperintah Hindia Belanda. Aku adalah anak ketiga di antara lima bersaudara. Di tengah limpahan kasih sayang orang tua, aku dididik dalam tradisi agama yang kuat. Dalam kesenanganku, setiap malam sebelum tidur aku selalu melihat ayah berdoa berlutut di dekat ranjangnya. Terbukti kemudian, cinta akan doa amat membantuku melalui tahun-tahun peperangan.
Ayah, Calestin, seorang pemain biola andal, sedangkan ibuku, Josephine, seorang pianis berbakat. Di usia 23 tahun, ibu berangkat ke Jawa dari Belanda sebagai mempelai baru. Nenek meninggal 4 bulan sebelum kelahiranku. Tapi aku mendapat warisan dari nenek. Nama Jeanne itu nama nenek, juga namaku.
Setiap liburan sekolah, aku selalu mengunjungi Kakek Henri (71) di rumah peristirahatan di lereng Gunung Ungaran, Jawa Tengah. Kami sekeluarga berlibur bersama sepupu kami dari Batavia. Semoga di surga ada sebuah sudut kecil seperti rumah Kakek Henri di Bandungan.
Aku termasuk generasi gadis polos. Bahkan setelah usia 19 tahun pun tak tahu apa-apa mengenai seks, kecuali merasa tak enak badan sekali sebulan - waktu haid. Setelah menamatkan sekolah menengah pertama aku memasuki sekolah guru suster Fransiskanes di Semarang.
Masuk kamp tahanan
Semula sampai tahun 1942, Hindia Belanda - kini Indonesia bakal terluput dari hiruk pikuknya PD II. Tiba-tiba terjadilah pengeboman Pearl Harbour tanggal 7 Desember 1941. Setelah Singapura jatuh pada Februari 1942, kami di Jawa tahu bahwa tinggal soal waktu kapan Jepang menyerang kami. Ayahku waktu itu berusia 48 tahun, dipanggil untuk memenuhi dinas militer. Ibu pun mengambil keputusan terbaik. Kami mengungsi ke tempat kakek.
Pada tanggal 1 Maret 1942 tentara Jepang menyerang Jawa. Meski sempat melawan, tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah. Jepang menduduki semua daerah Hindia Belanda.
Berbareng dengan masuknya Jepang, hidupku hancur berantakan. Tiga setengah tahun berikutnya, bersama ibu dan kedua adik perempuan, kujalani hidup bersama-sama ribuan wanita dan anak-anak Belanda di dalam kamp tahanan Jepang. Kami diinternir di kamp besar di Ambarawa.
Ketika tiba di kamp kami digeledah. Semua uang, perhiasan, dan benda-benda berharga lainnya disita. Tiga setengah tahun lamanya 3.000 wanita ditahan bercampur baur dalam ruangan bau, kotor, banyak tikus, serta comberan air limbah. Hidup serba kekurangan dan penuh hinaan. Kami tak berhak atas privasi, harus kerja keras, selalu kurang makan, sering dipukuli, dan menderita penyakit.
Setiap hari kami wajib apel dan berjam-jam dijemur di terik matahari. Kepala harus tunduk setiap kali dihitung. Untuk orang tua, hal ini tentu sangat melelahkan. Selama dalam tahanan, kami selalu mendambakan pangan. Semakin lama perang, semakin kurang makanan. Kami makan apa saja yang kami anggap tidak mematikan: tanaman belukar, bekicot, tikus, sampah, dan bahkan kucing sang komandan kamp Jepang! Amat jamak apabila bak sampah Jepang sering kami jarah, mencari sisa makanan.
Semua tahanan wanita dipaksa kerja berat, mencakup membersihkan kakus dan mengosongkan sumur septik yang luber, memotong kayu bakar, mengangkut beban berat, menggali lubang, dan sebagainya. Berkali-kali ada inspeksi. Barak kami kerap digeledah selama apel, untuk mencari uang ataupun benda-benda berharga lainnya. Obat-obatan sangat kurang. Pil kina kami tukar dengan apa saja. Beberapa benda sehari-hari yang sangat biasa, tiba-tiba menjadi sangat bernilai. Misalnya sepotong sabun, pensil, kertas, jarum, kapuk, korek api, dan lilin.
Anak laki-laki bila berusia 13 tahun harus berpisah dengan ibunya. Lalu dikirim ke kamp tahanan pria di suatu tempat yang tak diketahui.
Diseleksi dan dipisahkan
Februari 1944, genap 2 tahun kami menghuni kamp Jepang. Siang itu terjadi kegaduhan. Truk militer Jepang datang. Penjaga pun ribut-ribut seperti biasanya kalau kedatangan pembesar militer Jepang yang mau inspeksi, atau untuk mengeluarkan perintah dan peraturan baru.
Namun tampaknya kali ini lain. Kami tidak diharuskan apel seperti biasanya. Namun semua gadis yang belum menikah dan berumur 17 tahun diperintahkan berbaris. Kami tidak menyukai perintah itu, dan mulai curiga.
"Kamu termasuk di dalamnya, Jantje," kata ibuku. Terdengar suaranya bergetar, terlihat kecemasan di matanya. Aku mencoba membuat diriku seburuk mungkin dengan membiarkan rambut menggerai di depan wajah. Seluruh kamp diliputi suasana cemas. Kami diperintahkan berbaris memanjang. Betapa gemetar dan ketakutannya kami ketika beberapa opsir Jepang datang. Pandangan tentara Jepang seakan mau menelan kami dari kepala ke ujung jari kaki. Mereka saling tertawa dan menunjuk kepada kami. Tentara Jepang itu berjalan kian kemari di sepanjang barisan. Kadang dagu kami diangkat naik dengan sebuah tongkat, supaya mereka dapat memandang wajah kami.
"Oh, Tuhan," doaku, "jangan biarkan mereka membawaku." Setelah berbincang-bincang beberapa lama, tentara itu menyuruh setengah barisan pergi. Aku masih tetap berdiri dalam barisan panjang. Mulailah mereka meraba-raba dan menuding. Oh, betapa aku ingin berwajah buruk atau sama sekali tidakmenarik.
Ada beberapa gadis dihardik dan disuruh pergi tapi aku tidak. Kami yang tetap dalam barisan, otomatis saling berpegangan tangan. Seluruh tubuhku kaku karena cemas dan takut. Jelas, ini bukanlah inspeksi biasa, atau seleksi untuk sebuah regu kerja. Kami berdiri di sana tak bergerak. Rasanya lama dan berjamjam. Proses seleksi ini diulangi lagi untuk terakhir kali. Salah seorang opsir memerintahkan 10 gadis maju. Sisanya boleh kembali menemui ibu mereka. Aku termasuk dalam kelompok 10 itu.
Melalui seorang juru bahasa, kami mendapat perintah untuk membawa barang-barang dalam tas kecil. Setelah itu langsung melapor ke kantor kamp. Di situ telah menunggu sebuah mobil tentara untuk mengangkut kami.
Seluruh penghuni kamp mengajukan protes sekuat tenaga. Hiruk pikuk penuh teriakan, tangis, dan protes. Tapi sia-sia. Hak asasi kami direnggut. Kebebasan kami hilang. Kami bagaikan domba-domba yang hendak disembelih. Remuk dan tak berdaya. Penjaga kamp hanya melongo saja ketika kami mengemasi barang-barang. Aku memasukkan pula kitab suci, salib, serta rosario. Tampaknya pada saat itu benda-benda inilah yang paling penting. Seakan-akan merupakan senjata yang memberiku rasa aman dan kekuatan.
Saat untuk berpisah tiba. Kedua adikku menangis, sementara ibu dan aku tak dapat mengeluarkan sepatah kata pun, kecuali saling menatap dan mendekap erat. Akan dibawa ke mana aku? Apakah kami akan saling bertemu lagi?
Sambil menangis kami didorong masuk ke dalam truk. Kelompok kami masih ditambah 6 gadis lagi. Seluruhnya berjumlah 16 orang dari Kamp Ambarawa. Kami berjongkok seperti binatang ketakutan. Tak ada gambaran akan diangkut ke mana.
Aku mulai sadar, truk melalui jalan besar dari Ambarawa ke Semarang. Aku sering melalui jalan itu dengan seluruh keluarga untuk berlibur di tempat kakek. Tiba-tiba truk itu direm dan membelok masuk jalan menuju rumah besar. Tujuh gadis termasuk aku diperintahkan turun.
Bordil para perawan
Dengan perasaan tak keruan kami digiring masuk ke rumah pimpinan perwira Jepang. Aku mulai curiga. Tiap gadis memperoleh kamar tidur masing-masing yang telah ditentukan. Rumah bekas milik warga Belanda itu disebut orang Jepang "Wisma Tujuh Lautan".
Siang harinya kami memperoleh nasi goreng porsi penuh. Itulah pertama kalinya kami memperoleh makanan layak sejak diinternir. Tetapi karena dicekam rasa takut, kami tidak berselera. Sepasang pembantu pria dan wanita memperkenalkan diri. Katanya, mereka akan melakukan berbagai pekerjaan rumah tangga bagi kami; memasak, mencuci pakaian, dan membersihkan rumah. Mereka memandang penuh pengertian dan maaf. Ya, mereka juga tahu apa yang kami takutkan. Malam itu aku tak bisa tidur, demikian pula gadis-gadis yang lain. Akhirnya, kami semua berbaring di ranjang besar, saling berdekapan untuk mencari penghiburan dalam doa.
Hari berikurnya datanglah beberapa perwira tinggi Jepang. Kami semua dipanggil ke kamar duduk. Komunikasi dengan orang-orang Jepang selalu sulit. Tentara yang terdidik atau berposisi tinggi, kebanyakan berbicara bahasa Inggris sedikit-sedikit. Beberapa di antaranya telah cukup mengerti bahasa setempat, hingga kami mengerti sedikit. Mereka memberi tahu, kami dibawa ke tempat itu untuk kenikmatan seksual perwira Jepang. Dengan kata lain, kami berada di sebuah bordil Jepang!
Percobaan melarikan diri hanya sia-sia belaka karena rumah ini dijaga ketat. Di rumah itu kami diharuskan memenuhi satu tujuan, yakni melayani nafsu seks orang Jepang. Jadi, kami dipaksa menjadi budak prostitusi.
Seluruh tubuhku menggigil ketakutan. Ini berlawanan dengan hak-hak asasi manusia! Melanggar Konvensi Jenewa. Kami lebih baik mati daripada jadi budak seks. Orang-orang Jepang itu hanya tertawa-tawa. Mereka mengatakan, telah menguasai kami. Jadi, mereka dapat berbuat semaunya.
Hari berikutnya kami melihat rumah itu ditata sebagai kamar tamu. Di situlah tentara Jepang mengobrol dan bermain kartu dengan gadis pilihan mereka. Kami diperintahkan membuat foto untuk kemudian dipasang pada papan di kamar tamu. Lalu datanglah kiriman bunga. Setiap gadis memperoleh jambangan bunga di kamar masing-masing.
Sementara rumah ini telah berubah menjadi sebuah bordil, di kamar mandi terdapat barang-barang aneh. Aku tak punya gambaran benda-benda apa itu. Atau untuk apa barang itu. Malam pembukaan tiba. Kami semua sangat takut. Belum pernah aku merasakan kecemasan yang begitu melumpuhkan. Kami semua masih perawan dan polos. Pada malam pembukaan itu, "harga" kami cukup tinggi sebab kami perawan.
Diancam pedang
Aku tak akan pernah melupakan kecemasan itu. Rasanya derita itu tetap bersamaku seumur hidupku - hingga hari ini. Aku tahu hanya doa yang dapat menolong kami.
Yang jelas, hari demi hari semakin banyak anggota militer Jepang mendatangi rumah itu. Mereka berbicara berisik dan tertawa. Sepatu bot berderapan di lantai. Kami diperintahkan masuk ke kamar masing-masing. Tapi kami menolak. Kami berdekapan dan saling melindungi. Seluruh tubuhku telah habis dirajam ketakutan. Juga setelah 50 tahun, aku masih menghayati perasaan kecemasan total yang mengaliri tubuhku. (Pada saat-saat yang aneh perasaan itu membanjiriku. Kerap bila aku sedang menonton TV, atau melihat film perang lama, aku menjadi terbangun dengan mimpi buruk. Masih terasakan juga bila terbaring di ranjang di malam hari. Tetapi yang terburuk, setiap kali kecemasan kembali menyergap bila suamiku tidur bersamaku. Aku tidak pernah dapat menikmati hubungan badan!)
Tibalah saat yang paling mengerikan. Satu per satu gadis-gadis itu diseret ke kamar tidur masing-masing. Sambil menangis dan meronta-ronta, mereka memohon, berteriak, menendang-nendang, dan melawan sekuat tenaga. Demikian hal itu berlangsung terus, hingga akhirnya mereka dengan paksaan dimasukkan ke dalam kamarnya.
Setelah beberapa saat bersembunyi di bawah meja kamar makan, aku sempat mendengar tangisan dari kamar-kamar tidur itu. Aku dapat merasakan jantungku berdegup kencang karena cemas. Salib kayu yang kuselipkan di sela ikat pinggang kugenggam erat-erat. Akhirnya, aku ditemukan dan diseret dari bawah meja.
Di hadapanku berdiri seorang Jepang besar gemuk dan botak. la memandangku sambil menyeringai. Aku menendang tulang betisnya. la tetap berdiri tertawa-tawa saja. Aku terus melawan, menendang, dan berteriak protes. Tetapi sia-sia belaka. Aku memekik "Niet doen, niet doen", kemudian dalam bahasa Melayu "Jangan, jangan". la menyeretku ke kamar. Setiba di kamar tidur, ia menutup pintu. Aku lari ke pojok kamar. Dalam bahasa campuran Inggris dengan Melayu aku mencoba menjelaskan, kalau aku berada di situ bukan atas kehendakku. Dia tidak berhak untuk melakukan hal itu terhadap diriku.
Aku jongkok di pojok seperti binatang buruan. "Oh, Tuhan, tolonglah aku," aku berdoa. "Tuhan, jangan biarkan ini terjadi pada diriku." Sementara itu si Jepang memandang rendah kepada diriku. Maklum, ia telah membayar mahal untuk malam perdana ini. Makanya ia jengkel dan marah bukan main. Seraya menghunus pedang dari sarung dan mengarahkannya kepadaku, ia mengancamku dan memekik dengan suara serak khas Jepang, "I kill, I kill."
Sekonyong-konyong muncul kekuatan luar biasa memenuhi diriku. Suatu kekuatan yang belum pernah kurasakan. Aku berkata kepada si Jepang, bunuh saja aku. Aku tak takut mati. Lagilagi ia mengarahkan pedangnya ke tubuhku. Aku memohon kepadanya membiarkan aku berdoa sebelum aku dibunuhnya.
Aku berlutut untuk berdoa dengan ujung pedang menempel di kulitku. Kukira pada saat itu aku lebih mencintai Tuhan daripada yang sudah-sudah. "Ya Tuhanku, aku mencintai-Mu. Tetaplah dekat denganku." Sementara itu, si Jepang habis kesabarannya. Ia membantingku di atas ranjang dan merenggut pakaianku. Aku telanjang terbaring di ranjang. Ujung pedangnya menelusuri seluruh tubuh, ke atas dan ke bawah. Turun naik terus-menerus. Aku dapat merasakan baja dingin itu di kulit, selagi pedang itu melalui tenggorokan, dada, perut, dan kaki.
Ia memperlakukanku seperti kucing mempermainkan tikus tak berdaya. Permainan itu berlangsung beberapa lama. Kemudian ia melepas pakaian. Aku menyadari bahwa ia tidak berniat membunuhku. Ia menindihku dan mulai menekanku dengan tubuhnya yang berat. Aku mencoba melawan. Kutendang, kucakar dia. Tapi ia terlalu kuat. Wajahku digenangi air mata, sementara ia memperkosa diriku.
Aku tak dapat menemukan kata-kata untuk melukiskan perkosaan yang kejam dan biadab ini. Seluruh tubuhku menggigil ketika akhirnya keluar dari kamar. Aku menyambar sisa-sisa pakaianku dan lari ke kamar mandi. Aku ingin mencuci segala kotoran, kejengahan, dan rasa sakit tubuhku.
Di kamar mandi aku berjumpa dengan beberapa gadis lain. Kami semua menangis. Tidak tahu apa yang harus kami lakukan. Kami membersihkan dan mencuci diri seolah-olah kami dapat membersihkan segala yang telah menimpa diri kami. Aku tidak berani kembali ke kamar makan atau kamar tidur. Aku memutuskan bersembunyi di kamar serambi belakang, sementara jantungku terus berdebar.
"Ya Tuhan, jangan sampai ada orang yang menemukanku," doaku. Seluruh tubuhku menggigil ketakutan. "Aku tak tahan menderitanya sekali lagi," pikirku.
Tetapi sebentar kemudian terdengar suara-suara marah dan derap kaki mendekat. Aku diseret ke luar dari tempat persembunyianku. Malam itu belum selesai. Masih ada Jepang-Jepang lain lagi menanti giliran. Kejadian mengerikan itu dimulai lagi dari permulaan. Tak pernah terbayangkan betapa penderitaan ini begitu dahsyat. Bagaimana aku dapat mengatasi hari-hari dan bahkan bulan-bulan berikutnya?
Pada akhir malam perdana yang mengerikan, dalam jam-jam pertama di malam itu, 7 orang gadis ketakutan merangkak saling berdekapan. Mereka kelelahan, menangisi keperawanan mereka yang telah hilang.
Pemimpin doa
Siang hari kami merasa agak aman, walau rumah itu selalu penuh dengan orang Jepang. Mereka datang dan pergi. Mengamati kami dari kepala hingga ujung kaki. Kami sangat takut menghadapi malam yang akan tiba. Begitu mulai gelap, rumah itu pun segera "dibuka". Tubuh kami pun habis ditelan kecemasan mengerikan. Setiap malam aku mencoba bersembunyi di lain tempat. Tapi aku selalu ditemukan. Akhirnya, tempat-tempatpersembunyianku pun segera habis. Aku bahkan pernah memanjat pohon. Tapi mereka menemukanku juga. Aku diseret ke kamar tidurku, setelah dicaci maki habis-habisan. Tapi tiap menit, tiap detik, upaya itu membantu menunda dimulainya malam yang mengerikan itu.
Agar tampak tak menarik sama sekali, aku mencukur rambut dengan gunting di laci toilet. Aku memandangi diriku yang begitu buruk di cermin. "Sekarang pasti tak ada yang menginginkan diriku," demikian pikirku. Namun kemudian tersiar kabar, salah seorang wanita mencukur gundul dirinya. Aku malah jadi tontonan.
Dengan berjalannya waktu, kami semakin sering membicarakan keadaan kami, serta bagaimana kami menghadapinya sebaik- baiknya. Kami berbagi kecemasan, sakit, dan hinaan-hinaan. Kami saling memerlukan dukungan. Terjalinlah ikatan cinta dan persabahatan di antara kami. Gadis-gadis itu mencari kekuatan rohani pada diriku. Setiap hari aku memimpin doa.
Di samping itu dengan berbagai permainan kartu kami dapat menunda saat perkosasan yang tak terhindarkan itu. Setiap menit, setiap setengah jam yang dapat menunda perkosaan, amatlah penting bagiku. Sebab begitu seorang Jepang selesai, yang lain telah menunggu. Tak pernah ada seorang Jepang yang memperkosaku tanpa didahului dengan pergumulan dan pergulatansengit.
Aku kerap kali diancam dengan pembunuhan. Maklum, dalam pergumulan itu aku benar-benar menghantam, menjotos, menendang, atau mencakar, bahkan melukai mereka. Maka aku diperingatkan supaya menghentikan pergulatan itu. Jika tidak, aku akan dipindahkan ke bordil para prajurit di kota, sebuah bordil dengan gadis-gadis pribumi. Di sana keadaannya jauh lebih buruk. Untung, ancaman itu tidak pernah dilaksanakan.
Pada suatu hari datang seorang dokter militer Jepang. Aku langsung berpikir ia mungkin dapat menolong kami. Aku lalu berbicara dengannya, menjelaskan keberadaan kami. Dengan kedua belah tangan terjalin di belakang kepala, dokter itu hanya memandangku dari kepala hingga kaki. Ia sama sekali tak memperlihatkan rasa belas kasihan ataupun permohonan maaf. Tetapi paling sedikit aku telah berusaha.
Tiba-tiba dokter itu berdiri dengan mendadak dan menghampiriku. Ia mencoba menangkapku. Tapi aku lebih cepat. Aku lari ke,luar kamar dan masuk kebun untuk sembunyi. Aku lari masuk ke kandang ayam. Kandang itu agak rendah dan kecil, sedangkan Jepang itu besar dan gemuk. Beberapa saat kemudian sebuah tubuh gemuk, terengah-engah mencoba memperkecil diri masuk ke kandang. Keseluruhan ini dibarengi dengan tertawa terbahak-bahak para penonton. Seperti biasanya akulah yang kalah. Pada hari pertama kunjungan dokter itu, aku diperkosanya dengan kejam.
Pada suatu pagi kami diberi tahu bahwa kami harus memeriksakan diri kepada dokter. Dalam setiap pemeriksaan, tiap gadis ditemani gadis lain untuk saling menguatkan. Aku merasa sepenuhnya terhina atas pemeriksaan tersebut. Di dalam kamar periksa dokter itu tak ada pintu. Penghinaan itu makin diperberat, karena adanya beberapa orang Jepang lain yang menonton. Mereka masuk ke dalam kamar atau berdiri di ambang pintu luar, sambil menonton kami sementara diperiksa.
Sempat hamil
Selama tahun-tahun pendudukan Jepang aku hanya menjumpai satu orang Jepang yang mengenal sopan santun. Berkat dialah aku dapat bemapas istirahat selama beberapa minggu. Kisahnya begini. Kebetulan kakak perempuanku yang tertua tinggal dan bekerja di Semarang. la tidak diinternir Jepang, karena menduduki jabatan penting pada NIS (Nederlands-Indische Spoorwegen = Jawatan Kereta Api Hindia Belanda). Rupanya Jepang menghargai jasa kakak, seperti juga beberapa orang Eropa lainnya yang jasanya diperlukan - juga tak diinternir.
Pada suatu hari aku minta kepada pembantu lelaki, agar menolong mengantarkan surat kepada kakak perempuanku di kota. la mengatakan sanggup mengantar surat itu, karena ia iba dengan "noni Belanda" dan ingin menolongku.
Kakakku sangat terkejut membaca berita dan mengetahui penganiayaan yang menimpa diriku. Bagaimana ia bisa menolongku? Ia lalu menghubungi seorang Jepang bernama Yodi - juga pegawai NIS. Yodi mendengarkan kisah perihalku. Ia sangat terharu dan bersedia menolongku.
Rencananya Yodi akan mengunjungi bordil, dan akan "menebusku" selama semalam, sehingga aku tidak dapat diperkosa oleh satu orang Jepang pun. Dengan perantaraan kurir tadi, aku memperoleh surat dari kakak perempuanku. Aku menangis kegirangan ketika melihat tulisan tangan kakakku. Ia begitu dekat namun juga begitu jauh. Dalam surat itu kakakku memberi tahu bahwa aku boleh mengharapkan kunjungan Yodi.
Malam itu aku mendapatkan kunjungan dari seorang Jepang yang tampaknya menyenangkan. Aku tahu itu Yodi, pria Jepang yang mau menolongku. Yodi merasa malu serta meminta maaf atas apa yang telah dilakukan bangsanya. la agak malu ketika memberi tahu aku tak perlu takut, sebab ia telah membeli karcis untuk semalam suntuk. Di dalam kami hanya berbicang-bincang dan main kartu. Aku bersyukur, aku malam itu dapat tidur dengan tenang.
Seminggu penuh Yodi datang tiap malam di rumah itu untuk melindungiku. Waktu singkat kunjungan itu benar-benar merupakan waktu istirahat bagiku. Tetapi sudah barang tentu tak dapat terus berlangsung demikian. Yodi bercerita kepadaku bahwa ia digoda oleh orang-orang Jepang lain dan ditertawakan. Sebab malam itu ia berkunjung ke rumah tersebut dan tinggal di sana semalam suntuk. Itu pasti terasa berat, apalagi ia tak pernah menyentuhku.
Dua minggu kemudian aku menerima surat dari kakakku bahwa Yodi telah berangkat dari Semarang. Jadi, ia tidak datang lagi. Walaupun selalu berterima kasih kepadanya sesudah ia melindungiku beberapa malam, aku tak sempat mengucapkan "selamat jalan" kepadanya. Sekali lagi aku berterima kasih.
Selama bulan-bulan berikutnya, kami semua menjadi kurus. Kami hampir-hampir tak menyentuh makanan, karena terlalu lelah. Selain mengatasi diri masing-masing, kami mencoba memelihara kekuatan dan harapan. Aku sungguh-sungguh merindukan ibu dan kedua adikku. Kesehatan ibu buruk. Ia sangat lemah ketika kutinggalkan. Aku khawatir, jangan-jangan ibu meninggal. Bagaimana kedua adikku?
Suatu saat, aku gelisah. Aku hamil? Aku benar-benar cemas. Bagaimana aku dapat melahirkan dan mencintai anak yang tercipta dengan ruda paksa? Secara kejiwaan aku hampir tak tahan menderita keadaan itu. Seperti sediakala aku menyerahkan hidupku ke tangan Tuhan. Teman-teman di bordil itu menganjurkan aku untuk mengatakan kepada wanita pengawas bordil ini, bahwa aku hamil. Mungkin masih ada kemungkinan mereka mengirimku kembali ke kamp.
Tapi apa hasilnya? la datang membawakanku botol berisi pil yang harus kutelan segenggam demi segenggam. Aku sama sekali tak tahu pil apa itu. Ternyata untuk menggugurkan kandungan. Aku menolak menelan pil tersebut. Aku tak dapat membunuh janin. Itu dosa besar. Aku tetap menolak menelan pil tersebut. Akhirnya, mereka dengan paksa mendorongnya masuk ke kerongkonganku. Tak lama kemudian aku keguguran. Lagi-lagi sebuah trauma yang harus kualami.
Kembali ke "Kamp WTS"
Aku tak tahu persis, berapa lama kami berada di bordil di Semarang itu. Tetapi paling sedikit tiga bulan. Tiba-tiba keluar perintah, kami harus berangkat. Tanpa alasan. Kami juga tidak tahu mau dibawa ke mana. Kami semua sangat takut. Apakah keadaan kami akan lebih buruk lagi? Mereka merencanakan apa pada kami?
Lagi-lagi kami diangkut dengan truk tentara. Kali ini untuk mengadakan perjalanan naik kereta api selama dua hari. Sejak berangkat dari Semarang, jendela kereta ditutup hingga kami tak dapat melihat apa-apa. Perjalanan itu sungguh melelahkan. Akhirnya, kami tiba di Kamp Bogor, Jawa Barat.
Kami diancam dan dilarang menceritakan kepada siapa pun apa yang telah terjadi. Kamp di Bogor merupakan kamp peralihan. Kamp itu terdiri atas beberapa rumah yang dulu dihuni orang-orang Belanda. Seluruhnya dipagari dan digunakan sebagai kamp. Di situ kami dipersatukan kembali dengan wanita Belanda lainnya yang dipaksa dikeluarkan dari kamp, setelah mengalami nasib serupa kami.
Kami dipersatukan dengan keluarga masing-masing. Itulah saat paling menggembirakan, bertemu kembali dengan ibu dan kedua adikku. Malam pertama di Bogor, kami berkumpul berdekatan berbaring sebelah-menyebelah di dalam gelap. Aku belum sempat menceritakan kepada ibu apa yang telah terjadi pada diriku. Rasanya aku juga tak perlu menceritakannya. Malam itu dalam gelap ia berkali-kali mengusap kepalaku yang gundul. Lembut, penuh sayang, dan pengertian. Jari-jarinya mengusap-usap kepalaku hingga aku tertidur.
Setelah tinggal sebentar di Bogor kami dipindahkan lagi ke kamp lain. Kali ini kami dibawa ke kamp besar bagi tawanan wanita di Kramat, Jakarta. Ketika tiba di sana, kami harus tinggal di dalam kamp tersendiri. Jadi, dalam kenyataan kamp itu merupakan kamp di dalam kamp. Perwira Jepang takut, jangan-jangan tersebarlah berita-berita angin, lalu terungkap apa yang telah mereka lakukan terhadap diri kami.
Cobaan kami belum juga selesai. Wanita dari Kamp Kramat bagian lain diperintahkan untuk tidak berhubungan dengan kami. Namun tersebar juga desas-desus. Dengan kejam mereka menamakan kamp kami "Kamp WTS". Mereka mengira kami ini sukarela bekerja di bordil-bordil Jepang. Mereka mengira kami mendapatkan perlakuan istimewa dan makanan khusus. Padahal kami sama-sama kelaparan.
Keadaan kamp ini lebih buruk daripada yang sudah-sudah. Tembok-tembok basah. Tikus dan kelaparan di mana-mana. Apel pertama di kamp dan kami patuh berbaris dan melakukan upacara membungkuk memberi hormat. Tiba-tiba komandan kamp datang menghampiriku. Ia menarik diriku dari barisan dan merenggut kain dari kepalaku dengan marah karena ingin tahu. Di sanalah aku berdiri dengan kepala gundul. Sebuah objek penghinaan.
Sementara itu kesehatan ibuku semakin memburuk. Ia menderita radang paru-paru karena tidur di ruangan lembap. Ibuku dibawa ke rumah sakit darurat untuk dirawat. la mengigau terus dan hanya mengenali diriku. la hanya makan apa yang kusuapkan kepadanya. Untung, ibu selamat.
Pada tanggal 6 Agustus 1945, Hiroshima dibom. Perang di Jawa berakhir pada tanggal 15 Agustus. Ketika itu terbanglah pesawat melintasi kamp. Kali ini bukan pesawat terbang Jepang. Itu pesawat Sekutu! Mereka menjatuhkan makanan dan obat-obatan termasuk penisilin yang baru saja ditemukan. Penisilin itu menyelamatkan nyawa ibuku.
Tuhan sangat baik bagi umat-Nya. Seluruh keluarga kami dapat hidup selamat melewati PD II. Termasuk ayahku yang ditangkap oleh Jepang di Sumatra. Pada tahun 1946 kami semua dipersatukan kembali di Belanda. Demikian pula abang tertuaku, yang tertangkap Jerman di Eropa. (9 Kisah Nyata)