Waktu saya melihat ke luar ternyata bahwa seluruh kota diliputi oleh kabut tebal. Penerangan jalan di seberang Lapangan Singa tak dapat saya lihat lagi, meskipun saya mendengar dari rekan lain bahwa lampu-lampu masih menyala.
Tak lama kemudian ternyata kabut itu bukan kabut biasa, melainkan hujan abu, yang jatuh tak lama lewat tengah malam — mula-mula jarang-jarang, tetapi makin lama makin deras, sehingga segalanya terselimuti oleh kabut abu yang tebal.
Pada pukul enam pagi, menurut peraturan, semua lampu hams dipadamkan, tetapi ... matahari tidak terbit! Baru sekitar pukul tujuh nampaknya seperti fajar akan menyingsing, tetapi hari itu tak akan menjadi terang.
Baca Juga : Inilah Io, Satelit Planet Jupiter yang Memiliki Banyak Gunung Berapi
Hawa makin menjadi dingin, sehingga saya memerintahkan anak buah saya untuk mengenakan jas hujan mereka. Sementara itu abu turun dengan tiada berkeputusah. Abu itu ke mana-mana, juga bangsal jaga dilapisi oleh serbuk halus yang berwarna kelabu keputih-putihan.
Prajurit jaga yang saya lihat dari jendela sedang mondarmandir, kelihatannya seperti boneka salju kelabu yang bergerak secara mekanis.
Sekitar pukul sembilan pagi ledakan-ledakan dan guruh makin bertambah. Pada pukul sepuluh hari gelap seperti malam. Lampu-lampu gas dinyalakan kembali. Lapisan abu setebal 15 mm menutupi segala apa. Jalan-jalan sunyi senyap, tak ada yang berani menampakkan diri. Saya merasa seorang diri di dunia, di dunia yang tak lama bakal runtuh!
Pada pukul 10.40 akhirnya tiba telegram dari Serang, yang isinya memuat sedikit keterangan mengenai penyebab gejala-gejala alam yang mengerikan itu. Kawat itu berbunyi: Kemarin petang Krakatau bekerja. Bisa didengarkan di sini. Semalam suntuk cahayanya terlihat jelas.
Sejak pukul sebelas ledakan-ledakan makin hebat dan tak terputus-putus. Setelah hujan abu deras pagi ini matahari tak nampak, gelapnya seperti pukul setengah tujuh malam. Merak dimusnahkan gelombang pasang. Sekarang di sini sedang hujan kerikil. Tanpa payung kuat tak ada yang berani keluar.
Lewat pukul dua belas, ketika di Betawi masih gelap gulita dan sangat dingin, tersiar berita gawat dari Pelabuhan Pasar Ikan dan Tanjung Priok. Suatu gelombang pasang telah membanjiri sebagian kota bawah. Permukaan air dua meter di atas garis normal.
Kapal uap Prinses Wilhelmina dicampakkan ke pangkalan, seperti juga kapal Tjiliwoeng yang cerobong asapnya merusakkan atap kantor pabean. Sejumlah kapal motor dan perahu terdampar secara acak-acakan di Pelabuhan Pasar Ikan, berlumuran lumpur dan abu tebal.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR