Kyai Modjo, Sosok Leluhur Duta Sheila On 7 yang Pecah Kongsi dengan Diponegoro Usai Menganggapnya Menyimpang dari Islam

Ade S

Editor

Kolase Duta Sheila On 7, Kyai Modjo, dan Pangeran Diponegoro
Kolase Duta Sheila On 7, Kyai Modjo, dan Pangeran Diponegoro

Intisari-Online.com -Anda mungkin mengenal Duta Sheila On 7 sebagai salah satu musisi terkenal di Indonesia.

Namun, tahukah Anda bahwa ia memiliki leluhur yang berperan penting dalam sejarah bangsa ini?

Leluhur Duta adalah Kyai Modjo, sosok ulama dan jenderal perang yang menjadi orang kepercayaan Pangeran Diponegoro.

Dalam sebuah wawancara di kanal YouTube Salim A.Fillah, Duta menceritakan tentang sosok Kyai Modjo dan hubungannya dengan Pangeran Diponegoro.

Artikel ini akan mengulas lebih lanjut tentang Kyai Modjo, sosok leluhur Duta Sheila On 7 yang pecah kongsi dengan Diponegoro usai menganggapnya menyimpang dari Islam.

Siapa sebenarnya Kyai Modjo? Bagaimana perannya dalam Perang Jawa? Dan mengapa ia berpisah dengan Diponegoro? Simak ulasan selengkapnya di bawah ini.

Keturunan Bangsawan dan Ulama

Kyai Modjo lahir di Surakarta pada tahun 1792 dari pasangan Iman Abdul Ngarip dan R.A. Mursilah.

Ayahnya adalah ulama besar yang dikenal dengan nama Kiai Baderan. Orangtuanya adalah keturunan bangsawan.

Abdul Ngarip adalah keturunan keluarga Kraton Surakarta yang memilih mengabdikan diri berdakwah agama Islam. Ibunya, R.A. Mursilah, adalah saudara perempuan Sultan Hamengkubuwana III.

Baca Juga: Rekor, Keturunan Trah Mataram Islam Ini 3 Kali Jadi Raja Kesultanan Yogyakarta, Dikenal Keras Kepada Penjajah

Kyai Modjo dan Pangeran Diponegoro memiliki ikatan kekerabatan. Diponegoro adalah putra sulung Sultan Hamengkubuwana III dari istri selir.

Dengan demikian, Diponegoro adalah saudara sepupu Kyai Modjo. Kedua tokoh ini juga hidup di luar istana sejak kecil.

Hubungan mereka semakin erat setelah Kyai Modjo menikahi janda Pangeran Mangkubumi yang tidak lain adalah paman Diponegoro.

Diponegoro pun memanggil Kyai Modjo dengan sapaan "paman" meski keduanya adalah saudara sepupu.

Dakwah Islam dan Perang Jawa

Kyai Modjo memiliki dasar pengetahuan agama yang kuat dari ayahnya. Setelah menunaikan ibadah haji, ia sempat bermukim di Mekkah.

Pulang dari tanah suci, ia melanjutkan peran sang ayah mengelola pesantren di desanya dan berhasil menghimpun cukup banyak pengikut.

Bersama para santrinya, Kyai Modjo menggalang gerakan anti-pemurtadan yang marak di kalangan bangsawan kraton.

Kyai Modjo juga memiliki cita-cita suatu hari nanti tanah Jawa akan dikelola dengan pemerintahan berdasarkan syariat Islam.

Cita-cita itu sejalan dengan janji Pangeran Diponegoro yang ingin membebaskan tanah Jawa dari penjajahan Belanda

Kyai Modjo pun bersedia bergabung dengan pasukan Diponegoro untuk menghadapi Belanda dalam Perang Jawa (1825-1830).

Baca Juga: Padahal Raja Trah Mataram Islam Juga, Ini Alasan Sultan Hamengkubuwono II Tak Dimakamkan Di Makam Imogiri

Ia menjadi wakil Diponegoro dalam perundingan penting dengan Belanda pada 29 Agustus 1827 di Klaten.

Dalam perundingan itu, ia dengan tegas mengajukan sejumlah tuntutan dan mengubah paradigma perlawanan dari label "pemberontak" menjadi "perang sabil" atau perang suci melawan orang-orang kafir yang menjadi musuh Islam.

Kyai Modjo juga berperan dalam mengatur strategi militer melawan Belanda. Ia menjadi panglima perang sekaligus guru spiritual Pangeran Diponegoro.

Ia mengajarkan ilmu-ilmu kebatinan kepada Diponegoro dan para pengikutnya untuk meningkatkan kekuatan batin mereka dalam berperang.

Pecah Kongsi dengan Diponegoro

Namun, hubungan Kyai Modjo dan Diponegoro tidak selalu harmonis. Pada tahun 1828, Kyai Modjo berpisah dengan Diponegoro karena dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam.

Kyai Modjo menuduh Diponegoro telah terpengaruh oleh aliran kebatinan yang bercampur dengan ajaran Hindu-Buddha.

Kyai Modjo juga tidak setuju dengan keputusan Diponegoro untuk bersekutu dengan para pemberontak dari Madura dan Bali yang dianggapnya sebagai musuh Islam.

Kyai Modjo pun meninggalkan pasukan Diponegoro dan membawa sebagian besar pengikutnya ke arah timur.

Ia berharap dapat bergabung dengan pasukan Pangeran Mangkubumi yang masih berperang melawan Belanda di daerah Kediri. Namun, dalam perjalanan, ia ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Tondano, Minahasa.

Akhir Hayat

Kyai Modjo meninggal di Tondano pada 20 Desember 1849. Ia dimakamkan di Kampung Jawa Tondano. Di tempat itu, ia juga mendirikan sebuah masjid yang bernama Masjid Agung Al-Falah Kyai Modjo. Masjid ini menjadi salah satu peninggalan sejarah yang masih berdiri hingga kini.

Kyai Modjo adalah sosok leluhur Duta Sheila On 7 yang memiliki peran penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Ia adalah ulama dan jenderal perang yang menjadi orang kepercayaan Pangeran Diponegoro.

Ia juga adalah guru spiritual yang mengajarkan ilmu-ilmu kebatinan kepada para pejuang.

Namun, ia juga memiliki prinsip yang kuat dalam memegang ajaran Islam hingga tidak segan-segan untuk berpisah dengan Diponegoro jika merasa ada penyimpangan dari ajaran Islam.

Baca Juga: Ketika Inggris Ngamuk Karena Permintaannya Tak Digubris HB II, Sempat Minta Bantuan Pangeran Diponegoro

Artikel Terkait