Bepergian jarang pakai rok, selalu celana panjang. Dan, seperti sebelumnya sudah saya ceritakan, saya sering pindah-pindah sekolah.
Tapi justru di sinilah Mas Herjuno memperlihatkan keterusterangannya. Ia meminta saya bersedia menjadi pacarnya.
Baca Juga : Hamengku Buwono X Memimpin dengan Hati Rakyat: Lebih Memilih Mukti ketimbang Mulya
Hubungan kami pun kian lekat. Interlokalnya dari Yogya acap berdering di rumah saya di Jakarta. Ia pun beberapa kali pergi ke Jakarta mengunjungi saya.
Tapi saya tak habis pikir, ia selalu datang bersama teman-temannya. Dulu ia bilang mengajak saya pacaran, tapi kemudian kok datang beramai-ramai.
Beberapa bulan kemudian, ia baru berani datang sendirian.
Dulu, Mas Herjuno pergi ke Jakarta sering kali naik bus atau kereta api. Ia, waktu itu, betul-betul putra daerah yang sangat tidak tahu peta Jakarta.
Baca Juga : Hamengku Buwono X Memimpin dengan Hati Rakyat: Ingin Berpihak pada Rakyat
Pernah, naik kereta api dari Yogya, tiba di Jakarta ia mestinya turun di Stasiun Gambir. Tapi karena tak paham, Mas Herjuno keterusan hingga kereta api berhenti di stasiun terakhir, Stasiun Kota.
Dari sana ia naik becak ke Kebayoran, rumah saya. Konyolnya lagi, tukang becak itu hanya tahu sedikit di mana Kebayoran, hingga ia tak bisa membayangkan jarak sekitar 20 kilometer antara Kota-Kebayoran.
Ngos-ngosan ia menggenjot becaknya sampai harus berhenti 4 kali untuk istirahat! Antara Iain di depan gedung Sarinah, Jalan Thamrin.
Mendengar itu saya terbahak-bahak. Setelah hubungan kami kian dekat, saya selalu menjemput setiap kali Mas Herjuno datang.
Baca Juga : Begini Cara Hamengku Buwono IX Dididik oleh Ayahnya
Karena sering ke Jakarta, ini antara lain yang membuat kuliah Mas Herjuno di Yogya berantakan.
Ia baru menggondol gelar sarjana hukum setelah anaknya 2, setelah nyaris menjadi mahasiswa abadi.
Dilarang terjun payung
Masa remaja saya lalui dengan kepuasan sebagaimana yang dihirup kaum muda kebanyakan. Suka, duka, konyol, semuanya menyatu dan sekarang membentuk kenangan indah.
Baca Juga : Kerabat Keraton Sepakat Patuhi Sabdatama yang Dikeluarkan Sultan Hamengku Buwono X
Sebuah peristiwa konyol semasa mahasiswa, sampai hari ini masih saya ingat, yakni ketika Ibu melarang saya ikut terjun payung, justru di hari saya dijadwalkan terjun untuk pertama kalinya.
Saya sangat kecewa karena sudah capai-capai ikut latihan dan sudah bermimpi memeluk langit.
Sebaliknya, Ibu kaget sekali karena baru tahu kalau saya selama itu sudah ikut latihan terjun. Memang, saya tak pernah memberitahu beliau.
Tapi saya berusaha memahami keberatan Ibu. Mungkin karena beliau sudah tua, dan saya anak perempuan satu-satunya, ini membuat Ibu terlalu cemas membayangkan saya ikut olahraga yang taruhannya nyawa itu. (Sukrisna, Winarno)
Source | : | Tabloid Nova |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR