Intisari-Online.com -Setelah sekitar 181 tahun dikuasi keluarga keturunan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jean Chretien Baud, tongkat Pangeran Diponegoro akhirnya dikembalikan.
Prosesi penyerahan itu saat pembukaan pameran seni rupa "Aku Diponegoro" di Galeri Nasional Indonesia di Jakarta pada 5 Februari 2015 lalu.
Tongkat pusaka iktu punya panjang 153 sentimeter.
Ia terbuat dari kayu mahoni.
Tongkat itudiberikan kakak beradik Michiel dan Erica Lucia Baud kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Anies Baswedan.
Dalam acara itu hadir jugaperwakilan Kedutaan Besar Jerman, Kedutaan Besar Belanda, Goethe Institut, Erasmus Huis, serta tiga kurator pameran, yaitu Jim Supangkat, Werner Kraus, dan Peter Carey.
Bagi beberapa kalangan, pengembalian tongkat Pangeran Diponegoro itu mengejutkan.
Pasalnya,keluarga Baud sebelumnya meminta agar acara ini dirahasiakan hingga pembukaan pameran Kamis malam lalu.
Michiel Baud mengatakan, keluarganya menerima tongkat itu pada tahun 1834 dari Adipati Notoprojo, keluarga keturunan Sunan Kalijaga.
”Kami dihubungi Harm Steven (kurator di Rijks Museum Belanda), katanya itu milik Pangeran Diponegoro. Hari ini kami bawa ke sini untuk rakyat Indonesia,” kata Michiel.
Pameran ”Aku Diponegoro” digelar 5 Februari hingga 8 Maret 2015.
Itu adalahpameran besar kedua setelah pameran ”Raden Saleh dan Awal Seni Lukis Modern Indonesia” tahun 2012.
Dalam sambutannya, Anies Baswedan berterima kasih dan menghargai pengembalian tongkat Diponegoro yang biasa digunakan untuk berziarah itu.
Menurut dia, figur Diponegoro digambarkan cukup rinci dalam buku sejarah dibandingkan dengan para tokoh lain.
Pangeran ini mengobarkan semangat melawan kolonialisme lewat perang, yang memunculkan narasi pada masanya dan masa berikutnya.
Pameran ”Aku Diponegoro” membangkitkan kesadaran terhadap sosok dan peran pahlawan itu.
Semangat ini diharapkan menular kepada generasi muda Indonesia. Pengunjung juga bisa menikmati ekspresi seni dari peristiwa sejarah tersebut, termasuk lukisan Raden Saleh (tentang penangkapan Diponegoro).
”Pada Juni 2013, UNESCO mengakui naskah kuno Babad Diponegoro, yang ditulis Diponegoro sendiri, sebagai warisan ingatan dunia. Dunia mengakui Diponegoro. Kita berharap bisa mengenal lebih jauh. Karya Raden Saleh juga punya peran di Eropa,” kata Anies.
Apa cerita yang menarik terkait tongkat Pangeran Diponegoro itu?
Peter Carey, sejarawan Inggris yang memang sangat fokus terhadap kajian-kajian Diponegoro, bilang,tongkat tersebut diperoleh Pangeran dari warga pada sekitar 1815.
Artinya, tongkat itu diperoleh Pangeran Diponegoro sebelum Perang Jawa yang bikin Belanda senewen itu.
Perang Jawa atau Perang Diponegoro sendiri terjadi pada 1825 hingga 1830.
Tongkat itu lantas digunakan semasa menjalani ziarah di daerah Jawa selatan, terutama di Yogyakarta.
"Penyerahan (tongkat itu ke Indonesia) dirahasiakan sesuai permintaan keluarga yang menyimpan pusaka tongkat Diponegoro tersebut di Belanda,” kata Peter.
Dalam pameran tersebut, Peter juga bertindak sebagai salahsatu kurator pameran.
Kurator lain ada namaWerner Kraus (Jerman) dan Jim Supangkat (Indonesia).
Michiel Baud mewakili keluarga besar keturunan JC Baud menyerahkan pusaka tongkat ziarah Diponegoro kepada Anies Baswedan.
JC Baud menerima tongkat ziarah Diponegoro, yang juga disebut tongkat Kanjeng Kiai Tjokro, dari Pangeran Adipati Notoprojo.
Notoprojo sendiri adalah cucu komandan perempuan pasukan Diponegoro, Nyi Ageng Serang.
Notoprojo dikenal sebagai sekutu politik bagi Hindia Belanda.
Ia pula yang membujuk salah satu panglima pasukan Diponegoro, Ali Basah Sentot Prawirodirjo, untuk menyerahkan diri kepada pasukan Hindia Belanda pada 16 Oktober 1829.
Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro dipersembahkan Notoprojo kepada JC Baud saat inspeksi pertama di Jawa Tengah pada musim kemarau tahun 1834.
Kemungkinan Notoprojo berusaha mengambil hati penguasa kolonial Hindia Belanda.
Sejak 1834, Baud dan keturunannya di Belanda merawat tongkat ziarah Diponegoro itu sampai Kamis malam lalu dipulangkan kembali ke Tanah Air.
Berdasarkan penelusuran Peter Carey, Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro menjadi artefak spiritual sangat penting bagi Diponegoro.
Terutama dari simbol cakra di ujung atas tongkat sepanjang 153 sentimeter itu.
Berdasarkan mitologi Jawa, cakra sering digambarkan digenggam Dewa Wisnu pada inkarnasinya yang ketujuh sebagai penguasa dunia.
”Sesuai mitologi Jawa, tongkat tersebut dikaitkan dengan kedatangan Sang Ratu Adil atau Erucakra,” kata Peter.
Diponegoro kemudian menganggap perjuangannya sebagai perang suci untuk mengembalikan tatanan moral ilahi demi terjaminnya kesejahteraan rakyat Jawa.
Perang juga dianggap sebagai pemulihan keseimbangan masyarakat.
”Panji pertempuran Diponegoro menggunakan simbol cakra dengan panah yang menyilang,” kata Peter.
Kurator dari Rijks Museum Belanda, Harm Stevens, juga meneliti tongkat itu selama beberapa bulan terakhir.
”Saya telah mencocokkan dengan petunjuk-petunjuk yang ada. Benar kalau tongkat itu milik Pangeran Diponegoro,” katanya.
Tak hanya tongkat Pangeran Diponeogor, dalam pameran tersebut juga adabenda-benda bersejarah Pangeran Diponegoro yang lain.
Sebut saja tombak Rondhan dan pelana kuda, yang sebelumnya juga berada di Belanda.
Artefak-artefak itu diperoleh ketika pasukan gerak cepat Hindia Belanda, yang dipimpin Mayor AV Michiels, menyergap Diponegoro pada 11 November 1829.
Dalam sergapan itu, Diponegoro berhasil meloloskan diri.
Tapi tombak Rondhan, peti pakaian, kuda, dan barang berharga lain tidak dibawa serta.
Pasukan penjajah merampas dan menyerahkan artefak berharga tersebut kepada Raja Belanda Willem I (yang bertakhta tahun 1813-1840).
Pada 1978, Ratu Belanda Juliana mengembalikan tombak Rondhan dan pelana kuda itu ke Indonesia.
Pelana kuda itu menyimpan kisah Diponegoro sebagai penunggang kuda hebat.
Dia memiliki istal luas di kediamannya di Tegalrejo.
Kuda hitam dengan kaki putih bernama Kiai Gentayu dianggap sebagai pusaka hidup Sang Pangeran.
Sebenarnya Diponegoro juga mewariskan jubah Perang Sabil.
Sayangnya, jubah berbahan sutra shantung dan cinde berukuran 200 X 100 sentimeter tersebut tidak ikut dipamerkan.
Benda tersebut tetap berada di Museum Bakorwil II Magelang.
Kisah di balik jubah itu juga menarik.
Jubah tersebut dirampas saat penyergapan oleh Mayor AV Michiels di wilayah pegunungan Gowong, sebelah barat Kedu, 11 November 1829.
Setelah perang, jubah dengan tepi brokat yang konon dijahit oleh gundunya disimpan putra menantu Basah Ngabdulkamil.
Selama lebih seabad keluarga Diponegoro menyimpan jubah itu dan dipinjamkan permanen pada tahun 1970-an kepada Museum Bakorwil II.
Benda bersejarah lain yang menarik perhatian pengunjung dalam pameran ini adalah lukisan ”Penangkapan Pangeran Diponegoro”.
Karya ini dipamerkan bersama karya seni rupa dari 21 perupa Indonesia.
Kurator Jim Supangkat mengatakan, lukisan itu dibuat pada 1856-1857 berdekatan dengan wafatnya Diponegoro di pembuangan pada 8 Januari 1855. Karya itu dihadiahkan kepada Raja Belanda Willem III (1817-1890).
Pada tahun 1978, Ratu Juliana mengembalikan lukisan kepada Indonesia.
Sebenarnya lukisan itu mengandung kritik tersembunyi.
Raden Saleh mencela siasat tak etis pada penangkapan Diponegoro dan kebohongan lukisan Nicolaas Pieneman dengan tema sama tahun 1835.
Dari yang sekarang terungkap dari lukisan itu, kita juga mengetahui bahwa berita penangkapan Diponegoro tersebar ke Eropa.
Selain lukisan penangkapan, ditampilkan juga dua lukisan lain karya Raden Saleh, yaitu ”Harimau Minum” (1863), dan ”Patroli Tentara Belanda di Gunung Merapi dan Merbabu” (1871).