Aku tak akan pernah melupakan kecemasan itu. Rasanya derita itu tetap bersamaku seumur hidupku - hingga hari ini. Aku tahu hanya doa yang dapat menolong kami.
Yang jelas, hari demi hari semakin banyak anggota militer Jepang mendatangi rumah itu. Mereka berbicara berisik dan tertawa. Sepatu bot berderapan di lantai. Kami diperintahkan masuk ke kamar masing-masing. Tapi kami menolak. Kami berdekapan dan saling melindungi. Seluruh tubuhku telah habis dirajam ketakutan.
Juga setelah 50 tahun, aku masih menghayati perasaan kecemasan total yang mengaliri tubuhku. (Pada saat-saat yang aneh perasaan itu membanjiriku. Kerap bila aku sedang menonton TV, atau melihat film perang lama, aku menjadi terbangun dengan mimpi buruk. Masih terasakan juga bila terbaring di ranjang di malam hari. Tetapi yang terburuk, setiap kali kecemasan kembali menyergap bila suamiku tidur bersamaku. Aku tidak pernah dapat menikmati hubungan badan!)
Tibalah saat yang paling mengerikan. Satu per satu gadis-gadis itu diseret ke kamar tidur masing-masing. Sambil menangis dan meronta-ronta, mereka memohon, berteriak, menendang-nendang, dan melawan sekuat tenaga. Demikian hal itu berlangsung terus, hingga akhirnya mereka dengan paksaan dimasukkan ke dalam kamarnya.
Setelah beberapa saat bersembunyi di bawah meja kamar makan, aku sempat mendengar tangisan dari kamar-kamar tidur itu. Aku dapat merasakan jantungku berdegup kencang karena cemas. Salib kayu yang kuselipkan di sela ikat pinggang kugenggam erat-erat. Akhirnya, aku ditemukan dan diseret dari bawah meja.
Di hadapanku berdiri seorang Jepang besar gemuk dan botak. la memandangku sambil menyeringai. Aku menendang tulang betisnya. la tetap berdiri tertawa-tawa saja. Aku terus melawan, menendang, dan berteriak protes. Tetapi sia-sia belaka. Aku memekik "Niet doen, niet doen", kemudian dalam bahasa Melayu "Jangan, jangan". la menyeretku ke kamar. Setiba di kamar tidur, ia menutup pintu. Aku lari ke pojok kamar. Dalam bahasa campuran Inggris dengan Melayu aku mencoba menjelaskan, kalau aku berada di situ bukan atas kehendakku. Dia tidak berhak untuk melakukan hal itu terhadap diriku.
Aku jongkok di pojok seperti binatang buruan. "Oh, Tuhan, tolonglah aku," aku berdoa. "Tuhan, jangan biarkan ini terjadi pada diriku." Sementara itu si Jepang memandang rendah kepada diriku. Maklum, ia telah membayar mahal untuk malam perdana ini. Makanya ia jengkel dan marah bukan main. Seraya menghunus pedang dari sarung dan mengarahkannya kepadaku, ia mengancamku dan memekik dengan suara serak khas Jepang, "I kill, I kill."
Sekonyong-konyong muncul kekuatan luar biasa memenuhi diriku. Suatu kekuatan yang belum pernah kurasakan. Aku berkata kepada si Jepang, bunuh saja aku. Aku tak takut mati. Lagilagi ia mengarahkan pedangnya ke tubuhku. Aku memohon kepadanya membiarkan aku berdoa sebelum aku dibunuhnya.
Aku berlutut untuk berdoa dengan ujung pedang menempel di kulitku. Kukira pada saat itu aku lebih mencintai Tuhan daripada yang sudah-sudah. "Ya Tuhanku, aku mencintai-Mu. Tetaplah dekat denganku." Sementara itu, si Jepang habis kesabarannya. Ia membantingku di atas ranjang dan merenggut pakaianku. Aku telanjang terbaring di ranjang. Ujung pedangnya menelusuri seluruh tubuh, ke atas dan ke bawah. Turun naik terus-menerus. Aku dapat merasakan baja dingin itu di kulit, selagi pedang itu melalui tenggorokan, dada, perut, dan kaki.
Ia memperlakukanku seperti kucing mempermainkan tikus tak berdaya. Permainan itu berlangsung beberapa lama. Kemudian ia melepas pakaian. Aku menyadari bahwa ia tidak berniat membunuhku. Ia menindihku dan mulai menekanku dengan tubuhnya yang berat. Aku mencoba melawan. Kutendang, kucakar dia. Tapi ia terlalu kuat. Wajahku digenangi air mata, sementara ia memperkosa diriku.
Aku tak dapat menemukan kata-kata untuk melukiskan perkosaan yang kejam dan biadab ini. Seluruh tubuhku menggigil ketika akhirnya keluar dari kamar. Aku menyambar sisa-sisa pakaianku dan lari ke kamar mandi. Aku ingin mencuci segala kotoran, kejengahan, dan rasa sakit tubuhku.
Di kamar mandi aku berjumpa dengan beberapa gadis lain. Kami semua menangis. Tidak tahu apa yang harus kami lakukan. Kami membersihkan dan mencuci diri seolah-olah kami dapat membersihkan segala yang telah menimpa diri kami. Aku tidak berani kembali ke kamar makan atau kamar tidur. Aku memutuskan bersembunyi di kamar serambi belakang, sementara jantungku terus berdebar.
"Ya Tuhan, jangan sampai ada orang yang menemukanku," doaku. Seluruh tubuhku menggigil ketakutan. "Aku tak tahan menderitanya sekali lagi," pikirku.
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR