Salah satu biksu dari Cirebon yang ikut rombongan biksu Thailand lakukan thudong bercerita soal kenapa Candi Borobudur yang dipilih.
Intisari-Online.com -Puluh bisku asal Thailand melakukan thudong, jalan kaki sejauh ribuan kilometer mengkuti jejak Buddha, menuju Candi Borobudur yang ada di Magelang, Jawa Tengah.
Dalam perjalanan ini, rombongan biksu itu melewati beberapa negara Asia Tenggara.
Dari Thailand, lalu Malaysia, lalu Singapura, lalu Indonesia yang terakhir.
Yang menjadi pertanyaan kita, kenapa yang dituju adalah Candi Borobudur?
Salah satu biksu yang ikut rombongan thudong itu ternyata ada yang dari Indonesia, tepatnya dari Cirebon, Jawa Barat.
Nama biksu tersebut adalah Wawan.
Wawan sendiri akhirnya bercerita kenapa Candi Borobudur yang dipilih sebagai tujuan dari ritual thudong.
Salah satu tujuannya, kata Wawan, adalah untuk memperkenalkan Candi Borobudur kepada para biksu.
Ternyata baru biksu itu baru pertama kali menginjakkan kaki di Indonesia.
Wawan sejatinya sudah ikut thudong dua tahun yang lalu, ketika itu rutenya adalah Thailand-Laos.
Saat itu, menurut penuturan Wawan, yang ikut hanya pemuka agama.
Setelah sampai di Laos rombongan kebingungan mau lanjut ke mana lagi.
Wawan kemudian mengusulkan untuk melanjutkan perjalanan ke Indonesia, ke Candi Borobudur.
Tapi sayang, ketika itu wabah Covid-19 sedang ganas-ganasnya, sehingga negara-negara yang hendak dilewati ketika menuju ke Indonesia menerapkan lockdown.
"Saat sampai di perbatasan Malaysia, rombongan disetok," kata Wawan dalam sebuah wawancara.
"Pintu gate 1 ditutup, ke gate 2 ternyata ditutup juga."
Karena itulah rombongan akhirnya memutuskan kembali ke Nakhon Pathom, Thailand.
Di sana rombongan thudong memisahkan diri, Wawan sendiri melanjutkan jalan kaki sendirian ke Bangkok.
Meski begitu, dia berjanji akan membawa para biksu menuju Indonesia saat Covid-19 usai.
Menurut Wawan, tujuan dia mengajak para biksu ke Indonesia adalah untuk memperkenalkan Candi Borobudur kepada mereka.
"Saya ingin menunjukkan kepada para biksu, kita punya candi kebanggaan, Candi Borobudur, dari sejarahnya banyak juga di Indonesia peninggalan Buddha," katanya.
Selain itu, Wawan juga ingin menunjukkan kepada masyarakat Indonesia bahwa biksu-biksu seperti yang ada di film-film Shaolin itu benar-benar ada.
Target Wawan adalah masyarakat non-Buddhis.
"Inilah biksu, inilah bhante, soalnya mereka hanya tahu bhante atau biksu di film-film Shaolin doang," katanya.
Dia ingin bilang bahwa biksu-biksu hutan masih ada di Thailand, walaupun jumlahnya sudah tidak banyak lagi.
Mengenal tradisi thudong
Belakangan kita tahu, perjalanan ribuan kilometer yang dilakukan para biksu dari Thailand itu bernama thudong.
Thudong adalah perjalanan spiritual untuk mengikuti jejak Buddha saat masih hidup ketika belum ada wihara dan transportasi.
Thudong dilaksanakan dengan cara berjalan kaki sembari melakukan perenungan.
Mereka, para bhante, bhikkhu, atau biksu, itu akan terus berjalan kaki, masuk dari hutan satu ke hutan yang lain, demi memenuhi darma mereka.
Ternyata ada ritual lain sebelum mereka melakukan thudong.
Yaitu, para biksu itu harus berdiam diri di satu tempat dan puasa selama empat bulan.
Puasa ini dilakukan saat musim hujan.
Ketika kemarau datang, mereka akan melakukan thudong ini.
Thudong sendiri biasanya akan dilangsungkan selama empat bulan, tujuannya untuk mendapatkan dan mengembangkan kemampuan spiritual para biksu tersebut.
Selain fisik, perjalanan ini tentu harus dipersiapkan dengan sangat matang.
Thudong sendiri tidak dibatasi seberapa jauh rute yang akan ditempuh.
Semuanya tergantung niat dan waktu para bisku memulai perjalanan.
Selama dalam perjalanan, para biksu akan menerima makanan dari umat Buddha.
Tradisi memberikan makanan tersebut bernama pindapata.
Para biksu yang melakukan thudong hanya akan makan satu atau dua kali sehari.
Biksu akan makan hanya pukul 07.00 pagi atau ditambah pukul 12.00 siang bagi yang makan dua kali sehari.
Sampai pukul 07.00 pagi keesokan harinya, mereka hanya dibolehkan minum.
Lalu apakah mereka boleh tidur?
Para biksu tetap akan bermeditasi sepanjang perjalanan.
Mereka bahkan tetap bermeditasi saat istirahat.
Para biksu itu tidur dengan alas tidak lebih dari 50 sentimeter, bahkan ada yang tidur sambil duduk saat bermeditasi.
Sebagai lokasi peristirahatan, para biksu akan mendatangi tempat-tempat ibadah lintas agama, seperti wihara, kelenteng, atau bahkan pesantren.
Di Indonesia, mereka bahkan singgah di beberapa pondok pesantren.
Saat melakukan perjalanan, para biksu zaman dulu tidak memakai alas kaki.
Sekarang, mereka ada yang memakai sandal. Karena sering menjalankan thudong, kaki mereka tidak sakit dan sudah terbiasa.
Tradisi thudong tidak dibatasi usia.
Biksu kecil atau dewasa bisa melakukannya selama memiliki fisik dan rohani yang kuat.