Belajar dari Ketegaran Jepang

Agus Surono

Editor

Belajar dari Ketegaran Jepang
Belajar dari Ketegaran Jepang

Tayangan bencana gempa disusul tsunami dan meledaknya reaktor nuklir di Jepang memberi pelajaran tentang bagaimana sebuah peristiwa disiarkan. Bagaimana mengemas sebuah peristiwa memilukan tidak menambah keruh suasana. Akan tetapi justru bisa memperteguh dan memperkuat bangsa untuk menghadapi bencana bersama-sama dalam koridor positif.

Sekilas melihat tayangan di televisi Jepang, tidak ada gelimpangan mayat atau detik-detik orang menjemput ajal. Lagu sedih menyayat hati tak terdengar mengiringi tayangan.

Di kompasiana.com ada cerita seorang koresponden NHK dari Indonesia tentang etika meliput bencana. Saat tsunami menghantam Jepang, sebuah kamera dari helikopter sempat menyorot seorang pengendara motor yang sedang memacu motornya di atas sebuah jembatan, berusaha menyelamatkan diri dari tsunami. Ketika tsunami hendak melibas si pengendara tadi, kamera segera diarahkan ke tempat lain. Begitulah standar pemberitaan di Jepang. Detik-detik kematian seseorang bukan pemandangan yang harus direkam.

Alih-alih menyuguhkan tayangan yang menggambarkan betapa hebat korban amukan tsunami, televisi Jepang memberikan informasi sekitar gempa yang selalu diperbarui. Tayangan yang memilukan justru akan membuat mereka stres. Saya jadi ingat dengan boikot yang dilakukan oleh masyarakat sekitar G. Merapi terhadap sebuah stasiun televisi swasta pascaletusan G. Merapi. Juga cerita bagaimana seorang kameramen teve menyuruh seorang anak kecil untuk menangis demi memperoleh gambar yang dramatis.

Hal lain yang berbeda adalah soal teks berjalan yang memberitahukan tentang nomor rekening dengan embel-embel kepedulian. Jepang memang negara kaya sehingga tidak membutuhkan sumbangan dari rakyatnya. Tanpa berpretensi negatif, saya melihat stasiun teve kita latah dan seperti jor-joran menampilkan teve mana yang memperoleh sumbangan paling besar. Apakah mereka memberi laporan apa saja yang sudah dilakukan dan berapa banyak dana yang sudah digunakan? Apakah penggunaannya diaudit oleh lembaga yang berkompeten?

Dari sebuah surel di sebuah milis saya memperoleh cerita lain soal gambaru atau berjuang sampai habis-habisan. Gambaru terdiri atas dua karakter yaitu karakter "keras" dan "mengencangkan". Jadi, perpaduan dua karakter itu menggambarkan "mau sesusah apa pun persoalan yang dihadapi, kita mesti keras dan terus mengencangkan diri sendiri, agar bisa menang atas persoalan itu". Gambaru seakan menjadi falsafah hidup orang Jepang.

Daya juang Jepang memang patut diacungi jempol. Kalah pada Perang Dunia II tak membuat Jepang ambruk. Begitu juga guncangan gempa Kobe tahun 1995 tak mampu melumpuhkan Jepang. Gempa, tsunami, dan ledakan reaktor nuklir Fukushima Daiichi tahun 2011 menguji kembali apakah semangat gambaru mampu meloloskan Jepang dari keterpurukan.

Untuk itu semua, Indonesia harus belajar banyak. Mulai dari menata kedisiplinan yang sekarang sudah rapuh di segala lini.

(Foto: NICHOLAS KAMM/AFP/Getty Images)

Artikel Terkait