Intisari-Online.com - Bulan Agustus 1995 di Tokyo diadakan Forum Internasional Ganti Rugi Perang untuk wilayah Asia Pasifik, membahas dosa tentara Dai Nippon terhadap rakyat Indonesia dan ganti rugi kepada pribadi-pribadi yang dirugikan pada masa pendudukan Jepang (1942 - 1945) termasuk para mantan jugun ianfu (wanita penghibur). Berikut ini pengakuan Jeanne Ruff O'Herne, mantan ianfu yang kemudian jadi guru di Australia, dalam tulisannya "Vijftig jaar zwijgen" (Lima Puluh Tahun Bungkam) di buku Oorlogs documentatie '40 - '45.
Minggu, 8 Maret 1992, tepat di hari peringatan tahun ke- 50 penyerbuan pasukan Jepang ke wilayah Indonesia, aku meletakkan karangan bunga di Monumen Perang Adelaide, Australia. Aku merupakan satu dari ribuan warga negara Belanda yang diinternir di kamp tahanan Jepang selama PD II.
Kini setelah bungkam selama 50 tahun, barulah aku berani mengungkapkannya. Selama itu aku ingin berteriak tapi tak mampu. Sepanjang setengah abad hidupku didera mimpi buruk. Aku menderita penyakit yang tak kunjung sembuh. Malam-malam tak dapat tidur. Kenangan mengerikan itu terlalu dalam tertanam di lubuk jiwaku. Tapi aku tak pernah membicarakan kisah hitam hidupku. Bahkan dengan keluargaku sendiri pun aku tak bisa.
Kini aku akan mengisahkan cerita buruk ini. Karena aku telah memaafkan orang-orang Jepang atas perlakuannya terhadap diriku. Hanya dengan pengampunan, seseorang dapat disembuhkan. Sebagai tanda damai dan pengampunan aku mengundang wakil bangsa Jepang, menemaniku meletakkan bunga. Aku telah mengampuni tindakan jahat mereka, meski tidak akan pernah dapat melupakannya.
Bahagia 19 tahun
Lahir di Semarang, Jawa Tengah, pada tanggal 18 Januari 1923, aku tumbuh dan bekembang di daerah Cipiring, sebuah perkebunan tebu yang masih diperintah Hindia Belanda. Aku adalah anak ketiga di antara lima bersaudara. Di tengah limpahan kasih sayang orang tua, aku dididik dalam tradisi agama yang kuat. Dalam kesenanganku, setiap malam sebelum tidur aku selalu melihat ayah berdoa berlutut di dekat ranjangnya. Terbukti kemudian, cinta akan doa amat membantuku melalui tahun-tahun peperangan.
Ayah, Calestin, seorang pemain biola andal, sedangkan ibuku, Josephine, seorang pianis berbakat. Di usia 23 tahun, ibu berangkat ke Jawa dari Belanda sebagai mempelai baru. Nenek meninggal 4 bulan sebelum kelahiranku. Tapi aku mendapat warisan dari nenek. Nama Jeanne itu nama nenek, juga namaku.
Setiap liburan sekolah, aku selalu mengunjungi Kakek Henri (71) di rumah peristirahatan di lereng Gunung Ungaran, Jawa Tengah. Kami sekeluarga berlibur bersama sepupu kami dari Batavia. Semoga di surga ada sebuah sudut kecil seperti rumah Kakek Henri di Bandungan.
Aku termasuk generasi gadis polos. Bahkan setelah usia 19 tahun pun tak tahu apa-apa mengenai seks, kecuali merasa tak enak badan sekali sebulan - waktu haid. Setelah menamatkan sekolah menengah pertama aku memasuki sekolah guru suster Fransiskanes di Semarang.
Masuk kamp tahanan
Semula sampai tahun 1942, Hindia Belanda - kini Indonesia bakal terluput dari hiruk pikuknya PD II. Tiba-tiba terjadilah pengeboman Pearl Harbour tanggal 7 Desember 1941. Setelah Singapura jatuh pada Februari 1942, kami di Jawa tahu bahwa tinggal soal waktu kapan Jepang menyerang kami. Ayahku waktu itu berusia 48 tahun, dipanggil untuk memenuhi dinas militer. Ibu pun mengambil keputusan terbaik. Kami mengungsi ke tempat kakek.
Pada tanggal 1 Maret 1942 tentara Jepang menyerang Jawa. Meski sempat melawan, tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah. Jepang menduduki semua daerah Hindia Belanda.
Berbareng dengan masuknya Jepang, hidupku hancur berantakan. Tiga setengah tahun berikutnya, bersama ibu dan kedua adik perempuan, kujalani hidup bersama-sama ribuan wanita dan anak-anak Belanda di dalam kamp tahanan Jepang. Kami diinternir di kamp besar di Ambarawa.
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR