Saat untuk berpisah tiba. Kedua adikku menangis, sementara ibu dan aku tak dapat mengeluarkan sepatah kata pun, kecuali saling menatap dan mendekap erat. Akan dibawa ke mana aku? Apakah kami akan saling bertemu lagi?
Sambil menangis kami didorong masuk ke dalam truk. Kelompok kami masih ditambah 6 gadis lagi. Seluruhnya berjumlah 16 orang dari Kamp Ambarawa. Kami berjongkok seperti binatang ketakutan. Tak ada gambaran akan diangkut ke mana.
Aku mulai sadar, truk melalui jalan besar dari Ambarawa ke Semarang. Aku sering melalui jalan itu dengan seluruh keluarga untuk berlibur di tempat kakek. Tiba-tiba truk itu direm dan membelok masuk jalan menuju rumah besar. Tujuh gadis termasuk aku diperintahkan turun.
Bordil para perawan
Dengan perasaan tak keruan kami digiring masuk ke rumah pimpinan perwira Jepang. Aku mulai curiga. Tiap gadis memperoleh kamar tidur masing-masing yang telah ditentukan. Rumah bekas milik warga Belanda itu disebut orang Jepang "Wisma Tujuh Lautan".
Siang harinya kami memperoleh nasi goreng porsi penuh. Itulah pertama kalinya kami memperoleh makanan layak sejak diinternir. Tetapi karena dicekam rasa takut, kami tidak berselera. Sepasang pembantu pria dan wanita memperkenalkan diri. Katanya, mereka akan melakukan berbagai pekerjaan rumah tangga bagi kami; memasak, mencuci pakaian, dan membersihkan rumah. Mereka memandang penuh pengertian dan maaf. Ya, mereka juga tahu apa yang kami takutkan. Malam itu aku tak bisa tidur, demikian pula gadis-gadis yang lain. Akhirnya, kami semua berbaring di ranjang besar, saling berdekapan untuk mencari penghiburan dalam doa.
Hari berikurnya datanglah beberapa perwira tinggi Jepang. Kami semua dipanggil ke kamar duduk. Komunikasi dengan orang-orang Jepang selalu sulit. Tentara yang terdidik atau berposisi tinggi, kebanyakan berbicara bahasa Inggris sedikit-sedikit. Beberapa di antaranya telah cukup mengerti bahasa setempat, hingga kami mengerti sedikit. Mereka memberi tahu, kami dibawa ke tempat itu untuk kenikmatan seksual perwira Jepang. Dengan kata lain, kami berada di sebuah bordil Jepang!
Percobaan melarikan diri hanya sia-sia belaka karena rumah ini dijaga ketat. Di rumah itu kami diharuskan memenuhi satu tujuan, yakni melayani nafsu seks orang Jepang. Jadi, kami dipaksa menjadi budak prostitusi.
Seluruh tubuhku menggigil ketakutan. Ini berlawanan dengan hak-hak asasi manusia! Melanggar Konvensi Jenewa. Kami lebih baik mati daripada jadi budak seks. Orang-orang Jepang itu hanya tertawa-tawa. Mereka mengatakan, telah menguasai kami. Jadi, mereka dapat berbuat semaunya.
Hari berikutnya kami melihat rumah itu ditata sebagai kamar tamu. Di situlah tentara Jepang mengobrol dan bermain kartu dengan gadis pilihan mereka. Kami diperintahkan membuat foto untuk kemudian dipasang pada papan di kamar tamu. Lalu datanglah kiriman bunga. Setiap gadis memperoleh jambangan bunga di kamar masing-masing.
Sementara rumah ini telah berubah menjadi sebuah bordil, di kamar mandi terdapat barang-barang aneh. Aku tak punya gambaran benda-benda apa itu. Atau untuk apa barang itu. Malam pembukaan tiba. Kami semua sangat takut. Belum pernah aku merasakan kecemasan yang begitu melumpuhkan. Kami semua masih perawan dan polos. Pada malam pembukaan itu, "harga" kami cukup tinggi sebab kami perawan.
Diancam pedang
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR