Korupsi Di Kesultanan Mataram Yogyakarta Bikin Pangeran Diponegoro Geram, Terjadilah Perang Jawa

Moh. Habib Asyhad
Moh. Habib Asyhad

Editor

Menurut sejarawan Peter Carey, salah satu penyebab terjadinya Perang Jawa yang diprakarsai Pangeran Diponegoro adalah korupsi di tubuh Kesultanan Mataram Yogyakarta.
Menurut sejarawan Peter Carey, salah satu penyebab terjadinya Perang Jawa yang diprakarsai Pangeran Diponegoro adalah korupsi di tubuh Kesultanan Mataram Yogyakarta.

Menurut sejarawan Peter Carey, salah satu penyebab terjadinya Perang Jawa yang diprakarsai Pangeran Diponegoro adalah korupsi di tubuh Kesultanan Mataram Yogyakarta.

Intisari-Online.com -Beberapa serajawan menyebut Perang Jawa yang dikobarkan Pangeran Diponegoro salah satunya disebabkan oleh korupsi yang terjadi di Kesulatanan Mataram Yogyakarta.

Menurut sejarawan Peter Carey, dalam sebuah seminar yang diadakan oleh KPK beberapa tahun yang lalu, mengatakan,praktik korupsi sejatinya bukanlah hal yang baru di Indonesia.

Praktik itu, katanya, sudah terjadi sejak dulu kala.

Peter Carey, yang dianggap sebagai sejarawan spesialis Diponegoro, juga menengarai, Perang Jawa salah satu penyebabnya adalah praktik-praktik korupsi yang merajalela pada saat itu.

Sementara menurut sejarawan Onghokham dalam Tradisi dan Korupsi menulis,di lingkup kesultanan di Jawa memaknai uang negara adalah uang raja.

Pada masa itu pun jual beli jabatan dianggap sesuatu yang legal, dengan cara menyetor upeti kepada raja.

"Di Mataram, tidak ada pusat yang mengurus keuangan negara atau tidak ada sentralisasi keuangan," begawan sejarah dari Universitas Indonesia itu menulis.

"Setiap jabatan berdiri sendiri dan otonom, yang satu tidak ada hubungan dengan yang lain."

Kembali menurut Peter, kali ini lewat bukunya berjudulTakdir: Riwayat Pangeran Diponegoro, menulis, isu korupsi menjadi pemicu Perang Jawa.

Menurutnya, Pangeran Diponegoro sempat menampar Patih Danureja IV, patih Kasultanan Mataram Yogyakarta, dengan selop akibat penyewaan tanah kerajaan yang diberikan kepada bangsa Eropa.

Tak bisa dipungkiri, usaha penyewaan tanah kepada bangsa Eropa membawa keuntungan yang menggiurkan sehingga membuat pejabat kesultanan korup.

Penyewaan tersebut didapat dengan praktik suap yang bisa menggembungkan kantong pejabat.

Dalam Orang Cina, Bandar Tol, Candu, dan Perang Jawa, Carey menyebutkan dalam transaksi hasil perkebunan banyak ditemukan praktik uang pelicin dalam bea cukai petugas penjaga gerbang kota.

Gerbang kota menjadi tempat yang umum dalam kasus pemerasan dan penyitaan hasil kebun pribumi.

Maka uang pelicin berfungsi agar pengaduan tersebut tak sampai ke telinga pejabat Jawa.

"Ditambah, lika-liku prosedur untuk mengajukan kasus ke pengadilan atau ke hadapan para penguasa adalah cara-cara yang berada di luar kemampuan rata-rata para petani," tulis Carey.

"Satunya cara yang dapat ditempuh, untuk dapat membalaskan dendamnya secara sungguh-sungguh, adalah dengan meminta bantuan jago-jago setempat untuk menjarah gerbang tol (masuk kota) atau membakarnya."

Namun lagi-lagi usaha anarkisme tersebut sia-sia karena pemerintah akan membalasnya dengan perundang-undangan Jawa.

Sehingga menyebabkan kerugian yang lebih tinggi hingga nyawa.

Dilansir National Georgraphic Indonesia, jauh sebelum perang Jawa, Gubernur Jenderal Daendels hanya memberikan tindak pencegahan korupsi pada pejabat-pejabat kolonial.

Dia juga membiarkan praktik tersebut terjadi pada kaum pribumi.

Kebijakan Daendels yang bisa dianggap sebagai awal terbentuknya negara hukum (rechtsaat), juga menyebabkan bupati-bupati yang biasanya dijabat golongan pribadi kehilangan pemasukannya.

Terutama pada sektor monopoli perdagangan kayu jati yang jatuh ke tangan pengusaha-pengusaha Tionghoa.

Carey menilai praktik ini jadi pemantik sentimen anti-Tionghoa di masa mendekati Perang Jawa.

Selain skandal Pangeran Dipanegara dengan tukang pijat peranakan Tionghoa dan penjaga gerbang kota yang umumnya diisi oleh keturunan Tionghoa.

Keruwetan permasalahan tindakan gelap makin parah terutama saat Gubernur Jenderal van der Capellent mengeluarkan dekrit 6 Mei 1823 agar tanah dikembalikan ke pemiliknya.

Keraton Yogyakarta terancam bangkrut, dekrit itu juga mewajibkan pemilik tanah memberikan kompensasi batas waktu pengembalian tanah oleh penyewa Eropa.

Kebijakan ini membuat Diponegoro makin kecewa terhadap Kesultanan.

Sebab, bukannya menghentikan praktik gelap, Kesultanan membiarkan dan berpihak dengan Belanda.

Akibat kesewenangan dan ketidakadilan terhadap masyarakat tersebut, ia memutuskan hubungan dengan Kesultanan.

Artikel Terkait