Ini Alasan Mengapa Ibu Kandung Kartini Cuma Berstatus Selir dan Harus Memanggil Anak-anaknya Sendiri dengan 'Ndoro'

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Ibu kandung Kartini, Ngasirah, adalah seorang selir. Dia tidak tinggal di pendopo utama dan manggil anak-anaknya dengan sebutan 'ndoro' (Wikipedia Commons)
Ibu kandung Kartini, Ngasirah, adalah seorang selir. Dia tidak tinggal di pendopo utama dan manggil anak-anaknya dengan sebutan 'ndoro' (Wikipedia Commons)

Ini adalah kisah tentang Ngasirah, gadis desa putri seorang guju ngaji yang menikah dengan seorang bangsawan Jepara. Karena bukan berdarah biru, dia hanya berstatus selir dan karena itulah dia tidak bisa tinggal di bangunan utama. Kartini melihat dengan mata sendiri nasib ibu kandungnya itu.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Malang betul nasib Ngasirah, ibu kandung Kartini. Selain statusnya cuma sebagai selir, putri seorang guru ngaji itu juga harus memanggil anak-anaknya sendiri dengan "ndoro" alias "tuan".

Kartini, yang lahir pada 21 April 1879, memang berasal dari keluarga priyayi Jawa. Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat adalah seorang ningrat Jawa, berstatus sebagai Bupati Jepara.

Meski begitu, ibu kandung Kartini bukanlah istri pertama, melainkan selir. Ibunya bernama Mas Ajeng Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara.

Ngasirah adalah perempuan desa yang dibesarkan dalam lingkungan yang taat beragama karena bapaknya menjadi guru mengaji. Pendidikan agama dan tata krama diajarkan secara langsung oleh kedua orang tuanya.

Namun Ngasirah tak pernah mengikuti pendidikan formal. Pada 1872 Mas Ajeng Ngasirah dinikahi oleh Wedana Mayong R.M. Sosroningrat. Keluarga muda ini hidup rukun dan bahagia. Apalagi setahun setelah menikah dikaruniai anak yang kemudian disusul anak lainnya.

Ngasirah memiliki delapan anak. Mereka adalah RM Slamet, RM Boesono, RM Kartono, dan RA Kartini. Lalu RA Kardinah lahir, RM Moeljono, RA Soematri, dan RM Rawito. Kala itu, peraturan kolonial adalah mewajibkan soerang bupati beristrikan bangsawan.

Karena Ngasirah bukan bangsawan tinggi, maka Ario Sosroningrat menikah dengan Raden Adjeng Woejan keturunan langsung dari Raja Madura. Dalam buku Kartini Guru Emansipasi Perempuan Nusantara yang ditulis Ready Susanto diceritakan bahwa Kartini lahir di dalam gedung keasistenwedanaan.

Sang ayah, Sosroningrat mengadakan kenduri bubur merah dan bubur putih untuk bayi perempuan yang kemudian diberi nama Kartini.

Pengamat sejarah Edy Tegoeh Joelijanto (50) yang pernah mengenyam pendidikan di UKDW Yogyakarta dan Universitas Putra Bangsa Surabaya mengatakan bahwa Ngasirah, ibu kandung Kartini, bukan keturunan darah biru.

Karena aturan kolonial, Sosroningrat menikah dengan Raden Adjeng Woejan keturunan dari Raja Madura. Otomatis, status Ngasirah turun menjadi selir walaupun sudah melahirkan delapan anak.

Ngasirah pun berstatus selir dan harus memanggil anak-anaknya sendiri dengan sebutan "ndoro" atau majikan. Adapun putra-putri Ngasirah diharuskan memanggil Ngasirah dengan sebutan "Yu" atau panggilan untuk perempuan abdi dalem.

Sebagai selir, Ngasirah pun tidak berhak tinggal di rumah utama kabupaten, tetapi tinggal di bagian belakang pendapa. Namun, Kartini lebih sering memilih tinggal dengan Ngasirah dan menolak memanggilnya "Yu". Kartini juga memberikan syarat mau menikah jika ibu kandungnya itu dibebaskan masuk pendopo.

Ngarisah, meskipun suaminya seorang bangsawan yang terpandang, nyatanya dia tidak menerima privilese itu. Dan sejak kecil Kartini menyaksikan itu. Dia melihat bagaimana ibunya, yang adalah garwa ampil, tidak tinggal di rumah utama bupati tapi di bagian belakang pendapa.

Bisa dibilang, sumbu pemikiran Kartini adalah terkait apa yang dialami oleh ibunya, juga dirinya sendiri sebagai perempuan Jawa kala itu. Sejak kecil, dia harus menerima nasib dipingit, itu artinya tidak diperbolehkan keluar rumah dan melakukan aktivitas lain sampai menikah.

Tapi apakah itu menjadi berkah bagi Kartini, entahlah. Yang jelas, selama dipingit, diasemakin lahab membacamembaca buku, koran, dan majalah, serta bertukar surat dengan temannya di Belanda. Dari situlah, pemikirannya terbuka.

Dalam surat-suratnya sangat terlihat bagaimana Kartini inginperempuan pribumi juga harus berpikiran maju seperti perempuan-perempuan Eropa pada masa itu dan memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki.

Perjalanannya memperjuangan emansipasi dan mencerdaskan kaum perempuan pun dimulai dari tulisan. Dengan pengetahuan yang mempuni, Kartini menciptakan karya tulis sebagai salah satu bentuk perjuangannya membuka pemikiran kaum perempuan.

Salah satu tulisan Kartini yang mencuri perhatian adalah "Upacara Perkawinan Suku Koja", yang diterbitkan dalam majalah ketika usianya baru 16 tahun. Tak hanya itu, beberapa tulisan Kartini mengenai emansipasi perempuan juga dimuat di De Hollandsche Lelie.

Tulisan-tulisan tersebut berhasil menarik perhatian orang-orang Belanda. Perjuangan Kartini tidak hanya sampai pada karya tulisan. Kartini adalah perempuan pertama yang memprakarsai perkumpulan dan memajukan pendidikan perempuan.

Perjuangan RA Kartini dalam pendidikan dimulai di Jepara, dengan memulai sebuah sekolah kecil yang mengajarkan baca-tulis, kerajinan tangan, dan memasak. Kartini berniat untuk memajukan para perempuan pribumi yang masih terlalu terikat dengan budaya dan adat, sehingga kebebasan mereka dalam menentukan hidup pun ikut terenggut.

Ketika itu kaum perempuan dilarang berpendidikan tinggi dan hanya diperbolehkan untuk tinggal di rumah mengurus suami dan anak. Di usia 24 tahun, tepatnya pada 12 November 1903, RA Kartini menikah dengan Bupati Rembang, KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang ketika itu sudah memiliki tujuh anak dan dua selir.

Sebelum dinikahi, Kartini mengajukan beberapa syarat, yang tidak lain berkaitan dengan perjuangannya memajukan kaum perempuan. Kartini berusaha menghapuskan ketidakadilan yang selalu diterima sang ibu dengan meminta agar ibunya bisa masuk ke pendopo.

Kartini ingin, dia juga dibolehkan membuka sekolah untuk mengajar putri-putri pejabat Rembang seperti yang dilakukannya di Jepara. Kemudian, dalam prosesi upacara penikahan, Kartini tidak mau ada prosesi jalan jongkok, berlutut, dan menyembah kaki mempelai laki-laki, untuk menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan harus sederajat.

Syarat-syarat tersebut dipenuhi, sehingga Kartini tetap bisa mewujudkan cita-citanya untuk memajukan pendidikan perempuan pribumi. Sekolah yang didirikan setelah menikah berada di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang (sekarang Gedung Pramuka).

Kartini juga sempat mendukung langkah suaminya memberantas candu, yang bertentangan dengan anggota Dewan Hindia. Perjuangan Kartini tidak berlangsung lama, karena pada 17 September 1904, dia meninggal hanya beberapa hari setelah melahirkan anak semata wayangnya.

Meski sangat singkat, perjuangan Kartini menginspirasi banyak orang, salah satunya Conrad Theodor van Deventer, salah satu tokoh Politik Etis dari Belanda, yang mendirikan sebuah sekolah perempuan. Sekolah yang dinamai Sekolah Kartini itu didirikan pada 1912, atau sekitar delapan tahun setelah wafatnya RA Kartini.

Begitulah nasib Ngasirah, ibu kandung Kartini. Meskipun suaminya adalah seorang bangsawan Jawa, nyatanya dia tidak merasakan kemewahan itu karena statusnya sebagai selir. Dan itulah yang membuat Kartini semakin membara pemikirannya.

Artikel Terkait