Para penabuh genderang dan peniup terompet batalyon itu sudah siap pada pukul delapan kurang seperempat. Mereka masih merokok santai sebelum mereka berbaris untuk memberikan isyarat itu.
Tiba-tiba terdengar tembakan meriam menggelegar, jauh lebih dini daripada biasanya. Mereka segera berkumpul membentuk barisan dan setelah terompet dibunyikan, mereka berbaris sambil membunyikan genderang dan meniup terompet.
Baru saja mereka mencapai asrama ketika meriam yang sungguh-sungguh menggelegar dari dalam benteng. Gunung Krakatau ternyata mengecoh mereka!
Betawi jadi dingin
Sementara itu 'penembakan' berlangsung terus. Kadang-kadang bunyinya seperti tembakan salvo beruntun, kilatan-kilatan menyambar-nyambar ke langit. Semua orang tercekam ketakutan. Tiada seorang pun percaya bahwa ada badai mengamuk jauh di sana.
Baca Juga : Tak Disangka Lukisan Karya Seniman Norwegia Ini Miliki Kaitan Erat dengan Letusan Krakatau
Hampir tak ada orang yang berani tidur malam itu. Banyak yang berkumpul di halaman rumah mereka sambil mengarahkan pandangan mereka ke arah barat dan memperbincangkan kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan gejala alam yang aneh itu.
Hanya anak negeri yang tak ragu-ragu: "Ada gunung pecah," kata mereka.
Menjelang tengah malam tiba perwira piket, Letnan Koehler. Ia mengatakan kepada saya bahwa seluruh kota sedang dalam keadaan panik. Penduduk asli berkumpul di masjid-masjid untuk bersembahyang. Penduduk Belanda tetap terjaga di rumah masing-masing atau pergi ke rumah bola Concordia atau Harmonie untuk saling mencari dukungan dari sesamanya.
Menjelang pukul dua pagi rentetan letusan bak tembakan cepat artileri itu mencapai puncaknya. Rumah-rumah batu bergetar dan jendela-jendela bergemerincing. Gelas lampu penerangan jalan jatuh bertebaran di tanah, kaca etalase toko pada pecah, penerangan gas di banyak rumah padam: Sesudah itu ledakan-ledakan mereda, sekalipun dari arah barat masih terdengar suara gemuruh.
Baca Juga : Gunung Meletus Tak Pengaruhi Gunung-gunung di Dekatnya
Kemudian saya merasakan bahwa udara makin menjadi dingin. Dalam beberapa jam saja suhu udara telah menurun sedemikian rupa, sehingga saya gemetar kedinginan di pos jaga. Belum pernah di Betawi udara sedingin itu.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR