Intisari-Online.com -Setidaknya ada dua perempuan perkasa di seputar Perang Diponegoro atau Perang Jawa.
Mereka adalah Nyai Ageng Serang dan Raden Ayu Yudokusumo.
Artikel ini akan membahas sepak terjang Nyai Ageng Serang, ikut Perang Jawa saat usianya 73 tahun.
Nyai Ageng Serangdianggap sebagai perempuan sakti.
Di usianya yang sudah renta, diamemimpin pasukandengan tandu untuk membantu Pangeran Diponegoro melawan Belanda.
Nyi Ageng Serang juga disebut bertindak sebagai penasehat perang Pangeran Diponegoro.
Nyi Ageng Serang berjuang di beberapa daerah, seperti Purwodadi, Demak, Semarang, Juwana, Kudus, dan Rembang.
Salah satu strategi perang paling terkenal darinya adalah penggunaan lumbu (daun talas hijau) untuk penyamaran.
Siapa Nyai Ageng Serang?
Nyai Ageng Serang lahir dengan nama asli Raden Ajeng Kustiah Wulaningsih Retno Edi.
Dia lahir di Serang, Purwodadi, pada 1752.
Nyi Ageng Serang merupakan anak perempuan dari Pangeran Natapraja, penguasa wilayah terpencil dari Kerajaan Mataram tepatnya di Serang.
Meskipun merupakan putri bangsawan, ia dikenal dekat dengan rakyat.
Setelah dewasa, ia juga tampil sebagai salah satu panglima perang untuk melawan penjajah.
Yang sangat menonjol dari perjuangannya adalah kemahirannya dalam krida perang.
Nyi Ageng Serang mengikuti pelatihan kemiliteran dan siasat perang bersama dengan para prajurit pria.
Menurut keyakinannya, selama ada penjajahan di bumi pertiwi, maka ia harus siap tempur untuk melawan para penjajah.
Nyi Ageng Serang disebut masih keturunan dari Sunan Kalijaga.
Dia juga memiliki keturunan seorang pahlawan nasional, yaitu Ki Hajar Dewantara.
Pada 1755 sampai 1830, masyarakat belum mendengar arti emansipasi.
Di mana kedudukan wanita saat itu berbeda dengan sekarang.
Namun, Nyi Ageng Serang berbeda, ia merupakan seorang pejuang wanita yang maju melawan Belanda dalam Perang Diponegoro pada 1825 sampai 1830.
Peperangan pertama yang ia ikuti adalah bersama dengan ayahnya, Pangeran Natapraja.
Saat itu, Belanda tiba-tiba melakukan penyerbuan terhadap kubu pertahanan Pangeran Natapraja.
Karena usia sang ayah sudah lanjut, pemimpin pertahanan Serang diserahkan kepada Nyi Ageng Serang.
Saat perlawanan terjadi, saudara laki-lakinya harus gugur.
Nyi Ageng Serang kemudian memegang langsung kepemimpinan dan berjuang melawan Belanda dengan gagah berani.
Namun, karena jumlah kekuatan musuh lebih besar, sedangkan rekan seperjuangannya, Pangeran Mangkubumi tidak lagi membantu, pasukan Serang terdesak.
Pangeran Mangkubumi mengadakan perdamaian dengan Belanda berdasarkan Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755.
Awalnya, Nyi Ageng Serang tidak ingin menyerahkan diri.
Tetapi, ia tetap berhasil ditangkap dan menjadi tawanan Belanda.
Bermula dari pertempuran di Serang inilah kemudian nama Kustiah menjadi Nyi Ageng Serang.
Setelah dibebaskan, Nyi Ageng Serang dikirim ke Yogyakarta.
Di sana ia banyak menghabiskan waktunya untuk memperkuat spiritualnya.
Sampai akhirnya, pecah perang Diponegoro.
Perang Diponegoro terjadi karena menguatnya pengaruh Belanda di dalam Keraton sehingga menimbulkan kekacauan.
Sejak itu, semangat patriotisme Nyi Ageng Serang kembali bangkit.
Dia bersama suaminya, Kusumawijaya, memihak Pangeran Diponegoro.
Mereka melancarkan perlawanan terhadap Belanda.
Suaminya pun gugur dalam pertempuran ini.
Mengetahui hal ini, Nyi Ageng Serang merasa tertekan.
Ia pun melatih cucu laki-lakinya dalam keterampilan serta siasat dan taktik keprajuritan.
Kemudian, Nyi Ageng Serang bersama cucunya kembali bergabung dalam pertempuran dengan pasukan Pangeran Diponegoro.
Nyi Ageng Serang yang saat itu sudah berusia 73 tahun diangkat oleh Pangeran Diponegoro menjadi penasehat.
Namun, hal ini tidak bisa menahannya, ia selalu berada di tengah para prajurit di garis depan.
Berkat petunjuk serta nasehat dari Nyi Ageng Serang, Belanda berhasil diporakpondakan.
Menjelang usia ke-76 tahun, konsidi kesehatan Nyi Ageng Serang semakin memburuk.
Dia pun jatuh sakit dan kemudian wafat pada 1828.
Jenazahnya dimakamkan di Dusun Beku, Kulonprogo.
Atas jasanya, Nyi Ageng Serang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia melalui Surat Keppres No. 084/TK/1974 pada 13 Desember 1974.
Namanya juga digunakan untuk gedung Dinas Kebudayaan dan Permuseuman di Jakarta Selatan.
Tidak disukai Belanda
Tentu saja Nyai Ageng Serang tidak disukai oleh Belanda.
OlehJenderal Hendrik Merkus de Kock, jenderal yang menangkap Diponegoro, Nyai Ageng Serang digambarkan sebagai sosok yang sungguh jahat, tidak berprinsip, dan kecanduan madat--seperti disebutkan dalam bukuPerempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX.
Riwayat perlawanan Nyai Ageng Serang terhadap Belanda juga tak main-main.
Perlawanan Nyai Ageng Serang terhadap Belanda sudah terjadi tak lama setelah Perjanjian Giyanti.
Ayah Nyai Ageng Serang, Pangeran Natapraja, adalah panglima perang Pangeran Mangkubumi (Hamengkubuwono I).
Setelah dia meninggal dalam peperangan, tampuk kepemimpinan diserahkan kepada sang putri.
Sejak itulah Nyai Ageng Serang konsisten melawan Belanda.
Tapi karena pasukannya kalah jumlah, dia sempat tertangkap dan dibawa ke Yogyakarta.
Tak lama kemudian, dia dikembalikan ke Serang dan menikah dengan Pangeran Kusumawijaya.
Nyai Ageng Serang yang sudah sepuh akhirnya turun ke medan pertempuran lagi saat Pangeran Diponegoro mengobarkan Perang Jawa.
Berkat keahliannya dalam strategi perang, pasukannya selalu berhasil memporak-porandakan pasukan Belanda di daerah Purwodadi, Semarang, Demak, Kudus, Yowono dan Rembang.
Dalam taktik perangnya, Nyi Ageng Serang menginstruksikan prajurit-prajurit yang ikut berperang untuk menutupi kepalanya dalam penyamaran menggunakan daun keladi (daun lumbu).
Sehingga dari kejauhan musuh melihatnya seperti kebun tanaman keladi.
Barulah setelah dekat dengan sasaran, musuh kemudian dihancurkan.
Begitulah sepak terjang Nyai Ageng Serang, ikut Perang Jawa saat usianya 73 tahun.