Banyak hal yang dibahas Kartini dalam surat-suratnya, tak hanya soal perempuan dan pendidikan. Dia juga menyinggung tabiat pejabat pribumi.
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Sejatinya Kartini membahas banyak hal dalam surat-suratnya kepada sahabat-sahabatnya di Belanda. Terutama soal perempuan dan pendidikan, Kartini juga membahas tentang fotografi, masyarakat pesisir, hingga tabiat pejabat pribumi yang "gemar menerima hadiah".
Itu bisa kita lihat dari surat Kartini kepada Stella, sahabat penanya di Belanda yang dia kenal lewat sebuah majalah Belanda, yang bertanggal 12 Januari 1900.
Begini bunyi suratnya:
[...]
Tahun yang lalu sebuah desa nelayan kebanjiran selama seminggu. Siang malam ayah tinggal di tempat bencana itu. Dengan dana swasta yang kemudian dibayar kembali oleh pemerintah, beberapa kilometer bendungan yang jebol itu dibangun kembali. Tetapi siapa yang mengembalikan kepada rakyat apa yang dirusakkan oleh air? Dari 100.000 tambak hanya tinggal 15. Beberapa waktu kemudian insinyur-insinyur dari perairan mengatakan kepada ayah bahwa banjir itu disebabkan karena kesalahan mereka. Mereka salah menyalurkan air.
Pemerintah menjaga betul kesejahteraan rakyat Jawa, tetapi mereka masih menderita karena pajak yang tinggi.
Secara resmi rakyat tidak diperas lagi oleh pemimpin-pemimpinnya. Andaikata sekali waktu hal ini terjadi, si pelaku akan dipecat atau diturunkan pangkatnya. Namun yang tetap ada dan merajalela ialah keburukan menerima hadiah, yang saya anggap sama buruknya dengan menyita barang dari rakyat kecil dalam Max Havelaar.
Namun saya tidak boleh menyalahkan begitu saja, berdasarkan fakta yang ada. Saya harus memperhitungkan keadaan mengapa mereka berbuat demikian.
Pertama orang pribumi menganggap memberi hadiah kepada atasan sebagai suatu pernyataan hormat. Pegawai pemerintah menerima hadiah, tetapi pemimpin gajinya demikian rendah sehingga hampir suatu mukjizat bahwa mereka bisa hidup dengan uang itu.
Seorang jurutulis kawedanan misalnya yang sehari suntuk menulis terus, gajinya hanya f 25. Dari jumlah itu ia harus menghidupi keluarga, membayar sewa rumah, membeli pakaian yang layak, pamer agar tidak turun martabat terhadap bawaannya. (Jangan terlalu keras menilai bagian terakhir ini. Kasihanilah anak-anak besar itu, karena banyak di antara rekan-rekan senegara saya masih demikian).
Kalau jurutulis ini diberi setandan pisang atau sejenisnya oleh seorang desa ia akan menolaknya. Untuk kedua kalinya ia tetap menolak, tetapi untuk ketiga kalinya tolakan itu sudah agak ragu-ragu. Dan untuk keempat kalinya ia akan menerima hadiah itu. Yang saya lakukan tidak salah, pikirnya. Saya tidak minta, saya diberi dan saya gila kalau menolak sesuatu yang bisa saya manfaatkan.
Memberi hadiah bukan hanya sebagai cara menunjukkan kehormatan tetapi juga sebagai cara untuk mencegah kesulitan yang mungkin bisa dialami pemberi dari atasan di kemudian hari. Andaikata ia pada suatu hari ditangkap oleh Wedono karena sesuatu, ia masih dapat mengharapkan bantuan dari jurutulis.
Pegawai negeri gajinya rendah. Seorang asisten wedono kelas II gajinya f85. Dari jumlah itu ia harus membayar juru-tulis sendiri, bendi atau sado dengan kuda selain kuda tunggang untuk turne di hutan, membeli rumah, mebel, membiayai rumah tangga. Selain itu ia juga harus menjamu kontrolir, bupati dan kadang-kadang asisten residen kalau mereka harus melakukan perjalanan di daerahnya. Kalau asisten wedono tinggalnya jauh dari kota, mereka menginap di pasanggrahan dan asisten wedono mendapat kehormatan untuk menyediakan makanan untuk orang-orang terkemuka ini. Cerutu, air Belanda, alkohol dan barang-barang dalam kaleng. Percayalah itu pengeluaran yang besar bagi seorang kepala asistenan.
Kau juga bisa mengerti bahwa ia tidak akan menyuguhkan sajian biasa kepada tamu-tamu agungnya. Ia akan mengambil barang-barang dari kota. Namun untungnya kalau ayah turne dan terus menginap ia selalu membawa makanan sendiri. Kontrolir dan asisten residen juga berbuat demikian. Secangkir teh yang disajikan kepala daerah dalam perjalanan itu, tidak akan membuat mereka bangkrut.
Andaikata ada suatu kejahatan yang dilakukan di daerahnya kepala daerah harus berusaha untuk memecahkan persoalan itu. Ini kewajibannya. Dan untuk mencari biang keladinya ia sering harus menguras kantong. Sering terjadi pemimpin pribumi harus menggadaikan perhiasan anak-istri agar mendapat uang yang diperlukan untuk penyidikan. Tetapi uang itu toh akan dikembalikan oleh pemerintah, demikian pasti kau katakan.
Tidak benar. Ada pangrehpraja yang bangkrut karena hal itu. Apa yang harus dilakukan pegawai negeri yang tidak cukup penghasilannya, tidak mempunyai keluarga atau orangtua yang bisa menyokongnya? Dia melihat anak istrinya mengenakan pakaian compang-camping padahal rakyat membawa hadiah-hadiah. Jangan menilai terlalu keras Stella.
Stella, saya kenal seorang residen yang berbahasa Melayu dengan seorang bupati biarpun ia tahu bahwa bupati itu pandai berbahasa Belanda. Lagipula setiap orang bicara dalam bahasa Belanda dengan pemimpin pribumi itu kecuali asisten residen itu.
Saudara-saudara saya yang laki-laki berbahasa Jawa tinggi dengan atasannya dan mereka sebaliknya menjawab dengan bahasa Belanda atau Melayu. Yang berbahasa Belanda ialah mereka. yang sudah berteman dengan kami dan beberapa di antara mereka minta kepada kakak-kakak saya untuk berbahasa Belanda saja. Tetapi kakak-kakak saya tidak mau dan ayah juga melarang. Kakak-kakak dan ayah juga tahu keharusan yang patut. Orang terlalu banyak menggunakan kata gengsi (prestige). Kata gengsi terlalu banyak digunakan oleh ambtenar-ambtenar yang menganggap dirinya dewa.
Saya tidak peduli mereka mengolok-olok kami. Saya malah geli melihat cara mereka menjaga gengsi terhadap kami, orang Jawa. Dengan beberapa pegawai negeri BB yang berteman dengan saya, saya membicarakan hal ini. Saya tidak dibantah atau dibenarkan biarpun saya yakin mereka membenarkan saya dalam hati. Ini juga demi gengsi.
Sekarang kami bisa mengerti mengapa dalam hal seperti itu saya tidak bisa menahan senyum saya. Geli melihat cara tuan-tuan besar itu berusaha menunjukkan kekuasaannya terhadap kami. Saya harus menggigit bibir saya supaya jangan tertawa terbahak-bahak ketika baru-baru ini saya melihat seorang residen berjalan di bawah payung ke emas-emasan yang dipegang oleh seorang opas di atas kepala yang mulia. Waktu itu saya sedang dalam perjalanan. Pemandangan yang lucu.
O, dewa, andaikata Anda tahu bagaimana khalayak yang menyingkir untuk payung yang berkilau-kilauan itu akan menertawakan Anda di belakang Anda, pikir saya. Bagaimana pendapatmu mengenai banyaknya ambtenar-ambtenar yang membiarkan lutut dan kakinya dicium oleh pemimpin-pemimpin pribumi? Cium kaki merupakan tanda penghormatan tertinggi yang hanya diberikan orang Jawa kepada orang tua, kerabat yang lebih tua dan pemimpin-pemimpin sendiri. Kami tidak suka berbuat demikian terhadap orang asing. Dan kalau dipaksa hanya dilakukan dengan enggan.
Orang Eropa hanya membuat dirinya bahan tertawaan di mata kami kalau ia meminta dari kami penghormatan yang hanya bisa diminta oleh pemimpin-pemimpin kami sendiri.
Bahwa residen dan asisten residen meminta dirinya disebut "kanjeng" memang sepatutnya, tetapi bahwa juga mandor kebun, pegawai jembatan timbangan dan besok mungkin juga kepala stasiun minta dipanggil demikian oleh bawahannya, memang lucu. Tahukah mereka apa yang dimaksud dengan Kanjeng? Saya kira hanya orang Jawa yang bodoh yang suka dirayu, tetapi saya melihat bahwa orang Barat yang terpelajar pun tidak enggan dengan rayuan, malah menyukainya.
Oh tentu saja, Kartini juga membahas tentang latar belakang dirinya sebagai keturunan ningrat Jawa. Tapi begini responnya, sebagaimana tertuang dalam suratnya kepada Stella bertanggal 18 Agustus 1899:
Apakah kau tidak akan kecewa setelah berkenalan lebih lanjut dengan saya? Sudah saya katakan, saya tidak tahu apa-apa. Di sampingmu saya tidak ada artinya sama sekali. Kau memang tahu betul mengenai gelar-gelar Jawa.
Sebelum kau menulis, saya tidak pernah memikirkan hal itu. Kaukatakan saya berasal dari "keturunan tinggi". Apakah saya seorang "prinses", putri? Sama sekali bukan. Raja terakhir pada nenek moyang kami, dari pihak ayah langsung, saya kira sudah lewat 25 generasi. Ibu masih ada hubungan dekat dengan keluarga kerajaan Madura. Kakek buyutnya seorang raja yang masih memerintah dan neneknya seorang "putri mahkota" (erf-vorstin).
Namun saya sama sekali tidak peduli mengenai hal ini. Bagi saya hanya ada dua macam aristokrat: aristokrat yang berjiwa mulia dan yang berwatak mulia. Saya anggap tidak ada sesuatu yang lebih menggelikan daripada orang yang membanggakan keturunannya yang tinggi. Apa hebatnya untuk menjadi baron atau graaf? Saya tidak bisa menjangkaunya dengan pikiran saya yang kecil ini.
[...]
Agama dimaksudkan sebagai berkah umat manusia, untuk menjadi tali pengikat antara semua makhluk ciptaan Tuhan. Kita semua saudara. Bukan karena kita mempunyai orang tua manusiawi yang sama tetapi karena kita semua anak dari satu Bapa. Dia yang bertahta di Surga.
Oh Tuhan. Sering saya pikir, alangkah baiknya andaikata tidak pernah ada agama. Karena ini yang sebetulnya harus menyatukan manusia sepanjang masa malahan menjadi sumber pertikaian, perbedaan, pembunuhan yang paling berdarah dan mengerikan. Manusia dari orangtua yang sama, saling bermusuhan karena cara mereka mengabdi kepada Tuhan yang sama, berbeda. Orang yang hatinya terikat karena cinta kasih, saling menjauhi dengan rasa pedih. Perbedaan gereja di mana toh Tuhan yang sama diabdi, menjadi dinding pemisah untuk orang-orang yang sebetulnya hatinya berdetak untuk satu sama lain.
Apakah agama betul kurnia bagi umat manusia, saya sering bertanya-tanya. Agama sebetulnya harus melindungi kita dari dosa, tetapi berapa dosa malahan dilakukan atas nama Dia.
Sejarah singkat Karitni, dipingit sejak usia 12 tahun, gagal sekolah ke Belanda, hingga jadi istri keempat Bupati Rembang
Meski dipingit sejak usia 12 tahun, nyatanya itu tidak membuat Kartini meredup. Justru pada masa-masa itulah kecermelangannya semakin terang.
Kartini lahir di Jepara pada 21 April 1879. Ayahnya adalah Bupati Rembang. Dengan jabatan ayahnya yang mentereng itu Kartini bisa sekolah di tempat yang bergengsi, sepertiEuropese Lagere School (ELS).
Kartini lulus pada 1892. Tapi setelah itu, Kartini harus merasakan masa pingitan, saat usianya 12 tahun. Dia mengasingkan diri di dalam rumah dan dilarang ke luar lingkungan rumahnya yang megah.
Alih-alih keluar rumah, Kartini bahkan jarang menginjak serambi rumah. Selama empat tahun menjalani masa pingitan, Kartini hanya lima kali keluar dari lingkunggan Kabupaten jepara.
Ketika kakaknya, RA Soelastri, menikah dengan Raden Ngabehi Tjokroadisosro dan pindah ke Kendal, Kartini menjadi puteri tertua di kabupaten. Dia pun berhak mengatur semua urusan adik-adiknya.
Kartini juga mulai menempati kamar sang kakak Soelastri yang jauh lebih luas dari kamarnya. Dia lalu mengajak dua adiknya, Roekmini dan Kardinah untuk tinggal satu kamar.
Saat bersama, tiga bersaudara tersebut menyalurkan kegemarannya mulai melukis, main piano hingga ketrampilan tangan. Kartini juga menularkan kebiasaan membaca ke adik-adiknya.
Mereka membaca surat kabar De Locomatief sehingga tahu perkembangan yang terjadi di Hindia Belanda atau Eropa. Pada 1896, ayahnya mengajak Kartini dan adik-adiknya untuk perjalanan dinas ke Kedungpenjalin menghadiri penahbisan pendata.
Dia menceritakan kisah tersebut melalui surat ke Stella. “Alhamdulillah! Alhamdulillah! Saya boleh meninggalkan penjara saya sebagai orang bebas," tulis Kartini.
Sejak aturan pingitan dilonggarkan, Kartini dan dua adiknya diperkenankan kembali mengunjungi rumah Nyonya Ovink Sore secara rutin. Nyonya Ovingk juga sering mengajak tiga saudara tersebut pergi menghadiri pesta keluarga Belanda.
Hal tersebut dicermati secara baik oleh sang ayah. Hingga akhirnya pada 2 Mei 1898, tiga bersaudara tersebut tak lagi dipingit. Kebebasan tiga saudara ditandai dengan ikutnya mereka dalam kunjungan Bupati Sosroningrat ke Semarang menghadiri perayaan penobatan Ratu Wilhelmina.
Kartini membagi kebahagian tersebut kepada Stella melalui surat: “Kami diperkenankan meninggalkan kota kediaman kami dan ikut pergi ke ibukota menghadiri perayaan penghormatan kepada Sri Ratu. Lagi kemenangan yang besar, amat besar yang sangat patut kami hargai."
Sejak saat itu Kartini dan adik-adiknya berkunjung ke desa-desa dan berdialog dengan warga. Salah satu permasalahan yang berhasil diselesaikan Kartini adalah kemiskinan yang membelit para pengrajin ukir di Kampung Belakanggunung.
Hasil karya pengrajin dihargai murah dan tak sebanding dengan jerih payah yang telah mereka lakukan. Mendengar itu, Kartini langsung menghubungi orang Belanda di Semarang dan Batavia untuk membantu mempromosikan kerajinan seni ukir Jepara.
Kartini menugaskan kepada pengrajin ukir dari Belakanggunung membuat berbagai macam furnitur dan kerajinan untuk dipasarkan ke Semarang, Batavia, bahkan Belanda. Harga kerajinan mereka mampu dijual dengan harga yang tinggi, sehingga kesejahteraan pengrajin bisa meningkat.
Dengan cara yang sama Kartini juga berhasil meningkatkan kesejahteraan pengrajin emas dan tenun yang ada di Jepara.
Peluang Kartini untuk mendapatkan pendidikan sedikit terbuka saat pemerintah Belanda mengumumkan politik kolonial baru pada September 1901. Dia pun ikut sang ayah yang berkunjung ke Istana Buitenzorg (Bogor) untuk memenuhi undangan Gubernur Jenderal Roosebom.
Kartini memanfaatkan kesempatan untuk menemui Nyonya Rooseboom meminta bantuan beasiswa agar bisa melanjutkan pendidikan ke Belanda. Tapi dia gagal bertemu Nyonya Rooseboom dan hanya bisa bertemu ajudan Gubernur Jenderal, suami istri de Booy.
Perjalanan ke Batavia membuat secercah harapan bagi Kartini, apalagi JH Abendanon bersedia membantu jika Kartini ingin masuk sekolah dokter. Tapi sekolah dokter tak disetujui oleh ayahnya.
Kartini menceritakannya kepada Nyonya Ovink Soer.
“Apabila sekarang kami tidak ke negeri Belanda, bolehkan saya ke Betawi untuk belajar jadi dokter? Jangan lupa, kamu orang Jawa, sekarang belum mungkin. 20 tahun mendatang keadaan akan lain, Tetapi sekarang belum bisa. Lalu saya bertanya, bolehkah saya jadi guru Ayah berkata itu bagus, itu baik sekali! Itu boleh kamu kerjakan!"
Bupati Sosroningrat tidak mengizinkan Kartini masuk ke sekolah dokter karena murid di sekolah tersebut semuanya laki-laki. Sehingga jika anaknya masuk ke sekolah tersebut akan menimbulkan permasalahan.
Akhirnya dia mengizinkan Kartini untuk mengikuti pendidikan guru sesuai dengan cita-citanya sejak kecil. Pertimbangan lain diberikannya izin tersebut adanya informasi bahwa anaknya dicalonkan menjadi direktris pada kostschool yang akan didirikan oleh pemerintah.
Harapan Kartini untuk mengikuti pendidikan guru sirna saat sebagian besar bupati menolak surat edaran direktur pendidikan J.H. Abendanon, dengan alasan aturan adat bangsawan tidak mengizinkan anak perempuannya dididik di luar.
Kartini yang semula menyambut suka cita sekolah tersebut harus kecewa, ia menuangkannya dalam sebuah surat untuk Stella.
"Selamat jalan impian hari depan yang keemasan! Sungguh, itu terlalu indah untuk menjadi kenyataan."
J.H. Abendanon mengetahui kekecewaan Kartini, karena itu ia berusaha keras agar Kartini bisa melanjutkan pendidikan. Pada 19 Maret 1901 dikirimkannya surat dinas kepada Gubernur Jenderal.
Isinya usulan untuk mengirimkan guru wanita yang memiliki akta guru kepala (Hoofdacte) ke Jepara untuk mengajar di ELS. Guru tersebut mendapat tugas tambahan mendidik puteri-puteri Bupati Sosroningrat di luar jam sekolah, karena mereka dipersiapkan mengikuti ujian guru.
Bupati Sosroningrat menulis surat jawaban kepada pemerintah dengan isi yang sangat mengejutkan, karena dia memutuskan untuk menarik kembali permohonan bantuannya kepada pemerintah.
Kartini sangat kecewa dengan keputusan tersebut, kekecewaan yang datang berulang menjadikan Kartini menderita sakit keras yang berakibat pada menurunnya semangat juang untuk mengejar cita-citanya.
Kartini menulis:
"Bagaimana saya dapat menjadi sangat malas dan tak berkehendak apapun, saya sendiri tidak mengerti. Saya hanya tahu, bahwa saya hanya merasa kurang enak badan."
Perjuangan Kartini untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi banyak dibicarakan oleh orang-orang di Belanda. Adalah Van Kol, anggota parlemen Belanda yang mengusahakan beasiswa untuk Kartini saat ia datang ke Jepara pada 20 April 1902.
Van Kol takjub dengan pemikiran dan perjuangan Kartini tentang persamaan dejarat antara laki-laki dan perempuan yang bisa dicapai melalui pendidikan. Bahkan pertemuan Van Kol dan keluarga Bupatu Sosroningrat diberitakan di surat kabar De Locomotief.
Tapi banyak usaha untuk menghalangi keberangkatan Kartini ke Belanda baik dari para bangsawan pribumi hingga orang -orang Belanda. Salah satu orang Belanda yang mempengaruhi Kartini untuk membatalkan beasiswanya adalah Nyonya Abendanon.
Pada Mei 1902, dia mengirim surat ke Kartini dan meminta remaja putri itu membatalkan rencana belajar ke Belanda karena bisa menjadikan murid-murid Kartini tercerabut dari budaya Jawa. Tapi Kartini tidak bergeming.
Hingga J.H Abendanon, pejabat tinggi Belanda datang ke Jepara pada 24 Januari 1903 untuk menemui Kartini. Dia pun mengajak Kartini berbicara di Pantai Klien Scheveningen (Bandengan).
J.H. Abendanon membujuk Kartini untuk mengubah tujuannya belajar dari Belanda ke Batavia, karena akan banyak keuntungan yang didapatkannya. Pembicaraan antara J.H. Abendanon dan Kartini membawa pengaruh yang tidak terduga, Kartini membatalkan niatnya untuk pergi belajar ke Belanda.
Keputusan yang sangat aneh dan misterius, karena Kartini sudah mendambakan kesempatan itu bertahun tahun. Dalam suratnya kepada anak keluarga Abendanon tanggal 27 Januari 1903 Kartini menulis:
"Percakapan kami di pantai menghasilkan keputusan, kami segera menyampaikan permohonan kepada Gubernur Jenderal dengan persetujuan orang tua, agar kami diberi kesempatan oleh pemerintah untuk menamatkan pendidikan di... Betawi !"
Surat tersebut juga menjelaskan sebab-sebab Kartini membatalkan niatnya berangkat ke Belanda. Kartini khawatir kepergiannya ke Belanda dalam waktu yang lama membuat rakyat melupakannya, padahal kepergiannya bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat mereka.
Kartini khawatir dengan kondisi kesehatan ayahnya yang sudah tua, yang sewaktu-waktu bisa terserang oleh penyakit yang membutuhkan perawatan. Belajar di Belanda membutuhkan waktu yang cukup lama, sementara jika belajar di Batavia maka bisa segera mempraktekan ilmunya.
Janji Mr. Abendanon yang mengizinkan Kartini untuk membuka sekolah meski belum mengikuti ujian pendidikan guru. Keputusan Kartini tidak berangkat ke Belanda membuat teman-teman yang memperjuangkan dirinya kecewa.
Kartini berusaha menjelaskan kepada teman-temannya tentang budaya masyarakatnya yang masih belum semaju masyarakat yang tinggal di Belanda. Setelah batal sekolah ke Belanda, Kartini dan adiknya Roekmini memutuskan membuka sekolah untuk anak gadis.
Sekolah itu untuk menekankan pembinaan budi pekerti dan karakter anak.
Pada Juni 1903, kegiatan sekolah dimulai di pendopo kabupaten. Kartini mengatur sekolah sesuai dengan gagasan yang ada di dalam dirinya. Murid-muridnya adalah anak perempuan priyayi ada ada di Kota Jepara.
Sekolah dilakukan selama empat hari dalam seminggu yaknu mulai Senin hingga Kamis. Para siswa masuk jam 08.00 dan pulang jam 12.30. Murid-murid belajar membaca, menulis, menggambar, tata krama, sopan-santun, memasak, serta membuat kerajinan tangan.
Aktifitas Kartini di sekolah menjadikannya melupakan rasa pedih karena gagal berangkat ke Belanda. Pertengahan Juli 1903 perhatian Kartini dalam mengelola sekolah mulai terpecah, karena datang utusan Bupati Rembang Raden Adipati Djojo Adiningrat membawa surat lamaran untuk Kartini.
Surat lamaran Raden Adipati Djojo Adiningrat diterima oleh Kartini disertai dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
- Bupati Rembang menyetujui dan mendukung gagasan-gagasan dan cita-cita Kartini.
- Kartini diizinkan membuka sekolah dan mengajar puteri-puteri bangsawan di Rembang
Jawaban Kartini segera disampaikan kepada Bupati Rembang dan mendapatkan persetujuan, sehingga pernikahan antara Raden Adipati Djojo Adiningrat dengan Kartini bisa segera dilaksanakan.
Pada 24 Juli 1903, setelah Kartini menerima lamaran Raden Adipati Djojo Adiningrat, datang surat dari Surat Keputusan Gubernur Jenderal yang memberikan izin kepada Kartini dan Roekmini untuk melanjutkan pendidikan ke Batavia.
Mereka mendapatkan bantuan biaya dari pemerintah masing-masing sebesar f. 200,- (dua ratus gulden) sebulan selama dua tahun. Keputusan pemerintah tersebut menjadi tidak berarti karena Kartini sudah memutuskan untuk menikah, sementara Roekmini tidak mungkin pergi sendiri belajar di Batavia.
Pernikahan Kartini yang semula direncanakan pada 12 November 1903, atas permintaan Bupati Rembang dimajukan menjadi 8 November 1903. Pernikahan dilaksanakan di Jepara dengan cara yang sederhana dihadiri oleh saudara-saudara dekat kedua mempelai.
Pernikahan ini tidak disertai dengan upacara mencium kaki mempelai laki-laki oleh mempelai perempuan sesuai dengan permintaan Kartini. Mempelai laki-laki mengenakan pakaian dinas, sementara Kartini memakai pakaian seperti keseharian biasa.
Setahun setelah menikah, Kartini hamil dan melahirkan. Sayangnya beberapa hari setelah melahirkan, Kartini meninggal dunia pada 17 September 1903 di usia 25 tahun.
Kematian R.A. Kartini sangat mengguncang pikiran suaminya, R.M. Djojo Adiningrat. Kepada Nyonya Abendanon dia menulis sebuah surat yang menceritakan kematian isterinya:
“Dengan halus dan tenang ia menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam pelukan saya. Lima menit sebelum hilangnya (meninggal), pikirannya masih utuh, dan sampai saat terakhir ia tetap sadar. Dalam segala gagasan dan usahanya, ia adalah Lambang Cinta, dan pandangannya dalam hidup demikian luasnya. Jenazahnya saya tanam keesokan harinya di halaman pesanggrahan kami di Bulu, 13 pal dari kota."
Begitulahsejarah singkat RA Kartini, mulai dari dipingit, gagal sekolah ke Belanda hingga menikah di usia muda.