Advertorial
Intisari-Online.com – Di perkotaan, tapi terutama di pedesaan di Bali, fenomena aneh tak masuk akal yang dikenal sebagai leak itu sangat populer sekaligus ditakuti. Praktik leak sebagai ilmu sekaligus hantu konon hingga kini masih dijumpai di sana-sini di pulau wisata itu.
Percaya atau tidak, ini kisah nyata dari pengalaman seseorang.
"Saat itu saya dan ayah baru keluar dari pertemuan keluarga di rumah nenek," kata Ida Ayu Putri (22).
"Di halaman rumah itu, mobil kami berjajar dengan mobil lain yang mirip!"
Ayu, ayahnya, dan sopir keluarga mereka lalu memeriksa yang mana mobil mereka. "Kami terkejut setengah mati ... jenis mobil, warna, cacat yang ada, bahkan nomor polisinya sama. Nggak cuma mirip!" cerita Ayu. Mereka pun kebingungan.
Namun ayahnya panjang akal. Diambilnya "batu, lalu dilempar ke salah satu mobil. Kleng ...! Suara logam beradu dengan batu terdengar keras. Dicomotnya lagi batu, dilemparkan lebih keras lagi ke mobil satunya.
Tak ada bunyi logam tapi suara mengaduh! "Saya takut setengah mati, sampai tak bisa ngomong," tutur Ayu. "Mobil yang mengaduh itu rupanya leak ...I"
Peristiwa semacam itu tidak hanya dialami Ayu. "Saya pernah melihat sepeda motor keluar dari rerimbunan pohon, tapi tak ada penunggangnya!" aku Ngurah Alit (nama samaran).
Ngurah yang polisi itu yakin yang dilihatnya jelmaan orang. Ada lagi yang bercerita pernah menyaksikan sejumlah nyala api lilin berputar-putar di kamar tidurnya pada malam hari. Daftar kisah aneh macam ini masih bisa dipanjangkan lagi.
Kemampuan bersalin rupa
"Ilmu leak atau pangleyakanyang sangat populer sekaligus ditakuti orang terutama di masyarakat pedesaan itu sebenarnya ilmu mengubah bentuk tubuh," kata Ngurah Harta, guru silat pada Perguruan Sandhi Murthi.
Orang yang menguasai ilmu leak bisa berubah wujud menjadi sosok apa pun. Zaman dulu perubahan itu terbatas pada sosok binatang. Tapi sekarang juga kendaraan bermotor macam truk, sedan, sepeda motor, atau sepeda.
"Bahkan, mungkin sudah ada yang bisa mengubah diri jadi pesawat terbang," tuturnya.
Miguel Covarrubias seorang budayawan dan pengelana Meksiko awal abad ini - pernah mengungkapkan dalam bukunya Island of Bali, manifestasi leak adalah manusia dalam perwujudan seksual yang kasar, muncul telanjang bulat dan memiliki organ seksual besar. Leak pun sering terbang keliling rumah dalam bentuk seram dan berwarna hitam.
Gambaran Covarrubias ini terlalu berkonsep Barat. Sebab, tidak semua leak berwujud seram, tua, dan perempuan, seperti gambaran umum bagi tukang (nenek) sihir di Barat. Leak pudak setegal, misalnya, adalah perwujudan leak yang cantik dan menggairahkan.
Warna kegemaran leak juga bukan hitam. Menurut seorang balian (dukun) yang tidak mau disebutkan namanya tapi mengaku pernah belajar ilmu ini, banyak leak memilih warna putih.
Covarrubias dalam bukunya sempat bercerita. Pada suatu malam, tiga orang lelaki membawa pulang seekor ayam yang sepertinya tersesat di jalan. Setelah dipotong, dibersihkan, dan dibumbui, ayam itu disimpan untuk dimasak besok.
Namun esok paginya mereka menemukan mayat lelaki tak dikenal persis di tempat ayam itu ditemukan. Seluruh isi perutnya hilang, namun di dalamnya penuh dengan bumbu.
Cerita lain, suatu ketika ada seekor macan kesasar masuk ke Baturiti, sebuah desa di pegunungan. Binatang buas itu akhirnya tewas dibunuh ramai-ramai oleh penduduk.
Ketika penduduk mulai menguliti, mereka menemukan di antara kulit dan dagingnya, sebuah dompet dari daun kelapa berisi tembakau dan uang.
Jangan cerita kanan-kiri
Barbara Lovric, peneliti Australia yang meneliti leak, mengutarakan ilmu sihir Bali dibedakan tingkatan dan jenisnya menurut kekuatan dan pengetahuan pemilik ilmu tersebut. Ada dua jalur ilmu di Bali, pengiwa (jalur kiri, black magic) dan penengen (jalur kanan, white magic).
Wayan Karji dalam tulisannya soal konsep kiwatengen dalam budaya Bali menyatakan, pengiwa berasal dari kata kiwa (kiri) yang mengandung arti buruk, kasar. Sedangkan penengen (tengen = kanan) berarti kebaikan, halus, dan semacamnya.
Konsep ini mengacu pada prinsip bipolar (dua kutub) yang disebut rwa-bhineda: setiap hal memiliki sisi baik-buruk, positif-negatif, laki-perempuan, atas-bawah, dsb. Gambaran visual tentang ajaran ini nampak pada kain poleng yang sering tersampir pada patung-patung di Bali.
Ilmu pangleyakan, menurut Karji, salah satu dari 5 cabang ilmu pengiwa, yakni pangasren, pangeger, pangasih-asih, panangkeb. Mereka yang menguasai ilmu pangasren, misalnya, akan tampak lebih cantik atau tampan.
Dalam Iontar yang dikutipnya, Wayan Karji bilang ilmu-ilmu pengiwa ini harus selalu dirahasiakan. Bila mampu merahasiakan, dalam seratus kelahiran (reinkarnasi) yang bersangkutan akan selalu menemui kebebasan tertinggi.
Namun bila dibicarakan ke kanan-kiri, dalam seribu kelahiran akan menemui kehinaan, dan disoroti masyarakat serta terbenam di neraka Tambra Gohmuka. Barbara Lovric menyebut kehadiran "jalur kiri" atau "jalur nafsu" untuk mencapai kesempurnaan ini adalah bagian dari tradisi Tantrisme yang juga pernah, bahkan mungkin masih, hidup di Jawa.
Kedua jalur kiwa-tengen ini sepertinya tidak berhubungan. Tetapi sudah menjadi rahasia umum di Bali, banyak dukun yang belajar ilmu pengiwa lebih dulu, sebelum belajar penengen.
Sayangnya, dukun – dukun yang ditemui tidak mengakui hal ini. Barangkali selain karena "undang-undang" untuk merahasiakan leak tadi, mereka takut bakal "dicoba keampuhannya" oleh para praktisi dunia pangleyakan.
Kalau yang menjajal ilmu mereka lebih lemah, tidak apa-apa, mereka bisa menang. Kalau si pencoba lebih hebat, bisa berabe.
Belajar jalur kiri sebelum mempelajari jalur kanan, bukannya dilakukan tanpa dasar. Ngurah Harta - satu-satunya orang yang secara terbuka mengaku pernah mempelajari ilmu pangleyakan - bilang, "Untuk pengobatan penderita sakit akibat ilmu pengiwa, kadang-kadang diperlukan ilmu pengiwa juga."
Selain itu, menurut Karji, pada tingkat tertentu, pengiwa .ini menjadi bagian dari ilmu penengen juga.
Beberapa tempat di Bali seperti Sanur, Suwung, Sabha (Gianyar), Nusa Penida, atau Bangli, disebut sebagai tempat yang kekuatan leaknya ampuh, tapi sejauh ini tidak didapatkan keterangan tentang komunitas leak.
Menurut hasil penelitian Barbara Lovric, kekuatan leak tidak terletak pada persatuan di antara mereka, melainkan bersifat individual. Kadang-kadang memang ada leak yang berkumpul, tapi itu dilakukan untuk menguji kesaktian masing-masing.
Pertempuran antarleak, bisa jadi juga karena yang satu ingin mencelakakan, dan yang lain bertindak sebagai balian yang membela kliennya.
Tampaknya, ada rasa saling segan di antara para pendukung ilmu ini. Orang Bali daratan, misalnya, menganggap leak dari. Nusa Penida, pulau di selatan Bali, amat ampuh. Orang Nusa Penida sendiri menganggap orang daratan, terutama yang berasal dari Bangli, ilmu leaknya lebih maut.
Sempat ditonton turis
Pertempuran antarleak ternyata juga bisa disaksikan oleh manusia. Made Artadi (33), misalnya, mengaku pernah melihat dua bola api berwarna merah dan kuning, terbang dan saling berbenturan di udara, di pantai Padang Galak, Sanur, sekitar tahun 1987.
Leak berwujud dua bola api yang berkejaran di atas pepohonan, disaksikan oleh Komang Jepri (29) dan Ketut Prasetya di wilayah Karangasem sekitar tahun 1990.
Salah satu kisah pertempuran yang acap disebut-sebut oleh para penggosip leak di Bali, adalah pertempuran legendaris antara seorang ratu leak dari Sanur dan peleak sakti dari Kramas, Gianyar. Perang leak yang terjadi sekitar 1988 itu dimenangkan leak dari Kramas.
Walaupun - sayangnya - tidak ada yang sempat melihat sendiri, para pencerita mengungkapkan bahwa sejak kekalahan itu, kesaktian leak di Sanur yang pernah disegani melemah.
Luh Ketut Ariani, seorang penjaga sebuah homestay di Ubud, dengan antusias menceritakan sebuah "perang leak" pada 12 Maret 1995 di sore hari. Gadis ini menyatakan, ada empat leak yang bertarung. Semuanya berbentuk bola api yang saling berbenturan dan menimbulkan bunyi ledakan, mirip perang antarpiring terbang dalam film.
Hebatnya, perang yang terjadi di Penestanan, di Ubud, 25 km sebelah utara Denpasar, itu berlangsung tiga jam sebelum matahari terbenam, dan beberapa turis sempat menonton!
Sabuk monyet Rp 40.000,-
"Penestanan itu berasal dari Penestyan, salah satu tingkatan atau jenis ilmu pangleyakan," kata Ngurah Harta merujuk nama desa yang diceritakan di atas. Tak ubahnya sekolah formal, leak juga terdiri atas berbagai tingkatan. Yang dibedakan atas kemampuannya bersalin rupa dan menyebarkan bencana penyakit atau guna-guna.
Pada tingkat rendah, hanya bisa berubah menjadi satwa, dan biasanya berwarna putih. Binatang hasil perubahan ini disebut kadaden (jejadian). Tingkat itu disebut pamuronan (dari kata buron yang berarti hewan).
Selain mampu mengubah diri menjadi binatang, juga dapat mengirim guna-guna yang . mengakibatkan sakit pada orang-orang dekat, seperti keluarga atau tetangganya.
Pada leak tingkat rendah, untuk ngeleyak dibutuhkan sabuk pangleyakan berupa ikat pinggang dari kain putih atau kain poleng hitam-putih, diberi gambar rerajahan dan dimanterai. Lalu bagian dalam sabuk itu biasanya juga diberi potongan logam tipis, sepanjang satu ruas jari anak-anak.
Biasanya berupa emas, perak, atau tembaga, yang digurati huruf-huruf "sakti". Ada sejumlah dukun yang menjual sabuk semacam itu. Untuk bisa jadi monyet, misalnya, harga sabuknya sekitar Rp 40.000,-.
Tingkatan penestyan atau pendestyan lebih sakti lagi, dapat membuat orang sakit atau mati dari jarak jauh. Caranya, yang disebut ndesti atau nesti, adalah dengan menusuk atau membakar "gambar" calon korban yang dibuat di atas kertas atau kain.
Leak tingkat tinggi dapat mengubah diri menjadi garuda atau rangda. Namun selain itu konon juga dapat menghilang. Mereka dapat meninggalkan badannya dan melayang hanya dengan, kepala dan isi perutnya.
Sekitar 5 tahun lalu di Kediri, Tabanan, sepasang suami-istri bercerai gara-gara sang istri dituduh ngeleyak. Ketika terbangun di malam hari, sang suami melihat badan istrinya ada dalam rumah, tanpa kepala.
Agaknya, malam itu kepala dan "jeroan" sang istri sedang berjalan-jalan menghirup angin malam. Si suami jelas menjadi ketakutan dan besoknya segera minta cerai.
Naik tingkat butuh korban
Untuk mencapai kemampuan yang semakin tinggi atau naik tingkat, leak bisa menempuh cara yang disebut ngisep sari. Pada tingkat leak yang rendah, seperti pamuronan, memelihara ilmu dan naik tingkat membutuhkan korban.
Menurut Karji, korban hanya dibutuhkan sampai tingkat Calonarang. Sesudah itu tidak dibutuhkan korban lagi. Tingkatan leak sesudah Calonarang adalah Mpu Bharadah, Surya Gading, Brahma Kaya, I Wangkas Gading Api, I Ratna Pajajaran, Garuda Mas, I Siwer, I Baligodawa. Sedangkan yang tertinggi tingkatannya adalah leak Surya Mas.
Semua leak menyembah kepada perwujudan Batari Durga. Orang yang menerapkan ilmu pangleyakan memang harus berhubungan dengannya. Barang siapa yang mau belajar pengiwa harus minta izin dulu, serta meminta pertolongan (nunas ica) dari batari tersebut.
Menurut Wolfgang Week, yang juga pernah meneliti leak, inti ajaran jalur kiri ada pada lontar "Durga Purana Tatwa".
Untuk menerapkan ajaran ini, pertama-tama orang harus menyerahkan diri kepada Batari Durga, sang penguasa dunia gelap. Pada malam hari, ia harus pergi ke kuburan dan mendirikan sanggah cucuk, tempat persembahan yang terbuat dari bambu dan ditancapkan di tanah.
Sesudah itu, dimulailah sebuah "upacara". Yang mau jadi leak berdiri di atas kaki kiri sambil membengkokkan kaki kanan sekitar 90°. Sesudah itu menari berkeliling sanggah cucuk sambil mengulangi terus posisi tersebut. Putaran semacam itu diulangi beberapa kali, menurut petunjuk gurunya.
Waktu dan jadwal menari untuk para calon leak ini berlainan,untuk setiap orang, tergantung pada otonan (hari pasaran kelahirannya). Proses ini juga dilakukan setiap kali akan berubah bentuk, namun tidak harus di kuburan.
Bisa di sawah atau di tepi kali, di tempat-tempat yang tenget atau angker (mengandung kekuatan supranatural yang negatif). Menurut Ngurah Harta, leak tingkat tinggi biasanya tidak harus mendirikan sanggah cucuk lagi, cukup dengan banten (persembahan atau sesajen) dan dupa.
Bisa diilmiahkan
Ada dua macam sarana berupa benda yang digunakan di luar dan di dalam rumah untuk menularkan ilmu pangleyakan kepada sisia. Sisia bukan sekadar murid yang belajar, namun juga menyerahkan jiwa dan raganya kepada guru. Sarana itu dapat berupa permata, mirah, emas, perak, tembaga, kertas (atau kain) bergambar tertentu (mererajahan).
Apabila digunakan di luar, sarana ini perlu dibungkus dengan kain merajah hitam. Sebelumnya, lidah orang itu dirajah (ditato) dengan aksara sungsang, yang mencerminkan kekuatan negatif.
Tato ini dapat juga ditorehkan pada kuku, gigi atau lainnya, dan menggunakan peralatan seperti keris, permata, atau benda lain, tergantung pada balian atau guru yang bersangkutan.
Sekalipun masih bisa dimungkinkan untuk menularkan ilmu ini kepada orang lain secara rahasia, ternyata ada juga yang tidak setuju dengan cara-cara rahasia ini, karena dianggap sebuah rekayasa agar ilmu yang bersangkutan tetap terpelihara di dalam komunitas kecil.
"Persoalannya, belum apa-apa kita sudah mengkelaskan pangleyakan dengan istilah-istilah yang menakutkan," kata Ngurah Harta yang nampaknya yakin bahwa ilmu pangleyakan bisa diajarkan seperti ilmu-ilmu lain.
"Lebih dari itu, pangleyakan itu bisa baik kalau digunakan secara baik, dan bisa menjadi buruk kalau digunakan secara buruk," katanya. Ngurah juga mengungkapkan, mengembangkan metode pangleyakan adalah salah satu cara menjaga warisan budaya.
"Sebenarnya, kalau diusahakan untuk menggali metode-metode pangleyakan, saya yakin kita bisa menemukan pendekatan yang dapat diterima akal," kata Ngurah Harta yang lebih jauh mengatakan leak juga sebuah budaya yang harus dilestarikan. "Saya yakin leak juga bisa ilmiah."
Agung Rani (22) mengaku mendapatkan rajah ilmu penengen dari keluarganya. Sejak itu dia mengaku lebih "peka" dan dapat menangkap kehadiran orang yang memiliki ilmu pangleyakan di sekitarnya. Menurut Agung, kepekaan semacam itu juga dimiliki oleh orang-orang yang memiliki rerajahan ilmu pengiwa.
Korban dan cara melawan
Bagaimana rasanya menjadi korban leak? Anti, bukan nama sebenarnya, bercerita pernah melihat sebentuk kain putih mirip dengan yang biasa dipegang oleh rangda dalam pertunjukan Calonarang.
Kain tersebut terbang mengelilingi rumahnya di Denpasar. Sesudah itu beberapa kali dia merasa, antara mimpi dan tidak, masuk ke hutan yang terbakar. Menurut keluarganya, saat mengalami hal itu dia seperti kerasukan setan, menjerit dan meronta-ronta.
Korban lain, Risa namanya, juga sempat menjerit dan meronta, tetapi dalam keadaan sadar. "Leher saya ke atas, sepenuhnya sadar, namun saya tidak bisa menguasai anggota tubuh saya sendiri," cerita Risa. la merasa seolah-olah kepalanya menempel pada badan orang lain, karena dia tidak tahu ke mana tangan dan kakinya akan bergerak.
Menurut penjelasan yang ada, cara "memindahkan kesadaran" korban atau korban histeris seperti ini (dalam bahasa Bali sering disebut bebainan) adalah dengan mengirim mantera pangleyakan melalui makanan. "Umpan" semacam ini disebut cutik.
Namun cutik ini tidak selalu sukses. Ida Ayu Eutri, mahasiswi dan putri seorang brahmana dari Klungkung, menceritakan suatu saat pernah bertamu ke rumah tetangganya, dan disuguhi teh.
Persis ketika akan meminumnya, gelasnya pecah berkeping-keping. "Dia akan mengguna-gunai saya," kata Ayu.
Menurut Wayan Karji, hal itu bisa terjadi karena si calon korban punya ilmu lebih tinggi. Sebagai anggota kasta brahmana, Ayu memang sejak kecil sudah dibekali ilmu. "Saya sendiri tidak tahu kalau itu ada dalam tubuh saya," katanya.
Leak memang bisa dilawan oleh manusia awam. Menurut Ngurah Harta, yang penting adalah keyakinan pada diri sendiri. "Dengan kepercayaan diri yang tinggi, kita otomatis memanggil kekuatan kanda pat, untuk mengalahkan unsur pengganggu kehidupan kita," katanya.
Kanda pat adalah istilah Bali untuk empat unsur yang lahir bersama manusia, yakni ari-ari, darah, lendir, dan air.
Menurut kepercayaan Bali, semua unsur itu mendampingi manusia setelah kelahiran dalam bentuk makhluk niskala (tidak kelihatan) yang dapat membantu manusia.
Cara paling mudah untuk melawan adalah tidak takut, dengan keyakinan bila Anda berani, leak malah takut. "Waktu zaman perang kemerdekaan dulu, banyak yang punya ilmu leak takut pada peluru," ujar Ngurah Harta yang juga menganggap, kalau si korban berani dan menguatkan kemauannya, leak kehilangan keampuhannya.
Hal ini juga terbukti dari cerita Ayu yang melihat mobil jejadian itu. Seusai melemparkan batu pada mobil jejadian yang diceritakan di awal tulisan ini, ayahnya segera mengambil dongkrak mobil, lalu memukuli mobil kembar kedaden itu.
Mobil palsu itu menjerit-jerit minta ampun. "Perlahan-lahan dari badan mobil itu keluar rambut-rambut halus, lalu makin panjang," kata Ayu menceritakan transformasi mobil menjadi manusia kembali.
"Perlahan tapi pasti mobil itu menjadi manusia lagi. Ternyata dia tetangga kami, masih keluarga juga. Sejak itu saya tidak berani lagi datang sendirian atau pulang malam-malam dari rumah nenek."
(Ditulis oleh Benito Lopulalan, tinggal di Bali. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi April 1996)