Peristiwa Perang Jawa, Salah Satu Perang Terpanjang dan Terbesar di Nusantara dengan Jumlah Korban Mengerikan

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Ilustrasi - Perang Jawa
Ilustrasi - Perang Jawa

Intisari-online.com - Perang Jawa atau Perang Diponegoro adalah perang besar yang berlangsung selama lima tahun (1825-1830) di Pulau Jawa.

Melibatkan antara pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Hendrik Merkus de Kock dengan pasukan Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.

Perang ini merupakan salah satu perlawanan terbesar bangsa Indonesia terhadap penjajahan Belanda.

Latar belakang perang ini adalah ketidakpuasan Pangeran Diponegoro terhadap pemerintahan Belanda yang semakin mengintervensi urusan dalam negeri Kesultanan Yogyakarta.

Pangeran Diponegoro adalah putra sulung Sultan Hamengkubuwana III yang tidak mendapatkan hak waris tahta karena dianggap sebagai anak haram.

Ia hidup sederhana di daerah Tegalrejo dan memiliki banyak pengikut dari kalangan rakyat biasa dan ulama. Ia juga memiliki semangat keagamaan yang tinggi dan bercita-cita mendirikan negara Islam di Jawa.

Perang ini meletus pada tanggal 21 Juli 1825 ketika Belanda memutuskan untuk membangun jalan yang melintasi makam leluhur Pangeran Diponegoro di Imogiri tanpa izinnya.

Pangeran Diponegoro merasa terhina dan mengirimkan surat protes kepada Belanda.

Namun, surat ini tidak ditanggapi dan pembangunan jalan tetap dilanjutkan.

Akhirnya, Pangeran Diponegoro memimpin pasukannya untuk menyerang pasukan Belanda yang sedang bekerja di jalan tersebut.

Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Pertempuran Geger Pacinan.

Baca Juga: Di Balik Peristiwa Gugatan Cerai Desta Ke Natasha Rizki Padahal Ada 3 Anak, Ini Dampaknya Bagi Pertumbuhan Si Kecil

Perkembangan perang

Perang Jawa berlangsung dengan sengit dan meluas ke berbagai wilayah di Jawa, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Pasukan Jawa menggunakan strategi gerilya dan serangan mendadak untuk mengganggu pasukan Belanda yang lebih unggul dalam persenjataan dan logistik.

Pasukan Jawa juga mendapat dukungan dari rakyat yang tidak puas dengan kebijakan Belanda, seperti monopoli perdagangan, pajak tanah, dan kerja rodi.

Selain itu, pasukan Jawa juga didukung oleh beberapa pihak keraton Jawa, seperti Kesultanan Surakarta, Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman.

Pasukan Belanda mengalami kesulitan untuk menghadapi perlawanan pasukan Jawa yang gigih dan berani.

Mereka juga mengalami banyak kerugian baik dalam hal personel maupun materiil.

Banyak tentara Belanda yang tewas atau terluka akibat serangan pasukan Jawa atau penyakit tropis.

Selain itu, biaya perang juga membengkak dan menimbulkan defisit anggaran bagi pemerintah kolonial Belanda.

Perang ini juga menyebabkan banyak penderitaan bagi rakyat Jawa yang menjadi korban kekerasan, kelaparan, dan wabah penyakit.

Diperkirakan sekitar 200.000 jiwa penduduk Jawa tewas akibat perang ini.

Baca Juga: Belajar dari Peristiwa Desta Gugat Cerai Natasha Rizki, Berapakah Perbedaan Usia Paling Ideal dalam Pernikahan?

Akhir perang

Perang Jawa berakhir pada tanggal 9 Februari 1830 dengan penandatanganan Perjanjian Salatiga antara Pangeran Diponegoro dan Jenderal de Kock.

Perjanjian ini ditandatangani setelah Pangeran Diponegoro tertipu oleh Belanda yang mengundangnya untuk bernegosiasi di Magelang dengan janji akan diberi pengampunan dan penghormatan.

Namun, setelah tiba di tempat pertemuan, Pangeran Diponegoro ditangkap oleh pasukan Belanda dan dibuang ke Makassar hingga meninggal pada tahun 1855.

Dampak perang

Perang Jawa memberikan dampak besar bagi sejarah Indonesia maupun Belanda.

Bagi Indonesia, perang ini merupakan salah satu tonggak awal dari perjuangan nasional melawan penjajahan Belanda.

Perlawanan Pangeran Diponegoro menjadi inspirasi bagi para pejuang kemerdekaan Indonesia di masa selanjutnya.

Perang ini juga menunjukkan semangat persatuan dan solidaritas antara berbagai suku dan agama di Indonesia dalam melawan musuh bersama.

Bagi Belanda, perang ini menjadi pelajaran berharga untuk mengubah sistem pemerintahan kolonialnya di Indonesia.

Setelah perang ini, Belanda menerapkan sistem pemerintahan yang lebih sentralistik dan otoriter dengan menghapus kekuasaan pribumi dan menggantinya dengan pegawai negeri sipil Belanda.

Selain itu, Belanda juga menerapkan sistem ekonomi yang lebih eksploitatif dengan memaksakan tanam paksa (cultuurstelsel) kepada rakyat Indonesia untuk menutupi defisit anggaran akibat perang ini.

Perang Jawa adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia yang patut kita kenang dan pelajari sebagai bagian dari warisan budaya bangsa.

Artikel Terkait