Klitih dapat terjadi tanpa pandang waktu dan tempat. Biasanya para pelaku klitih akan bertanya kepada korbannya dari mana sekolahnya. Jika nama sekolah yang disebut itu merupakan salah satu musuh pelaku, korban biasanya langsung dihajar. Atau bisa juga motornya dirusak, seragam diambil. Bahkan bisa dipukuli sampai babak belur dan ada yang dibunuh.
Semakin ke sini, korbannya tidak lagi sesama pelajar. Tak jarang mahasiswa, warga sekitar, maupun wisatawan yang jelas-jelas tidak ada kaitan dengan mereka pun menjadi korban.
Perlawanan aksi klitih pun mulai muncul. Tiga hari usai Adnan Hafid Pamungkas dimakamkan, solidaritas yang menamakan diri “Masyarakat Peduli Pendidikan” melakukan aksi damai bertema “Save Jogja dari Darurat Klithih” di Titik Nol Kilometer, jantung Kota Yogya. Mereka menyerukan agar aparat kepolisian bertindak cepat mencegah aksi keluyuran bermotif kekerasan di kalangan pelajar.
Namun, tak beberapa lama aksi klitih terjadi lagi di Bantul. Dua orang, yang berhenti di tepi jalan untuk buang pipis, didatangi oleh empat orang memakai cadar dan berjaket hitam. Pelaku lantas membacok salah satu korban. Si korban, berusia 19 tahun, mengalami luka berat di bagian pelipis, mulut, jidat, dan luka bacok di tengkuk selebar 20 sentimeter, segera mendapatkan perawatan intensif di satu rumah sakit.
Sebelumnya, pada September 2012, sekitar 500 pelajar SMP dan SMA menggelar aksi keprihatinan atas tawuran pelajar dengan kekerasan hingga mengakibatkan korban meninggal dunia di lereng Gunung Merapi, Sleman.
Tahun yang sama, media Seputar Indonesia (SINDO) menemukan setidaknya ada 60 geng pelajar yang eksis di Jogja dan sekitarnya, baik level SMP ataupun SMA. Sekumpulan geng ini mencatat peristiwa tawuran dan kekerasan yang sulit terekam jumlahnya. Namun berdasarkan penelusuran berita di koran Tribun dan Kedaulatan Rakyat setidaknya ada ± 30an peristiwa kekerasan di tahun 2012 dan lebih banyak lagi terjadi di tahun 2011.
Aparat kepolisian tahun 2013 sebenarnya telah mampu meredam aksi anarkis pelajar ini, hingga jauh berkurang. Namun sangat segar diingatan kita pada tahun 2014 korban pembacokan kembali berjatuhan, tak hanya pelajar tapi juga mahasiswa, mahasiswi, dan warga umum sendiri. Sejak itulah, istilah klitih menjadi sangat populer.
Berkat kerjasama masyarakat dan aparat kepolisian, di tahun 2015 fenomena nglitih di Jogja dapat diredam. Namun, di akhir tahun 2016 ini, eskalasi kekerasan kembali meningkat dan harus jadi perhatian pemerintah setempat karena korban terus berjatuhan.
Sosilog Soeprapto sendiri mengusulkan bahwa para pelaku anak-anak ini “tak hanya dibina,” tetapi juga perlu dikenali siapa di antara mereka yang sepatutnya dihukum lebih berat berdasarkan kadar keterlibatannya dalam menghilangkan nyawa seseorang.
“Orangtua, komisi nasional hak asasi manusia, dan lembaga swadaya masyarakat yang peduli pada anak-anak harus mampu memilah mana anak yang layak untuk diperbaiki dan mana yang harus benar-benar dibela,” ujarnya.
“Jika tidak, korban bisa semakin banyak,” ujar Soeprapto.
Source | : | kaskus,tribun jogja,jogja uncover |
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR