Di Balik Peristiwa 32 Biksu Jalan Kaki ke Indonesia, Kerajaan Sriwijaya Sudah Jadi Magnet Biksu Dunia

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Sejumlah umat Budha saat membersihkan kaki para biksu Thudong yang akan beristirahat dalam ritual cuci kaki di rumah warga di kawasan Jalan Pembangunan, Kota Cirebon, Kamis
Sejumlah umat Budha saat membersihkan kaki para biksu Thudong yang akan beristirahat dalam ritual cuci kaki di rumah warga di kawasan Jalan Pembangunan, Kota Cirebon, Kamis

Intisari-online.com - Salah satu peristiwa unik pada tahun 2023, sebanyak 32 biksu dari berbagai negara melakukan ritual Thudong.

Yaitu perjalanan spiritual dengan berjalan kaki sepanjang ribuan kilometer untuk mengikuti jejak Sang Buddha.

Para biksu ini memulai perjalanan mereka dari sebuah vihara di Nakhon Si Thammarat pada 25 Maret 2023 dan tiba di Candi Borobudur pada 4 Juni 2023 untuk merayakan Hari Waisak.

Meski demikian, ternyata Nusantara sudah menjadi tempat kunjungan biksu di seluruh dunia sejak zaman Kerajaan Sriwijaya.

Sriwijaya adalah sebuah kerajaan yang menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara pada abad ke-7 hingga ke-13 Masehi.

Kerajaan ini berpusat di Palembang, Sumatera Selatan, dan menjadi tempat berkembangnya budaya dan pendidikan agama Buddha.

Banyak biksu dari berbagai negara, khususnya India dan China, datang ke Sriwijaya untuk mempelajari ajaran Buddha yang ada di sana.

Salah satu orang yang berjasa dalam menjadikan Sriwijaya sebagai pusat pendidikan Buddha adalah Dharmakrti.

Seorang biksu asal Sriwijaya yang juga dikenal dengan nama Serlingpa Dharmakrti atau Suvarnadvipi Dharmakrti.

Dharmakrti adalah seorang mahaguru Buddha yang memiliki pengetahuan luas, realisasi tinggi, dan kemampuan supranatural.

Ia menguasai berbagai teks suci Buddha, terutama yang berkaitan dengan Bodhicitta, yaitu sikap batin yang bertekad untuk mencapai pencerahan demi kebahagiaan semua makhluk.

Baca Juga: Bukan Sriwijaya Atau Majapahit, Ternyata Kerajaan Inilah yang Punya Pelabuhan Cikal Bakal Masuknya Penjajah Eropa ke Nusantara

Dharmakrti lahir pada abad ke-10 Masehi sebagai seorang pangeran dari keluarga kerajaan Sriwijaya.

Ia memutuskan untuk menjadi biksu setelah bertemu dengan Acharya Mahasriratna di India yang menunjukkan padanya jalan pembebasan dari penderitaan.

Kemudian dia belajar dari berbagai guru di India hingga mencapai pengetahuan tanpa batas.

Ia juga kembali ke Sriwijaya dan tinggal di sebuah biara di Pulau Jawa (mungkin Jawa Barat) yang disebut Suvarnadvipa atau Pulau Emas.

Di sana, ia menerima banyak murid dari berbagai negara yang ingin belajar darinya.

Salah satu muridnya yang paling terkenal adalah Atisha, seorang biksu dari India yang kemudian menjadi salah satu penyebar Buddha Dharma di Tibet.

Atisha belajar dari Dharmakrti selama 12 tahun dan menerima transmisi ajaran tentang Bodhicitta yang berasal dari silsilah Maitreya dan Manjushri.

Ajaran ini kemudian menjadi dasar dari aliran Kadampa dan Gelugpa di Tibet.

Dharmakrti juga menulis beberapa karya penting tentang ajaran Buddha, seperti Wheel of Sharp Weapons (Tibet: blo-sbyong mtshon-cha 'khor-lo), yang merupakan sebuah teks tentang latihan mental untuk menghilangkan egoisme dan mengembangkan kasih sayang.

Karya-karya Dharmakrti banyak dipelajari dan dikomentari oleh para guru besar Buddha di Tibet, seperti Tsongkhapa, Pabongka Rinpoche, dan Dalai Lama.

Dharmakrti meninggal pada abad ke-11 Masehi dan diyakini bereinkarnasi sebagai Dagpo Rinpoche Lobsang Jhampel Jhampo Gyatso, seorang guru besar Buddha Tibet kontemporer yang masih hidup hingga saat ini.

Baca Juga: Di Balik Peristiwa Biksu Thailand Jalan Kaki Ribuan Kilometer Ke Candi Borobudur, Apa Itu Thudong?

Dharmakrti dihormati sebagai salah satu guru besar Buddha dari Nusantara yang memberikan kontribusi besar bagi perkembangan agama Buddha di Asia.

Artikel Terkait