Intisari-Online.com -Sejatinya penguasa Jawa saat itu, Thomas Stamford Raffles, sudah punya rencana terkait Kesultanan Yogyakarta.
Pertama-tama, dia akan menyingkirkan Hamengkubuwono II yang naik takhta lagi.
Setelah itu dia akan menaikkan Putra Mahkota, Pangeran Surojo, sebagai raja Matara dengan gelar Hamengkubuwono III.
Dia juga sudah menyiapkan Pangeran Diponegoro sebagai Adipati Anom alias Putra Mahkota.
Pangeran Diponegoro sendiri adalah putra tertua Hamengkubuwono III dari selirnya, Bendara Raden Ayu Mangkarawati.
Tapi ternyata Pangeran Diponegoro menolak skenario tersebut.
Penolakan tersebut termaktub dengan baik dalam Babad Diponegoro versi Manado.
Pada 20 Juni 1812 Raffles berhasil melengserkan HB II dan membuangnya ke Pulau Penang.
Pangeran Surojo dinobatkan sebagai raja Mataram dengan gelar HB III.
Raffles juga hendak menobatkan Pangeran Diponegoro sebagai Pangeran Adipati Anom, tapi sang pangeran tak mau.
Pangeran Diponegoro beralasan, dia cukup tahu diri bahwa dia hanya lahir dari seorang selir.
Jika dia sampai jadi Putra Mahkota, artinya dia akan merusak paugeran atau aturan kerajaan Mataram Islam.
Terkait penolakan itu, Pangeran Diponegoro bahkan berjanji kepada dua sahabatnya: Kiai Rahmanuddin dan Kiai Muhammad Bahwi.
Sang pangeran berjanji:
"Jika sampai aku lupa, aku jadikan kamu saksi atas tekad hatiku yang kukuh, biarlah aku tidak dijadikan Pangeran Adipati. Bahkan jika aku kelak dijadikan sultan sekalipun oleh ayah atau kakekku aku tidak ingin terpaksa dan aku minta ampun kepada Yang Maha Kuasa. Tidak peduli berapa lama aku berada di dunia ini, aku akan selalu berdosa."
Masa pemerintahan HB III ternyata tak berlangsung lama.
Dia meninggal dua tahun setelah naik takhta, persisnya pada 1814.
Para sesepuh kerajaan pun meminta Pangeran Diponegoro menjadi pengganti, tapi dia tetap tidak mau.
Meski begitu, dia bersedia jadi pembimbing adiknya yang masih sangat belia, usianya masih 8 tahun, yang kelak naik takhta dengan gelar HB IV.
HB IV sendiri juga tak memerintah lama, dia meninggal ketika sedang berpelesir.
Setelah menolak jadi putra mahkota, Pangeran Diponegoro lebih memilih untuk mendalami ilmu agama.
Dia memilih tinggal di luar keraton, tepatnya di Tegalrejo.
Belakangan kita tahu, Pangeran Diponegoro ditetapkan sebagai sultan oleh para pengikutnya dengan gelar Ingkang Jumeneng Kanjeng Sultan Ngabdul Khamid Erucakra Kabirul Mukminin Sayidin Panatagama Rasulullah SAW ing Tanah Jawi.
Pangeran Diponegoro mendirikan kerajaan Islam di Dekso, Kulonprogo.