Menjelang All England 1968, pengurus PBSI sebenarnya nyaris tidak mengirimkan pemain ke turnamen karena buntut peristiwa Thomas Cup 1967. Peristiwa itu makin membulatkan tekad Rudy untuk membuktikan diri, sekaligus mewujudkan janji kepada ayahnya untuk menjadi juara di All England pertamanya.
Ingin mengukir sejarah
Cucuran keringat dan perjuangan Rudy saat bertanding di lapangan memang tidak selalu berbuah kemenangan. la juga tidak selalu tampil dalam setiap turnamen dan terkesan selektif. Beberapa kali Rudy seolah menghilang dan prestasinya mengalami antiklimaks.
Karena itu orang lebih sering mendengar tentang kiprahnya di All England dan Thomas Cup. Rudy membenarkan bahwa selalu ada masa-masa kejenuhan dalam perjalanan kariernya. Kadang ia butuh penyegaran dan untuk sejenak harus meninggalkan lapangan.
Namun kharisma All England selalu dapat membuatnya bangkit dan mengerahkan seluruh energinya. “Di pertandingan lain saya boleh kalah, tapi di All England harus menang,” begitu Rudy berprinsip. Di matanya, gengsi All England sama seperti turnamen Wimbledon di olahraga tenis.
Maka ia sering menyebutnya sebagai “kejuaraan dunia tidak resmi”. Di masa-masa istirahat, Rudy berkuliah, bekerja, berkeluarga, bahkan pernah main film. Tapi setidaknya tiga bulan menjelang All England, ia kembali mempersiapkan diri.
Paling minim selama tiga bulan ia memperbaiki kondisi fisik dan memoles kembali teknik permainan yang mengendur. Harapannya, pada saat pertandingan ia akan mencapai puncak penampilan.
Prestasi Rudy sebenamya juga dilandasi motivasi untuk mengukir sejarah di turnamen bulutangkis tertua di dunia itu sebagai juara terbanyak. Tolok ukur prestasinya adalah Eriand Kops (Denmark), juara tunggal putra sebanyak tujuh kali. Belakangan Rudy berhasil mengungguli Kops lewat kemenangannya yang kedelapan, tahun 1976.
Istimewanya lagi, Rudy meraih tujuh gelar juara secara berturut-turut antara tahun 1968 sampai dengan tahun 1974.
Beda dulu beda sekarang
Rudy mengungkap, ada perbedaan mendasara antara olahraga pertandingan individual seperti bulutangkis, dengan olahraga tim seperti sepakbola. Atlet bulutangkis seperti dirinya dituntut untuk mandiri, baik di saat persiapan, latihan, maupun pertandingan.
Kemandirian itu menuntut kreativitas tinggi dari si atlet. Tidak ada orang lain yang lebih berperan, termasuk seorang pelatih. Kalau atlet memang mampu mencapai suatu target tertentu, maka ia akan menjadi pemenang.
Dalam pertandingan, seorang atlet harus berada pada posisi pengambil keputusan. Ia harus bisa memadukan berbagai strategi untuk mengalahkan lawan. “Saat pertandingan, pelatih paling hanya bisa memberi semangat,” ujarnya.
Menurut Rudy, paling tidak kondisi itu terjadi di masa kejayaannya dulu tatkala ia sering harus berjuang sendiri. Beda situasinya dengan pemain sekarang yang terlalu bergantung pada pelatih sehingga pemain termanjakan.
Di masa lalu, Rudy juga merasakan perbedaan menyangkut hadiah berupa uang. Ia merasakan suatu masa ketika kemenangan hanya diganjar piala dan medali. Dari kemenangan-kemenangannya di All England, Rudy kini mengoleksi piala All England atas kemenangan tiga kali berturut-turut serta 11 medali.
Berbeda dengan turnamen sekarang yang hadianya ribuan dolar. Rudy tidak menganggap hadiah yang adalah buruk. Ia senang mendengar bahwa atlet-atlet sekarang hidup layak. “Tapi uang tidak bisa (serta-merta) menghasilkan kepuasan,” sergahnya.
Tujuan utama bertanding semestinya tetap menjadi yang terbaik alias juara. Karena dia yang terbaik biasanya akan mendapat penghargaan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan orang lain. Bukan sekadar hadiah, tapi juga bonus yang berlipat ganda.
Penghargaan yang baik ini juga dapat memberi motivasi ke orangtua untuk mengarahkan anaknya ke dunia olahraga. Tapi sebenarnya yang jauh lebih penting adalah usahanya. “Berbanggalah dengan usahamu,” begitu pesan Rudy.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR