Intisari-Online.com - Di dalam setiap denyut nadi kehidupan Yogyakarta, selalu terdapat unsur budaya di dalamnya. Hal itu tidak bisa lepas dari keberadaan Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat. Sejak dibangun pada 1756 oleh sang arsitek Hamengku Buwono I, raja pertama Ngayogyakarta Hadiningrat, napas kebudayaan sudah diembuskan dalam segala dinamika perkembangan kota dan masyarakatnya.
Jika berbicara tentang kebudayaan, hal yang tidak bisa dipisahkan adalah alam. “Kalau berbicara Yogyakarta, tidak bisa hanya melihat kebudayaan, namun tentang alamnya,” kata Laretna T. Adishakti, Direktur Badan Pelestarian Pusaka Indonesia. Jika ditilik lebih jauh, kebudayaan di tiap daerah di Indonesia dibentuk oleh kondisi alam. Sita, panggilan untuk Laretna T. Adishakti, mencontohkan tentang kebudayaan di Pulau Ndao, yang terletak di perairan sebelah barat Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Masyarakat di sana bisa hidup dengan layak karena banyak tanaman mengkudu dan kapuk. “Sekarang semua tanaman itu sudah tidak ada di pulau tersebut, padahal itu semua adalah bahan mentah untuk membuat tenun ikat, produk kebudayaan khas masyarakat di pulau itu,” jelas Sita.
Ekspresi budaya dipengaruhi oleh alam. Konsep ini juga yang diterapkan oleh pendiri Yogyakarta, Hamengku Buwono I. Pemilihan lokasi Keraton yang dilandasi dengan keseimbangan alam, membentuk garis imajiner yang membentang dari Laut Selatan sampai Gunung Merapi. Di antara dua titik “penguasa alam” tersebut, dibangunlah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, dan sebuah simbol keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan, berupa bangunan Panggung Krapyak di sebelah selatan Keraton dan Tugu Golong-Gilik (yang sekarang kerap disebut Tugu Jogja) di sebelah utara.
Pemikiran orisinal budaya Jawa itu juga tertuang dengan pembukaan permukiman dengan konsep babat alas atau membuka hutan. Pembukaan permukiman dengan model itu sejatinya meneruskan tradisi pendahulunya, seperti Senopati ketika membangun Kotagede menjadi pusat kota Kerajaan Mataram Islam.
Konsepsi kesinambungan ekologis juga tampak pada pemilihan lokasi Keraton di antara tiga sungai besar, yaitu Sungai Winongo di sebelah barat kota, Code di bagian tengah, dan Gajah Wong di sebelah timur. Selain alasan pertahanan, sungai dianggap sebagai unsur alam yang sakral, selain gunung dan laut.
Keintiman masyarakat Yogyakarta dengan alam dan budaya merupakan identitas Yogyakarta sebagai kota budaya. Pelestarian dan penataan alam seperti sungai juga dibasiskan pada aspek kebudayaan tersebut.
Secara nasional, program penataan sungai sudah dijalankan dengan Program Kali Bersih (Prokasih) sejak 1989 oleh seluruh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Di Yogyakarta, Prokasih yang yang saat itu terfokus pada penataan Sungai Code dijalankan sejak 10 Maret 1993.
Sampai sekarang, Sungai Code relatif sudah banyak dilakukan penataan dan pengembangan. Pengkajian dan penelitian dari berbagai pihak sudah banyak dilakukan di sana, baik dari segi infrastruktur, lingkungan, dan sosial.
Sedangkan Sungai Winongo dan Gajah Wong relatif masih baru dalam hal penataan secara teknis. “Maka itu, Bappeda mulai membuat program untuk penataan Winongo dan Gajah Wong,” papar Wahyu Handoyo, Kasubid Pengendalian Sarana, Prasarana, dan Tata Ruang Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Yogyakarta.
Penataan tiga sungai di Kota Yogyakarta ini menggunakan konsep yang sama, yatu penataan berbasis masyarakat. “Namun konsep itu tidak bisa dijalankan secara serupa, karena karakteristik sungai dan masyarakatnya berbeda,” terang Wahyu. Maka itu, identifikasi masalah diberikan sepenuhnya untuk masyarakat sendiri, untuk kemudian pemetaan tersebut dijadikan dasar penentuan misi penataan dan pelestarian masing-masing sungai. “Filosofi dan budaya yang ada di setiap wilayah tersebut juga dipertahankan,” kata Wahyu.
Secara umum, permasalahan yang ada di setiap sungai sama: permukiman ilegal yang mempersempit badan sungai, risiko bencana seperti banjir, tanah longsor, dan erupsi lahar dingin Merapi, sampah, dan limbah industri.
Di Sungai Code, permasalahan yang paling menyolok adalah masalah permukiman yang padat. Selain itu, Code yang langsung berhulu pada Gunung Merapi tak pelak memberikan ancaman permanen untuk warga di bantaran, yaitu erupsi lahar dingin dan material padat Merapi yang berjalur di sepanjang Sungai Code.
Permasalahan di Sungai Gajah Wong yang paling mencolok adalah masalah polusi air. Hal ini karena di sepanjang bantaran Sungai Gajah Wong banyak terdapat pabrik dan sentra industri yang menghasilkan limbah.
Untuk Sungai Winongo, sampah dan limbah industri masih menjadi masalah utama. Selain itu, hunian liar dan karamba yang menhambat arus air juga menjadi fokus penataan daerah pinggiran sungai.
Kabar gembira, masih banyak orang yang peduli dengan kelestarian alam yang menjadi dasar identitas budaya Yogyakarta. Banyak komunitas yang masih peduli, mengawal keseimbangan antara manusia dengan alam, termasuk sungai.
Ada Paguyuban Pemerti Code sebagai penjaga Sungai Code. Forum Komunikasi Winongo Asri (FKWA) tak lelah menjaga kelestarian Sungai Winongo. Sungai Gajah Wong pun punya Forum Komunikasi Daerah Aliran Sungai Gajah Wong (Forsidas Gajah Wong) yang siap menjaga dan mempercantik sungai ini.
Meminjam potongan tembang mijil Jawa, memayu hayuning bawana, ambrhasta dur angkara (melestarikan keindahan dunia dan isinya, serta membasmi perusak dunia), kiranya pas untuk mendeskripsikan misi besar nan mulia para penjaga sungai ini.