Intisari-Online.com - Kasus tewasnya Ilham Bayu Fajar (17) pada Minggu (12/3/2017) menambah panjang daftar korban kasus penganiayaan atau yang lebih dikenal klitih di Yogyakarta. Tribun Jogja mencatat,
(Ingin Beli Smartphone yang Paling Pas Buat Kamu? Simak Panduan Ini)
Sepanjang 2016 kemarin Tribun Jogja mencatat ada enam aksi klitih yang menimbulkan korban, di antaranya meninggal.
Atas maraknya aksi klitih itu, jargon Jogja Berhati Nyaman pun diplesetkan menjadi Jogja Berhenti Nyaman. Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar itu seakan menjadi malapetaka bagi para pelajarnya.
Pelaku klitih pun bukan lagi anggota geng dari sekolah tertentu. Dalam kasus Ilham Bayu Fajar, pengeroyoknya adalah geng Burjo Wetan Sekolah (BWS). Nama geng itu mengacu pada warung makan yang menjadi tempatnongkronganggotanya yang berasal dari beberapa sekolah.
Klitih yang sekarang ini berkembang dari “budaya” tawuran pelajar di kota Jogja. “Budaya” tawuran sendiri sudah ada dari tahun 80-an hingga 90-an. Pada masa itu dikenal dua geng besar yang sangat melegenda: QZRUH ( kisruh ) dan JOXZIN.
QZRUH adalah singkatan dari “Q-ta Zuka Ribut Untuk Hiburan”. Sering juga disingkat dengan QZR dan menjadi penguasa wilayah Jogja bagian Utara. Sementara lawannya JOXZIN adalah singkatan dari “Joxo Zinthing”. Bisa pula “Pojox Benzin” (pojokan pom bensin Alun-alun) atau “Jogja Zindikat” dan disingkat dengan JXZ. Wilayah kekuasaannya Malioboro hingga Jogja ke Selatan.
Menurut admin Jogja Uncover, istilah KLITIH sebagai pengganti kata tawuran pertama kali mucul pada 2009. Namun saat itu belum sepopuler sekarang. Bisa jadi media sosial belum semarak sekarang.
Baru pada 2013 istilah ini mulai warawiri di masyarakat. Istilah nglitih sepertinya lahir mengganti kata tawuran setelah peristiwa pembacokan yang marak hampir tiap minggu terjadi sepanjang 2011 hingga 2012 lalu. Saat itu wisatawan sering memplesetkan kalimat "Jogja Kota Pelajar" dengan "Jogja Genk Pelajar".
Sekarang, nglitih secara umum diartikan sebagai tindak kekerasan sekelompok pelajar yang umumnya siswa SMA atau SMK di jalanan Jogja yang mencari korban berdasarkan target anak Sekolah.
Klitih dapat terjadi tanpa pandang waktu dan tempat. Biasanya para pelaku klitih akan bertanya kepada korbannya dari mana sekolahnya. Jika nama sekolah yang disebut itu merupakan salah satu musuh pelaku, korban biasanya langsung dihajar. Atau bisa juga motornya dirusak, seragam diambil. Bahkan bisa dipukuli sampai babak belur dan ada yang dibunuh.
Semakin ke sini, korbannya tidak lagi sesama pelajar. Tak jarang mahasiswa, warga sekitar, maupun wisatawan yang jelas-jelas tidak ada kaitan dengan mereka pun menjadi korban.
Namun, tak beberapa lama aksiklitihterjadi lagi di Bantul. Dua orang, yang berhenti di tepi jalan untuk buang pipis, didatangi oleh empat orang memakai cadar dan berjaket hitam. Pelaku lantas membacok salah satu korban. Si korban, berusia 19 tahun, mengalami luka berat di bagian pelipis, mulut, jidat, dan luka bacok di tengkuk selebar 20 sentimeter, segera mendapatkan perawatan intensif di satu rumah sakit.
Sebelumnya, pada September 2012, sekitar 500 pelajar SMP dan SMA menggelar aksi keprihatinan atas tawuran pelajar dengan kekerasan hingga mengakibatkan korban meninggal dunia di lereng Gunung Merapi, Sleman.
Tahun yang sama, media Seputar Indonesia (SINDO) menemukan setidaknya ada 60 geng pelajar yang eksis di Jogja dan sekitarnya, baik level SMP ataupun SMA. Sekumpulan geng ini mencatat peristiwa tawuran dan kekerasan yang sulit terekam jumlahnya. Namun berdasarkan penelusuran berita di koran Tribun dan Kedaulatan Rakyat setidaknya ada ± 30an peristiwa kekerasan di tahun 2012 dan lebih banyak lagi terjadi di tahun 2011.
Aparat kepolisian tahun 2013 sebenarnya telah mampu meredam aksi anarkis pelajar ini, hingga jauh berkurang. Namun sangat segar diingatan kita pada tahun 2014 korban pembacokan kembali berjatuhan, tak hanya pelajar tapi juga mahasiswa, mahasiswi, dan warga umum sendiri. Sejak itulah, istilah klitih menjadi sangat populer.
Berkat kerjasama masyarakat dan aparat kepolisian, di tahun 2015 fenomena nglitih di Jogja dapat diredam. Namun, di akhir tahun 2016 ini, eskalasi kekerasan kembali meningkat dan harus jadi perhatian pemerintah setempat karena korban terus berjatuhan.
Sosilog Soeprapto sendiri mengusulkan bahwa para pelaku anak-anak ini “tak hanya dibina,” tetapi juga perlu dikenali siapa di antara mereka yang sepatutnya dihukum lebih berat berdasarkan kadar keterlibatannya dalam menghilangkan nyawa seseorang.
“Orangtua, komisi nasional hak asasi manusia, dan lembaga swadaya masyarakat yang peduli pada anak-anak harus mampu memilah mana anak yang layak untuk diperbaiki dan mana yang harus benar-benar dibela,” ujarnya.
“Jika tidak, korban bisa semakin banyak,” ujarSoeprapto.