"Persoalannya, belum apa-apa kita sudah mengkelaskan pangleyakan dengan istilah-istilah yang menakutkan," kata Ngurah Harta yang nampaknya yakin bahwa ilmu pangleyakan bisa diajarkan seperti ilmu-ilmu lain.
"Lebih dari itu, pangleyakan itu bisa baik kalau digunakan secara baik, dan bisa menjadi buruk kalau digunakan secara buruk," katanya. Ngurah juga mengungkapkan, mengembangkan metode pangleyakan adalah salah satu cara menjaga warisan budaya.
"Sebenarnya, kalau diusahakan untuk menggali metode-metode pangleyakan, saya yakin kita bisa menemukan pendekatan yang dapat diterima akal," kata Ngurah Harta yang lebih jauh mengatakan leak juga sebuah budaya yang harus dilestarikan. "Saya yakin leak juga bisa ilmiah."
Agung Rani (22) mengaku mendapatkan rajah ilmu penengen dari keluarganya. Sejak itu dia mengaku lebih "peka" dan dapat menangkap kehadiran orang yang memiliki ilmu pangleyakan di sekitarnya. Menurut Agung, kepekaan semacam itu juga dimiliki oleh orang-orang yang memiliki rerajahan ilmu pengiwa.
Korban dan cara melawan
Bagaimana rasanya menjadi korban leak? Anti, bukan nama sebenarnya, bercerita pernah melihat sebentuk kain putih mirip dengan yang biasa dipegang oleh rangda dalam pertunjukan Calonarang.
Kain tersebut terbang mengelilingi rumahnya di Denpasar. Sesudah itu beberapa kali dia merasa, antara mimpi dan tidak, masuk ke hutan yang terbakar. Menurut keluarganya, saat mengalami hal itu dia seperti kerasukan setan, menjerit dan meronta-ronta.
Korban lain, Risa namanya, juga sempat menjerit dan meronta, tetapi dalam keadaan sadar. "Leher saya ke atas, sepenuhnya sadar, namun saya tidak bisa menguasai anggota tubuh saya sendiri," cerita Risa. la merasa seolah-olah kepalanya menempel pada badan orang lain, karena dia tidak tahu ke mana tangan dan kakinya akan bergerak.
Menurut penjelasan yang ada, cara "memindahkan kesadaran" korban atau korban histeris seperti ini (dalam bahasa Bali sering disebut bebainan) adalah dengan mengirim mantera pangleyakan melalui makanan. "Umpan" semacam ini disebut cutik.
Namun cutik ini tidak selalu sukses. Ida Ayu Eutri, mahasiswi dan putri seorang brahmana dari Klungkung, menceritakan suatu saat pernah bertamu ke rumah tetangganya, dan disuguhi teh.
Persis ketika akan meminumnya, gelasnya pecah berkeping-keping. "Dia akan mengguna-gunai saya," kata Ayu.
Menurut Wayan Karji, hal itu bisa terjadi karena si calon korban punya ilmu lebih tinggi. Sebagai anggota kasta brahmana, Ayu memang sejak kecil sudah dibekali ilmu. "Saya sendiri tidak tahu kalau itu ada dalam tubuh saya," katanya.
Leak memang bisa dilawan oleh manusia awam. Menurut Ngurah Harta, yang penting adalah keyakinan pada diri sendiri. "Dengan kepercayaan diri yang tinggi, kita otomatis memanggil kekuatan kanda pat, untuk mengalahkan unsur pengganggu kehidupan kita," katanya.
Kanda pat adalah istilah Bali untuk empat unsur yang lahir bersama manusia, yakni ari-ari, darah, lendir, dan air.
Menurut kepercayaan Bali, semua unsur itu mendampingi manusia setelah kelahiran dalam bentuk makhluk niskala (tidak kelihatan) yang dapat membantu manusia.
Cara paling mudah untuk melawan adalah tidak takut, dengan keyakinan bila Anda berani, leak malah takut. "Waktu zaman perang kemerdekaan dulu, banyak yang punya ilmu leak takut pada peluru," ujar Ngurah Harta yang juga menganggap, kalau si korban berani dan menguatkan kemauannya, leak kehilangan keampuhannya.
Hal ini juga terbukti dari cerita Ayu yang melihat mobil jejadian itu. Seusai melemparkan batu pada mobil jejadian yang diceritakan di awal tulisan ini, ayahnya segera mengambil dongkrak mobil, lalu memukuli mobil kembar kedaden itu.
Mobil palsu itu menjerit-jerit minta ampun. "Perlahan-lahan dari badan mobil itu keluar rambut-rambut halus, lalu makin panjang," kata Ayu menceritakan transformasi mobil menjadi manusia kembali.
"Perlahan tapi pasti mobil itu menjadi manusia lagi. Ternyata dia tetangga kami, masih keluarga juga. Sejak itu saya tidak berani lagi datang sendirian atau pulang malam-malam dari rumah nenek."
(Ditulis oleh Benito Lopulalan, tinggal di Bali. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi April 1996)
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR