Advertorial

GKR Hemas: Pernah Tidak Naik Kelas dan Kisah Pertemuan dengan Calon Sultan yang Sedang Beli Bakmi

K. Tatik Wardayati
,
Ade Sulaeman

Tim Redaksi

Nama GKR Hemas tiba-tiba muncul lagi setelah DPD memberitahukan pengunduran sementara dirinya. Bagaimana sosok GKR Hemas yang sebenarnya?
Nama GKR Hemas tiba-tiba muncul lagi setelah DPD memberitahukan pengunduran sementara dirinya. Bagaimana sosok GKR Hemas yang sebenarnya?

Intisari-Online.com – Namanya kembali mencuat di media ketika ia diberhentikan sementara dari Anggota DPD karena ketidakhadirannya dalam beberapa sidang.

Siapa sesungguhnya Ratu Keraton Yogyakarta ini? Tabloid NOVA edisi Mei 1993, dengan judul asli Gusti Kanjeng Ratu Hemas (1): Calon Raja Sedang Beli Bakmi, mengungkapkannya secara bersambung, sejak masa kecilnya hingga sekarang.

Inilah wawancara paling mendalam yang berhasil menggali secara utuh sosok luar-dalam wanita cantik tersebut, juga pemikiran-pemikirannya.

Masa remajanya ternyata luar biasa, urusannya mulai dari berkelahi hingga terjun payung.

Baca Juga : (Foto) 8 Potret Gaun Pernikahan Putri Kerajaan di Berbagai Belahan Dunia. Ada Putri Keraton Yogyakarta Juga Lho!

Dan ia pun membeberkan kepribadian suaminya, Sultan Hamengku Buwono X.

Saya berasal dari orangtua yang secara realistis sudah jauh dari sentuhan mental dan perilaku kehidupan Keraton.

Keluarga saya memang dari Yogyakarta, tinggal di lingkungan dekat Keraton. Tapi ya itu tadi, kami sudah jauh dari adat-istiadat Keraton.

Eyang Kakung (Kakek. Red) adalah abluli dalem (pelayan istana-Red) di Keraton Yogyakarta. Kalau diurut-urut, beliau mempunyai hubungan darah jauh dengan mendiang Hamengku Buwono III.

Baca Juga : Gusti Nurul Meninggal Dunia: Soekarno, Sultan Hamengkubuwono IX, hingga Sutan Sjahrir Berlomba Dapatkan Cintanya

Dan kami merasa tak ada gunanya mengelus-elus soal keturunan yang sangat samar-samar ini. Kami sama sekali tak merasa sebagai keturunan Keraton.

Itulah sebabnya kami, termasuk eyang-eyang dan orangtua saya, menjalani hidup seperti layaknya anggota masyarakat biasa.

Saya lahir di Jakarta, 31 Oktober 1952, dengan nama Rr. Tatik Deradjad Supriastuti. Saya tumbuh di kota itu pula.

Ayah saya tentara, R. Soepono Digdosastropranoto. Pangkat terakhirnya, kolonel. Beliau mantan Kepala Perindustrian Angkatan Darat. Sedangkan ibu saya, Rr. Susantilah.

Baca Juga : (Foto) 8 Potret Gaun Pernikahan Putri Kerajaan di Berbagai Belahan Dunia. Ada Putri Keraton Yogyakarta Juga Lho!

Kelaki-lakian

Saya anak ketiga dari tujuh bersaudara. Dan hanya saya sendiri yang perempuan. Mungkin karena itu, masa kecil dan remaja saya lagaknya kelaki-lakian.

Tomboy-lah. Permainan yang saya gemari waktu kecil tak jauh dari kesukaan bocah laki-laki: layangan, kelereng. atau mobil-mobilan.

Karena selama di Jakarta orangtua saya tinggal di kawasan Kebayoran Baru (Jalan Limau. Red) dan kemudian pindali ke kawasan Cipete, di dua daerah itu pulalah sebagian kepribadian saya terbentuk oleh lingkungan.

Bapak saya menjadi tentara sejak perang melawan Belanda. Dalam suasana itu, Bapak dan Ibu acap berpindah kota.

Baca Juga : Ketika Raffles Menjarah Keraton Yogyakarta

Maka kakak saya yang pertama lahir di Malang. Dan yang kedua lahir di Wates (daerah sebelah barat Yogyakarta, Red).

Ketika keadaan sudah mulai tenang, masa di sekitar kemerdekaan, Bapak pindah ke Jakarta. Di situlah saya lahir, pada Jumat Pon.

Mungkin Bapak dan Ibu senang, karena bayi yang ketiga ini perempuan. Weton (sistem hari penanggalan Jawa, Red) saya kebetulan sama dengan Bapak.

Karena itu, berdasarkan adat, saya untuk sejenak "dibuang". Ini adalah upacara yang cukup sederhana, di mana saya untuk sesaat tidak tinggal di rumah, tapi "dibuang" dan dipungut oleh orang lain.

Baca Juga : Permaisurinya Diberhentikan Sementara dari DPD RI karena 12 Kali 'Bolos' Sidang Paripurna, Ini Tanggapan Sri Sultan

Namun sebentar kemudian saya sudah dikembalikan lagi kepada orangtua. Pokoknya syarat sudah dilaksanakan, sesuai adat.

Bocah nakal

Sekolah Dasar saya di Tarakanita. Demikian pula SMP, di sekolah yang sama. Sekolah tersebut terkenal dengan disiplinnya yang tinggi.

SMA pun saya melanjutkan di sekolah tersebut, tapi hanya sampai kelas 1. Kemudian saya meneruskan ke sekolah lain.

Baca Juga : Melalui Ramalan Jayabaya, Sultan Hamengku Buwono IX Sudah Memprediksi Datangnya Kemerdekaan RI

Boleh saya kemukakan, masa itu saya tergolong anak yang tidak bisa diam. Mungkin tepat saya disebut bandel. Dalam arti, nakal, senang main.

Juga, tidak terlalu pintar di sekolah. Buktinya, SMA, saya tidak naik ke kelas 2. Itu sebabnya saya pindah dari Tarakanita.

Dan, betapa badungnya saya, dalam setahun, saya pindah sekolah tiga kali. Pernah di SMA 11, SMA 6, dan SMA 24.

Oh, akhirnya saya bisa juga lulus dari SMA. Kemudian saya melanjutkan ke Universitas Trisakti, jurusan Arsitektur Pertamanan. Kalau tidak salah tahun 1971, atau 1972.

Baca Juga : ‘Gagalnya’ Sri Sultan Hamengku Buwono IX Jadi Sultan Yogyakarta Pertama yang Pergi Naik Haji

Sultan datang sendiri

Pada saat saya kuliah itu datang lamaran dari Bendoro Raden Mas Herjuno Darpito. Waktu itu ia adalah seorang pangeran dari Keraton Yogyakarta, putra tertua Sultan Hamengku Buwono IX.

Tapi, wah, saya masih ingin sekolah. Untunglah, di Keraton Yogyakarta tidak bisa sembarang saat melangsungkan pernikahan.

Biasanya harus ada sejumlah pasangan dulu, putera-puteri Sultan, yang kemudian dinikahkan bersama-sama.

Baca Juga : Lewat Ramalan Jayabaya, Sultan Hamengku Buwono IX Sudah Memprediksi Datangnya Kemerdekaan RI

Jumlah pasangan harus genap, dua pasang atau empat pasang, dan seterusnya. Tapi tidak boleh ganjil.

Dan pernikahan itu pun tergantung dari perkenan Ngerso Dalem (sebutan hormat untuk sultan atau raja yang waktu itu adalah Sultan Hamengku Buwono IX, Red) kapan pelaksanaannya.

Yang datang melamarkan adalah Sultan Hamengku Buwono IX sendiri. Kami, saat itu sudah pindah rumah dari Kebayoran ke kawasan Cipete, betul-betul terperanjat.

Ini aneh, di luar tradisi. Biasanya yang datang melamarkan adalah utusan Keraton. Bukan rajanya sendiri yang langsung turun tangan.

Baca Juga : Bukan ‘Kesaktiannya’, Pasukan Tank Belanda Takut pada Sri Sultan Hamengkubuwono IX karena Pendidikannya

Kemudian saya timbang-timbang. Sultan Hamengku Buwono IX datang sendiri dengan alasan praktis saja.

Yakni, karena saya hidup di Jakarta, dan pada saat itu beliau juga menetap di Jakarta sebagai pejabat tinggi negara.

Beliau datang tanpa pengawal, tanpa ribut-ribut yang menarik perhatian tetangga.

Setelah itu, beberapa waktu kemudian, datang rombongan yang lebih besar, yakni saudara-saudara Mas Herjuno.

Baca Juga : Gusti Nurul Meninggal Dunia: Soekarno, Sultan Hamengkubuwono IX, hingga Sutan Sjahrir Berlomba Dapatkan Cintanya

Mereka datang sebagai utusan, membawa benda-benda simbol yang diperlukan untuk upacara lamaran dari Keraton Yogyakarta.

Sang pembeli bakmi

Tentang pacaran? Terus terang kami secara intensif tidak melewati masa tersebut. Kami berkenalan tepat di belakang tembok Keraton Kilen (bangunan besar yang terletak di komplek Keraton bagian barat. Red).

Di belakang tembok itu ada kampung namanya Suronatan, tempat Eyang saya tinggal. Saya dan keluarga setidaknya setahun sekali datang ke Yogya untuk berlibur atau nyekar (berziarah, Red) ke makam leluhur atau melakukan keperluan lain.

Baca Juga : Meski Jadi Putri Raja Keraton Yogykarta, GKR Hayu Enggan Dipanggil Gusti dan Lebih Nyaman Dipanggil 'Mbak'

Kami menginap di rumah Eyang. Untuk mencapai rumahnya harus melewati gang.

Pada suatu hari, semasa masih SMA, saya datang ke Yogya. Dan pada suatu siang, saya menapaki gang tersebut, dalam rencana hendak jalan-jalan ke Malioboro (pusat pertokoan yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari Alun-alun Utara Keraton, Red).

Maklum, sebagai anak Jakarta, saya menganggap Malioboro sepertinya sebuah kawasan yang tak boleh dilewatkan untuk dilancongi setiap kali datang ke Yogya.

Di gang tersebut ada orang jual bakmi. Dan siang itu ada seorang pembeli. Dialah, sang pembeli itu, Mas Herjuno, yang kelak menjadi suami saya dan menjadi Sultan Hamengku Buwono X. Ia melihat saya. Ah, lebih tepatnya, pandangan kami bertaut. Perkenalan pun terjadi.

Baca Juga : Tiga Agama Menyatu di Keraton Kasepuhan Cirebon

Kemudian, kami sekali lagi bertemu, tanpa sengaja, di Malioboro. Sesudah itu tak ada pertemuan berikutnya.

Saya pulang ke Jakarta dan kembali asyik menggeluti kehidupan remaja yang menyenangkan. Kehidupan remaja Jakarta waktu itu yang penuh pesta, di mana mode up-to-date adalah rok mini.

Dalam pikiran saya tak ada bayangan macam-macam mengenai kelanjutan pertemuan saya dengan Mas Herjuno.

Apalagi bermimpi kelak saya akan dipersuntingnya. Dan lebih jauh lagi berkhayal Mas Herjuno mungkin akan jadi sultan menggantikan ayahandanya, dan otomatis saya jadi ratu.

Baca Juga : Hamengku Buwono X Memimpin dengan Hati Rakyat: Tak Ragu-Ragu Menyeret Pejabatnya ke Pengadilan

Wah, tak ada pikiran seperti itu. Pokoknya, pertemuan kami tadi saya anggap kenalan biasa.

Marilah kita pacaran

Kurang-lebih setahun kemudian, saya datang lagi ke Yogya. Kali ini dengan penuh duka, karena Eyang meninggal dunia. Pada kejadian itulah, saya untuk ketiga kalinya bertemu Mas Herjuno.

Ia datang melayat. Tapi tidak cuma itu. Ia juga meminjami berbagai keperluan, seperti karpet dan kendaraan.

Baca Juga : Nasihat Sri Sultan Hamengku Buwana IX kepada Adam Malik

Ia pun bekerja keras, mengatur ini-itu dalam perkabungan tersebut. Di kemudian hari saya menebak, inilah langkah awal Mas Herjuno mengambil hati saya.

Ketika itu saya duduk di kelas 2 SMA. Inilah salah satu masa puncak kebadungan saya.

Bepergian jarang pakai rok, selalu celana panjang. Dan, seperti sebelumnya sudah saya ceritakan, saya sering pindah-pindah sekolah.

Tapi justru di sinilah Mas Herjuno memperlihatkan keterusterangannya. Ia meminta saya bersedia menjadi pacarnya.

Baca Juga : Hamengku Buwono X Memimpin dengan Hati Rakyat: Lebih Memilih Mukti ketimbang Mulya

Hubungan kami pun kian lekat. Interlokalnya dari Yogya acap berdering di rumah saya di Jakarta. Ia pun beberapa kali pergi ke Jakarta mengunjungi saya.

Tapi saya tak habis pikir, ia selalu datang bersama teman-temannya. Dulu ia bilang mengajak saya pacaran, tapi kemudian kok datang beramai-ramai.

Beberapa bulan kemudian, ia baru berani datang sendirian.

Dulu, Mas Herjuno pergi ke Jakarta sering kali naik bus atau kereta api. Ia, waktu itu, betul-betul putra daerah yang sangat tidak tahu peta Jakarta.

Baca Juga : Hamengku Buwono X Memimpin dengan Hati Rakyat: Ingin Berpihak pada Rakyat

Pernah, naik kereta api dari Yogya, tiba di Jakarta ia mestinya turun di Stasiun Gambir. Tapi karena tak paham, Mas Herjuno keterusan hingga kereta api berhenti di stasiun terakhir, Stasiun Kota.

Dari sana ia naik becak ke Kebayoran, rumah saya. Konyolnya lagi, tukang becak itu hanya tahu sedikit di mana Kebayoran, hingga ia tak bisa membayangkan jarak sekitar 20 kilometer antara Kota-Kebayoran.

Ngos-ngosan ia menggenjot becaknya sampai harus berhenti 4 kali untuk istirahat! Antara Iain di depan gedung Sarinah, Jalan Thamrin.

Mendengar itu saya terbahak-bahak. Setelah hubungan kami kian dekat, saya selalu menjemput setiap kali Mas Herjuno datang.

Baca Juga : Begini Cara Hamengku Buwono IX Dididik oleh Ayahnya

Karena sering ke Jakarta, ini antara lain yang membuat kuliah Mas Herjuno di Yogya berantakan.

Ia baru menggondol gelar sarjana hukum setelah anaknya 2, setelah nyaris menjadi mahasiswa abadi.

Dilarang terjun payung

Masa remaja saya lalui dengan kepuasan sebagaimana yang dihirup kaum muda kebanyakan. Suka, duka, konyol, semuanya menyatu dan sekarang membentuk kenangan indah.

Baca Juga : Kerabat Keraton Sepakat Patuhi Sabdatama yang Dikeluarkan Sultan Hamengku Buwono X

Sebuah peristiwa konyol semasa mahasiswa, sampai hari ini masih saya ingat, yakni ketika Ibu melarang saya ikut terjun payung, justru di hari saya dijadwalkan terjun untuk pertama kalinya.

Saya sangat kecewa karena sudah capai-capai ikut latihan dan sudah bermimpi memeluk langit.

Sebaliknya, Ibu kaget sekali karena baru tahu kalau saya selama itu sudah ikut latihan terjun. Memang, saya tak pernah memberitahu beliau.

Tapi saya berusaha memahami keberatan Ibu. Mungkin karena beliau sudah tua, dan saya anak perempuan satu-satunya, ini membuat Ibu terlalu cemas membayangkan saya ikut olahraga yang taruhannya nyawa itu. (Sukrisna, Winarno)

Baca Juga : Yogyakarta Ulang Tahun ke-262: Selain Candi Borobudur, Ini 5 Tempat Wisata yang Bisa Anda Kunjungi di Yogyakarta

Artikel Terkait