Kemudian, kami sekali lagi bertemu, tanpa sengaja, di Malioboro. Sesudah itu tak ada pertemuan berikutnya.
Saya pulang ke Jakarta dan kembali asyik menggeluti kehidupan remaja yang menyenangkan. Kehidupan remaja Jakarta waktu itu yang penuh pesta, di mana mode up-to-date adalah rok mini.
Dalam pikiran saya tak ada bayangan macam-macam mengenai kelanjutan pertemuan saya dengan Mas Herjuno.
Apalagi bermimpi kelak saya akan dipersuntingnya. Dan lebih jauh lagi berkhayal Mas Herjuno mungkin akan jadi sultan menggantikan ayahandanya, dan otomatis saya jadi ratu.
Baca Juga : Hamengku Buwono X Memimpin dengan Hati Rakyat: Tak Ragu-Ragu Menyeret Pejabatnya ke Pengadilan
Wah, tak ada pikiran seperti itu. Pokoknya, pertemuan kami tadi saya anggap kenalan biasa.
Marilah kita pacaran
Kurang-lebih setahun kemudian, saya datang lagi ke Yogya. Kali ini dengan penuh duka, karena Eyang meninggal dunia. Pada kejadian itulah, saya untuk ketiga kalinya bertemu Mas Herjuno.
Ia datang melayat. Tapi tidak cuma itu. Ia juga meminjami berbagai keperluan, seperti karpet dan kendaraan.
Baca Juga : Nasihat Sri Sultan Hamengku Buwana IX kepada Adam Malik
Ia pun bekerja keras, mengatur ini-itu dalam perkabungan tersebut. Di kemudian hari saya menebak, inilah langkah awal Mas Herjuno mengambil hati saya.
Ketika itu saya duduk di kelas 2 SMA. Inilah salah satu masa puncak kebadungan saya.
Source | : | Tabloid Nova |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR