Intisari-Online.com -Belanda semakin semena-mena terhadap Keraton Yogyakarta setelah berhasil menangkap Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa.
Tak hanya mencaplok wilayah-wilayah yang awalnya menjadi bagian dari Kesultanan, Belanda juga mengatur khitanan dan nikahan raja.
Pangeran Diponegoro sendiri berhasil diringkus oleh Belanda pada 28 Maret 1830 di Magelang.
Perang Jawa sendiri adalah perang habis-habisan antara tentara Jawa yang dipimpin oleh Diponegoro melawan Belanda.
Di Keraton sendiri, Diponegoro sejatinya mendapat jataban yang tak main-main.
Dia ditugaskan sebagai penasihat atau Wali Raja, tapi dia memilih menepi di sebuah kampung yang dikenal sebagai Tegalrejo.
Karena Sultan Hamengkubuwono V masih belia, maka roda pemerintahan dijalankan oleh Patih Danurejo.
Pada 1822, Hamengkubuwo IV meninggal dunia di usia yang masih sangat muda, 20.
Sementara putra mahkotanya masih berusia dua tahun.
Tak lama berselang, meletuslah Perang Jawa, tepatnya pada 1825.
Untuk mengatasi itu, Belanda kemudian menggantikan Sultan muda HB V dengan simbahnya, Sultan Sepuh alias Sultan Hamengkubuwono II.
Tujuan Belanda jelas, dia ingin HB II bisa menghentikan cucunya itu.
Tapi Sultan Sepuh meninggal pada 1828, takhta pun dikembalikan kepada HB V yang kini berusia delapan tahun.
Dua tahun kemudian, Belanda berhasil menangkap Pangeran Diponegoro.
Setelah itu, Belanda semakin menjadi-jadi mengurusi urusan internal Keraton Yogyakarta.
Belanda mengatur keuangan Keraton, mereorganiassi sistemnya, juga mengganti jabatan Wali Sultan dengan Dewan Kerajaan.
Untuk jabatan terakhir ini isinya tiga pangeran dan pejabat Belanda di Yogyakarta.
Ketika HB V berusia 13 tahun,Residen Yogyakarta FG Valck bahkan sampai mengurusi khitanan Sang Raja hingga mengatur pernikahannya.
Calon istrinya adalahputri Raden Tumenggung Purbokusumo, bernamaRaden Ajeng Suradinah.
Nama terakhir ini punya hubungan dengan Kadipaten Pakualaman di mana setelah peristiwa Geger Sepehi menjadi wilayah otonom.
Sekilas tentang Hamengkubuwono V
HB V lahir pada 24 Januari 1820 dengan nama Gusti Raden Mas Gathot Menol.
Seperti disebut di awal, dia adalahputra keenam dari Sri Sultan Hamengkubuwono IV dan Gusti Kanjeng Ratu Kencono.
Pada 1823, ketika Hamengkubuwono IV wafat, Gusti Raden Mas Gathot Menol diangkat sebagai penerus takhta Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono V.
Karena usianya yang masih sangat belia, tugas-tugas kesultanan dipegang oleh dewan perwalian yang terdiri atas:
- Ratu Ageng (nenek Sultan sekaligus permaisuri Sri Sultan Hamengkubuwono III)
- Ratu Kencono (ibu Sultan sekaligus permaisuri Sri Sultan Hamengkubuwono IV)
- Pangeran Mangkubumi (Putra Sri Sultan Hamengkubuwono II)
- Pangeran Diponegoro
Dewan perwalian itu hanya berwenang mengawasi keuangan keraton, sedangkan pelaksanaan pemerintahan berada di tangan Patih Danurejo III, di bawah pengawasan residen Belanda.
Pada awal pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono V, kondisi pemerintahan Kesultanan Yogyakarta tidak stabil.
Salah satunya disebabkan oleh perlawanan yang dilakukan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda.
Perlawanan yang kemudian dikenal sebagai Perang Diponegoro atau Perang Jawa itu berhasil menggerakkan hampir semua penduduk di Pulau Jawa bagian tengah dan selatan.
Karena itulah pada 17 Agustus 1826, kedudukan Sri Sultan Hamengkubuwono V sebagai Sultan Yogyakarta untuk sementara waktu digantikan oleh kakek buyutnya, Sri Sultan Hamengkubuwono II.
Perang Jawa, yang menimbulkan kerugian besar bagi Belanda, mulai mereda setelah Pangeran Diponegoro ditangkap.
Setelah itu, situasi di Yogyakarta sudah mulai lebih stabil.
Karena itulah pada 17 Januari 1828, Sri Sultan Hamengkubuwono V kembali bertakhta di keraton.
Tapi HB V baru memegang kendali pemerintahan secara penuh pada 1836, ketika usianya menginjak 16 tahun.
Setelah memegang kendali pemerintahan, Sri Sulyan Hamengkubuwono V merekatkan hubungan Keraton Yogyakarta dengan pemerintah Hindia Belanda.
Ini dia lakukan sebagai bentuk taktik pasif, yaitu melakukan perlawanan tanpa melalui pertumpahan darah.
Hamengkubuwono V berharap dengan dekatnya hubungan Keraton Yogyakarta dengan Hindia Belanda mampu membawa kesejahteraan dan keamanan bagi rakyatnya.
Tapi cara itu mendapat tentangan dari beberapa pejabat keraton, termasuk adiknya sendiri, Gusti Raden Mas Mustojo (yang nantinya bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono VI).
Mereka menganggap tindakan Hamengkubuwono V dengan bekerja sama dengan Belanda adalah tindakan pengecut.
Sehingga dukungan terhadapnya pun semakin berkurang.
Di sisi lain, selama Hamengkubuwono V memimpin, seni dan sastra semakin berkembang.
Banyak karya sastra dan keris pusaka keraton yang dibuat atas instruksi dari Hamengkubuwono V.
HB V tutup usia pada 5 Juni 1855 setelah ditikam oleh selirnya sendiri.
Jasadnya dikebumikan di Astana Besiyaran, Pajimatan Imogiri.
Hamengkubuwono V wafat tanpa memiliki seorang putra.
Karena itulah takhta keraton pun jatuh ke tangan sang adik, Raden Mas Mustojo, yang bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono VI.
Salah satu karya besar Sri Sultan Hamengkubuwono V adalah Serat Makutha Raja, yang disebut mengandung banyak prinsip dasar bagaimana menjadi seorang raja yang baik.
Serat Makutha Raja ini juga dijadikan pedoman bagi para penguasa keraton selanjutnya.
Hamengkubuwono V juga memprakarsai Gendhing Gati, yang memadukan alat musik diatonis seperti trompet, trombon, suling, dan berbagai jenis drum.
Selain itu, beberapa peninggalannya adalah Tari Serimpi Renggawati dan mengembangkan seni wayang orang.
Ada lima judul lakon yang kerap dipentaskan, yaitu Pragulamurti, Petruk Dadi Ratu, Angkawijaya Krama, Jaya Semedi, dan Pregiwa-Pregiwati.
Begitulah riwayat Hamengkubuwono V yang sejak kecil hidupnya sudah disetir oleh Belanda.
Dapatkan artikel terupdate dari Intisari-Online.com di Google News