Intisari-Online.com -Sentot Ali Basha bisa dibilang sebagai salah satu panglima perang Pangeran Diponegoro paling cemerlang.
Oleh Belanda dia digambarkan sebagai "muda, berapi-api ... dan seorang Jawa yang cemerlang."
Tapi sayang, kecermelangan dan repotasi Sentot Ali Basha dia rusak sendiri.
Dia memilih meninggalkan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa dan menyerah kepada Belanda.
Sentot Ali Basha menyerah bersama 500 prajuritnya dan mendapat5.000 gulden per bulan dari Belanda untuk biaya hidupnya bersama pasukannya.
Sebelum diasingkan, Sentot Ali Basha juga sempat membantu Belanda dalam Perang Padri.
Sentot Ali Basha Abdul Mustopo Prawirodirdjo atau dikenal dengan Sentot Ali Pasha/Sentot Ali Basha atau Sentot Prawirodirdjo.
Sentot Ali Basha adalah putra dariRonggo Prawirodirjo III yang menjabat sebagai Bupati Montjonegoro Timur, ipar Sultan Hamengkubuwana IV.
Menurut sejarawan Peter Carey, Sentot bergabung di pasukan Diponegoro saat usianya masih 17 tahun padaAgustus 1825 di Selarong.
Tak lama kemudian, dia sudah diangkat sebagai senopati.
Setelah diangkat menjadi senopati, Sentot berhasil memukul mundur tentara Sollewijn di Progo Timur pada 5 September 1828.
Beberapa minggu kemudian, Sentot juga berhasil memenangkan peperangan di Bagelen dan Banyumas.
Strategi perang yang digunakan Sentot adalah penggerebekan dengan menggempur sekeras-kerasnya dengan pasukan penuh.
Sentot juga dikenal pandai dalam perang gerilya.
Sentot Alibasha juga dijuluki "Napoleon Jawa", dia memimpin 1000 pasukan dengan menyandang senjata dan mengenakan jubah dan sorban.
Struktur pasukannya pun mirip seperti pasukan Turki Utsmani.
Sentot juga berhasil memenangkan peperangan di Kroya dan merampas 400 pucuk senjata, meriam berikut mesiunya serta menawan ratusan serdadu Hindia Belanda.
Untuk menangkap Sentot, Jenderal De Kock membujuk bupati Madiun, Prawirodiningrat, yang merupakan kakaknya, agar bersedia berunding dengan Hindia Belanda.
Atas bujukan kakaknya tersebut, Sentot kemudian menerima tawaran Belanda.
Dia pun datang ke Yogyakarta dan disambut dengan upacara militer seperti seorang jenderal pada 24 Oktober 1829 hingga akhirnya disergap dan ditangkap.
Terkait penyerahan diri Sentot, Peter Carey mempunyai catatan khusus.
Karena mau menyerah,Sentot mendapat 5.000 gulden per bulan dari Belanda untuk biaya hidupnya bersama pasukannya.
Sentot menyerah kepada Belanda pada 16 Oktober 1829.
Menurut Peter Carey, sejak awal ikut pasukan Diponegoro, Sentot sudah punya kepentingan pribadi.
"Sudah sejak awal Juli 1829," catat Peter Carey dalam bukunya Kuasa Ramalan.
Tanda-tanda itu tercium, menurut Peter Carey, saatada bawahannya melaporkan kesulitan-kesulitan pasokan pangan dia sudah berencana untuk menyerah.
Dia menyerah "berdasar syarat-syarat yang kelas menguntungkannya," tulis Peter.
Setelah menyerah dalam Perang Diponegoro, Sentot sempat dikirim ke Salatiga lalu Batavia.
Belanda kemudian mengirimnyake Sumatera Barat untuk membasmi pemberontakan ulama dalam Perang Padri.
Tapi menurut beberapa sumber itu adalahstrategi Sentot agar berhasil mendapatkan persenjataan untuk membantu perjuangan Tuanku Imam Bonjol.
Sentot akhirnya ditahan Hindia Belanda dan dikirim kembali ke Batavia pada Maret 1833 dan ke Bengkulu pada Agustus 1833 sebelum akhirnya wafat dalam usia 47 tahun dalam pengasingan.
Sentot Ali Basha meninggal pada 17 April 1855.